Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Seperti Doeloe Itu

Trading house akan dihidupkan kembali dengan tujuan untuk membantu pemasaran pengadaan bahan baku, pengembangan dan pertumbuhan pengusaha ekonomi lemah. (eb)

10 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH saatnya kita sekarang untuk menghidupkan kembali trading house seperti dulu," kata Menteri Perindustrian A.R. Soehoed belum lama ini. Rupanya setelah melakukan banyak peninjauan ia menyimpulkan bahwa perusahaan industri kecil dan menengah masih mengalami kesulitan dalam pemasaran, baik untuk pasaran dalam negeri maupun ekspor. Sebabnya karena umumnya mereka tidak mempunyai jaringan pemasaran dan aparat distribusi. Untuk mengatasi kelemahan ini bentuk trading house yang sudah lama dikubur akan dihidupkan lagi. Trading house merupakan organisasi pemasaran yang membeli dan menjual hasil produksi industri besar dan kecil, termasuk pertanian dan kerajinan rakyat ke dalam maupun ke luar negeri. Di samping itu juga membantu pengadaan bahan baku, bahan penolong, suku cadang bagi keperluan industri, pengrajin atau petani. Ini berarti membantu pengembangan dan pertumbuhan pengusaha ekonomi lemah hingga mereka tidak usah memusingkan diri dengan soal pemasaran produksi mereka dan penyediaan bahan baku. Trading house pernah berjaya di Indonesia. Sampai 1957 terdapat 33 trading house Belanda di sini, lima di antaranya dikenal sebagai Si Lima Besar: Lindeteves, Internatio, Borsumij, Jacobson van den Berg dan Geo Wehry. Kampanye pembebasan Irian Barat membuat hubungan dengan Belanda memburuk. Perusahaan Belanda, termasuk trading house, ditutup atau diambil alih pemerintah Indonesia. Peranannya dicoba diteruskan oleh beberapa perusahaan yang dibentuk untuk menggantikannya, misalnya PT Usindo yang kemudian menjelma menjadi PT Jaya Bakti, PT Central Trading Company (CTC) serta beberapa PN Niaga. Tapi persiapan yang kurang serta tiadanya kemampuan, membuat usaha ini berantakan. Bahkan fungsi trading kmlse kemudian menghilang karena beberapa kegiatan dipecah dan dibagi, hingga sifat integrasinya yang vertikal itu hilang. Usaha perkebunan misalnya, ditaruh di bawah Departemen Pertanian sedang fungsi dagangnya masuk Departemen Perdagangan. Menghidupkan kembali trading house sudah merupakan keputusan Dewan Stabilisasi Ekonomi, ketika pemerintah meakini perlunya mebangun sektor distribusi. "Untuk itu perlu didirikan trading house yang modern dan efisien dengan modal yang besar," kata Menteri Perdagangan Radius Prawiro dalam Munas Kadin Indonesia Oktober 1976. Kemudian menghilang, gagasan ini muncul kembali setelah Kenop 15, ketika usaha memacu ekspor makin digalakkan. Membina Pekan lalu, atas permintaan Menteri Perdagangan dan Koperasi, para pengusaha swasta besar di Jakarta membahas konsep pembentukan Trading Houses Indonesia (THI). Hasilnya: "Sebanyak 8 trading houses telah diusulkan untuk mendapat persetujuan dari Depdagkop," kata Dir-Ut PT Panca Niaga Djukardi Odang yang memimpin pertemuan itu. Untuk tahap permulaan jumlah ini dianggap cukup. Cara pembentukan yang diusulkan: 4 THI diambil dari PTPT Niaga, yakni PT Panca Niaga, PT Dharma Niaga, PT Tjipta Niaga dan PT Kerta Niaga. Empat lainnya dari perusahaan swasta nasional milik pribumialau non pribumi. "Keputusannya terserah pemerintah. Tapi satu trading House hendaknya sudah mulai bisa bekerja pada awal Pelita III ini," kata Odang. Kabarnya pemerintah ingin swasta lebih besar partisipasinya dalam THI ini. Perbandingan modalnya, untuk tahap pertama diharapkan 60% saham pemrintah sedang yang 40% swasta. Tapi untuk tahap berikutnya perbandingannya dibalik, swasta 60% sedang pemerintah 40%. Semua pihak menyetujui perlunya segera dibentuk THI. Tapi sejak pagi-pagi rupanya sudah dicanangkan beberapa bahaya THI. "Kadin mendorong terbentuknya trading house, asalkan nantinya tidak menjadi perusahaan raksasa," kata Ketua Kadin Suwoto Sukendar. Kondisinya dengan zaman semasa Big Five dulu sudah berubah hingga barang yang penjualannya sudah lancar tidak perlu lagi lewat THI. "Tapi carilah lasaran yang terbuka, misalnya hasil pertanian, tekstil dan kerajinan rakyat," katanya. "Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) sudah lama menunggu THI ini," kata Sekjen T. Akip pekan lalu. Ia mengambil contoh Jepang yang dunia usahanya mungkin hancur kalau tak ada trading company. Di negeri itu hasil industri yang dipasarkan trading company dibubuhi merek dagang trad ing house yang bersangkutan, misalnya Mitsubishi. Hingga nama produsennya sendiri tak dikenal tapi mutu terjamin dan harganya wajar. Pembentukan THI memerlukan modal besar hingga kalangan perbankan swasta menganjurkan agar THI nanti bertindak hati-hati dan tidak terlalu komersiil. "Kalau terlalu komersiil berarti sangat ambisius dan bisa menyeleweng dari sasaran," ucap I Nyoman Moena, Direktur Utama PT Overseas Express Bank. Yang dimaksudnya adalah misalnva memilih barang yang laris dan sudah lancar pemasarannya seperti semen dan pupuk. "Karena tujuannya membina, mau tak mau THI nanti harus bersifat idiil," tutur Moena. Djukardi Odang sama pendapatnya. "Tujuan THI bukan semata-mata mencari untung tapi juga untuk membina industri kecil dalam pengadaan bahan baku dan pemasaran hasil produksinya," katanya. Ia menyebut beberapa angka. Dari 55.273 perusahaan industri yang ada (1975), industri kecil berjumlah lebih dari 48.200 atau 87,2%. Industri sedang 5.700 (10,4%) sedang industri besar hanya sekitar 1300 (2,4%. Tidak semua komoditi akan ditangani THI. Untuk tahap I menurut Odang THI akan bergerak dalam komoditi yang kurang pengaturannya dan menjadi bahan spekulasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus