SUDAH saatnya kita sekarang untuk menghidupkan kembali trading
house seperti dulu," kata Menteri Perindustrian A.R. Soehoed
belum lama ini. Rupanya setelah melakukan banyak peninjauan ia
menyimpulkan bahwa perusahaan industri kecil dan menengah masih
mengalami kesulitan dalam pemasaran, baik untuk pasaran dalam
negeri maupun ekspor. Sebabnya karena umumnya mereka tidak
mempunyai jaringan pemasaran dan aparat distribusi. Untuk
mengatasi kelemahan ini bentuk trading house yang sudah lama
dikubur akan dihidupkan lagi.
Trading house merupakan organisasi pemasaran yang membeli dan
menjual hasil produksi industri besar dan kecil, termasuk
pertanian dan kerajinan rakyat ke dalam maupun ke luar negeri.
Di samping itu juga membantu pengadaan bahan baku, bahan
penolong, suku cadang bagi keperluan industri, pengrajin atau
petani. Ini berarti membantu pengembangan dan pertumbuhan
pengusaha ekonomi lemah hingga mereka tidak usah memusingkan
diri dengan soal pemasaran produksi mereka dan penyediaan bahan
baku.
Trading house pernah berjaya di Indonesia. Sampai 1957 terdapat
33 trading house Belanda di sini, lima di antaranya dikenal
sebagai Si Lima Besar: Lindeteves, Internatio, Borsumij,
Jacobson van den Berg dan Geo Wehry. Kampanye pembebasan Irian
Barat membuat hubungan dengan Belanda memburuk. Perusahaan
Belanda, termasuk trading house, ditutup atau diambil alih
pemerintah Indonesia. Peranannya dicoba diteruskan oleh beberapa
perusahaan yang dibentuk untuk menggantikannya, misalnya PT
Usindo yang kemudian menjelma menjadi PT Jaya Bakti, PT Central
Trading Company (CTC) serta beberapa PN Niaga.
Tapi persiapan yang kurang serta tiadanya kemampuan, membuat
usaha ini berantakan. Bahkan fungsi trading kmlse kemudian
menghilang karena beberapa kegiatan dipecah dan dibagi, hingga
sifat integrasinya yang vertikal itu hilang. Usaha perkebunan
misalnya, ditaruh di bawah Departemen Pertanian sedang fungsi
dagangnya masuk Departemen Perdagangan.
Menghidupkan kembali trading house sudah merupakan keputusan
Dewan Stabilisasi Ekonomi, ketika pemerintah meakini perlunya
mebangun sektor distribusi. "Untuk itu perlu didirikan trading
house yang modern dan efisien dengan modal yang besar," kata
Menteri Perdagangan Radius Prawiro dalam Munas Kadin Indonesia
Oktober 1976. Kemudian menghilang, gagasan ini muncul kembali
setelah Kenop 15, ketika usaha memacu ekspor makin digalakkan.
Membina
Pekan lalu, atas permintaan Menteri Perdagangan dan Koperasi,
para pengusaha swasta besar di Jakarta membahas konsep
pembentukan Trading Houses Indonesia (THI). Hasilnya: "Sebanyak
8 trading houses telah diusulkan untuk mendapat persetujuan dari
Depdagkop," kata Dir-Ut PT Panca Niaga Djukardi Odang yang
memimpin pertemuan itu. Untuk tahap permulaan jumlah ini
dianggap cukup. Cara pembentukan yang diusulkan: 4 THI diambil
dari PTPT Niaga, yakni PT Panca Niaga, PT Dharma Niaga, PT
Tjipta Niaga dan PT Kerta Niaga. Empat lainnya dari perusahaan
swasta nasional milik pribumialau non pribumi. "Keputusannya
terserah pemerintah. Tapi satu trading House hendaknya sudah
mulai bisa bekerja pada awal Pelita III ini," kata Odang.
Kabarnya pemerintah ingin swasta lebih besar partisipasinya
dalam THI ini. Perbandingan modalnya, untuk tahap pertama
diharapkan 60% saham pemrintah sedang yang 40% swasta. Tapi
untuk tahap berikutnya perbandingannya dibalik, swasta 60%
sedang pemerintah 40%.
Semua pihak menyetujui perlunya segera dibentuk THI. Tapi
sejak pagi-pagi rupanya sudah dicanangkan beberapa bahaya THI.
"Kadin mendorong terbentuknya trading house, asalkan nantinya
tidak menjadi perusahaan raksasa," kata Ketua Kadin Suwoto
Sukendar. Kondisinya dengan zaman semasa Big Five dulu sudah
berubah hingga barang yang penjualannya sudah lancar tidak perlu
lagi lewat THI. "Tapi carilah lasaran yang terbuka, misalnya
hasil pertanian, tekstil dan kerajinan rakyat," katanya.
"Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) sudah lama menunggu THI
ini," kata Sekjen T. Akip pekan lalu. Ia mengambil contoh Jepang
yang dunia usahanya mungkin hancur kalau tak ada trading
company. Di negeri itu hasil industri yang dipasarkan trading
company dibubuhi merek dagang trad ing house yang bersangkutan,
misalnya Mitsubishi. Hingga nama produsennya sendiri tak dikenal
tapi mutu terjamin dan harganya wajar.
Pembentukan THI memerlukan modal besar hingga kalangan perbankan
swasta menganjurkan agar THI nanti bertindak hati-hati dan tidak
terlalu komersiil. "Kalau terlalu komersiil berarti sangat
ambisius dan bisa menyeleweng dari sasaran," ucap I Nyoman
Moena, Direktur Utama PT Overseas Express Bank. Yang dimaksudnya
adalah misalnva memilih barang yang laris dan sudah lancar
pemasarannya seperti semen dan pupuk. "Karena tujuannya membina,
mau tak mau THI nanti harus bersifat idiil," tutur Moena.
Djukardi Odang sama pendapatnya. "Tujuan THI bukan semata-mata
mencari untung tapi juga untuk membina industri kecil dalam
pengadaan bahan baku dan pemasaran hasil produksinya," katanya.
Ia menyebut beberapa angka. Dari 55.273 perusahaan industri yang
ada (1975), industri kecil berjumlah lebih dari 48.200 atau
87,2%. Industri sedang 5.700 (10,4%) sedang industri besar hanya
sekitar 1300 (2,4%. Tidak semua komoditi akan ditangani THI.
Untuk tahap I menurut Odang THI akan bergerak dalam komoditi
yang kurang pengaturannya dan menjadi bahan spekulasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini