ANGGARAN belanja Amerika Serikat dalam dua tahun mendatang akan dipotong sekitar US$ 76 milyar. Untung, United States of Trade Representatives (USTR), yang dibawahkan Gedung Putih, tidak ikut-ikutan memotong jatah eksportir tekstil dan pakaian jadi Indonesia. Dalam perundingan tiga hari dengan wakil pemerintah RI di gedung USTR, Washington, pekan lalu, hampir tak ada keputusan yang merugikan ekspor tekstil Indonesia. Padahal, sebelum perundingan itu, bea cukai Amerika telah mengklaim bahwa tekstil Indonesia pada tahun lalu (Juli 1986 - Juni 1987) telah melampaui kuota yang ditentukan -- sebanyak ekuivalen 300 juta yard persegi. Menurut catatan mereka, pengapalan tiga jenis kategori tekstil telah melampaui kuota sekitar 28 juta yard persegi (senilai US$ 31 juta). "Dalam perundingan, akhirnya Amerika mau menerima kelebihan itu sebagai kompensasi kuota beberapa kategori -- sekitar 15 juta yard persegi -- yang tidak terpenuhi tahun silam," kata seorang pejabat Indonesia yang ikut berunding. Sekitar 13 juta yard persegi lagi akan diperhitungkan sebagai bagian dari kuota tahun berjalan (cary over). Untuk semester akhir 1987, kuota ditentukan ekuivalen 178 juta yard persegi -- sekitar 18% lebih tinggi dari separuh kuota 1986-1987. Tapi, mulai tahun depan, kenaikan ekspor tekstil dan pakaian jadi Indonesia tidak boleh lebih dari 6% dibanding seluruh ekspor tahun sebelumnya. Selain itu, juga mulai tahun depan, perhitungan kuota akan diseragamkan, yakni per meter persegi atau per kilogram. Saat ini, penghitungan kuota tekstil Indonesia terbagi dalam lusin, pon, yard persegi, dan kaki persegi. Dengan penghitungan baru diharapkan tidak akan ada lagi klaim overshipment akibat perbedaan sistem penghitungan kuota. Tentang pembagian kuota, Departemen Perdagangan, sejak Juli lalu, membuat penghitungan baru bagi eksportir Indonesia: 80% dibagikan berdasarkan prestasi tahun sebelumnya (past performance). Sisanya, 15% disediakan bagi pendatang baru, dan yang 5% untuk golongan ekonomi lemah dan koperasi. Kebijaksanaan baru ini, sebagaimana diungkapkan Federasi Industri Tekstil Indonesia (FITI) di DPR, dua pekan lalu, ternyata banyak kejanggalannya. "Tak jelas, apa yang dimaksud dengan past performance, bagaimana penghitungannya, apa dasarnya, dan kapan mulai diperhitungkan," kata Wakil Ketua Presidium FITI Hussein Aminuddin. Munculnya klaim kelebihan kuota, menurut FITI, karena tidak tertibnya administrasi kuota. Sekalipun sudah overshipment, kuota masih diberikan kepada pendatang baru. Kriteria pendatang baru itu, menurut analisa FITI, juga tidak jelas. Tiba-tiba ada persero niaga mendapatkan kuota, sementara eksportir lama ada yang terkena pemotongan jatah. Untuk mengatasi masalah kuota ekspor tekstil, usul FITI agar pengaturan dilakukan secara terbuka dan diatur oleh Departemen Perdagangan bersama -- minimal dengan Departemen Luar Negeri dan Departemen Perindustrian. Keinginan FITI tampaknya cukup diperhatikan pemerintah. "Kami tengah mempersiapkan paket baru guna meningkatkan kelincahan para pengusaha," kata Menteri Perdagangan Rachmat Saleh, Sabtu pekan lalu. Ia telah memerintahkan staf Departemen Perdagangan agar meningkatkan pelayanan kepada umum, khususnya pengusaha. Max Wangkar dan Ahmed K. Soeriawidjaja (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini