Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Setelah Pers tanpa Belenggu

RUU Pers yang diresmikan awal pekan ini bagai melepas segala belenggu pers Indonesia. Mampukah media massa menjalani sebuah kebebasan yang hanya dibatasi oleh hukum?

12 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBEBASAN pers, ''mutiara" yang hilang sejak zaman Orde Lama dan Orde Baru, Senin pekan ini kembali ke tangan wartawan Indonesia. Hari itu, di Gedung DPR, Undang-Undang Pers Indonesia yang baru diresmikan melalui sidang paripurna. Undang-undang yang terdiri dari 10 bab dan 21 pasal ini adalah perangkat hukum pertama yang menjamin kebebasan media massa di negeri ini. Dengan undang-undang ini, segala ''hantu" penghambat kebebasan, yang hidup pada masa silam, habis ditebas. Belenggu kekuasaan atas media cetak, elektronik, dan media alternatif diputus sama sekali dalam undang-undang yang baru ini. Dan ironisnya, berkah untuk pers Indonesia ini justru datang ketika Departemen Penerangan dipimpin oleh seorang menteri dari kalangan militer, Muhammad Yunus, dan bukan ketika orang pers seperti Harmoko duduk di sana. Jika undang-undang ini benar-benar diterapkan seperti apa yang tertulis, pers Indonesia akan mengalami masa-masa semanis madu. Bayangkan saja. Untuk membuat sebuah usaha penerbitan, misalnya, orang tidak perlu lagi surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP), yang dulu "berharga" ratusan juta rupiah, bahkan ada yang mencapai angka miliar. Anda yang berminat membuat koran atau majalah juga tidak perlu mendaftar, bahkan tidak perlu memberitahu siapa pun—termasuk pemerintah. Departemen Penerangan, yang dulu maha berkuasa dalam menentukan hitam-putihnya pers Indonesia—sampai memilihkan nama media dan "mencarikan" investor—tidak lagi punya kuku setajam dulu. Tidak cuma itu. Undang-undang ini juga menyebutkan, siapa pun yang menghambat kebebasan pers akan berhadapan dengan hukum dan lembaga peradilan. Sementara itu, kesalahan media tidak akan diselesaikan melalui bredel, melainkan lewat proses hukum di lembaga peradilan. Para wartawan, ujung tombak dalam bisnis media massa, akan mendapat perlindungan hukum dalam profesinya. ''Perlindungan untuk profesi wartawan ibarat perlindungan untuk petugas Palang Merah yang menjalankan tugas kemanusiaan," ujar Bambang Sadono, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Karya Pembangunan. Padahal, persidangan yang membahas seluruh RUU Pers ini hanya berlangsung kurang dari sebulan. ''Sebetulnya kami sudah bekerja satu tahun penuh berdasarkan masukan dari masyarakat media sebelum mulai bersidang," kata Bambang. Dengan kondisi seperti itu, banyak masalah bisa lolos dengan mulus. Namun, beberapa pasal harus melewati perdebatan alot, misalnya trial by the press (penghakiman oleh pers). Keempat fraksi yang berdebat menekankan, semua media wajib menjunjung asas praduga tak bersalah dan melindungi hak-hak masyarakat. Pihak eksekutif yang mengusulkan pasal trial by the press mendapat dukungan Fraksi ABRI. Namun, pengamat media massa Atmakusumah menyebutkan, jika trial by the press menjadi suatu produk hukum, ia akan sulit dilaksanakan karena penafsiran setiap orang bisa berbeda-beda. "Orang yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan akan menganggap ada trial by the press, walaupun berita itu tepat dan benar. Sedangkan masyarakat luas justru merasa pers melakukan kewajibannya dengan menurunkan berita tersebut," ujar bekas wartawan koran "legendaris" Indonesia Raya ini. Kata sepakat akhirnya dicapai melalui kompromi dan lobi. Istilah trial by the press diartikan lebih luas sebagai pemberitaan yang akurat dan berimbang. Maka, pers diminta agar tidak menghakimi atau membuat kesimpulan atas kesalahan seseorang. Terlebih untuk kasus-kasus yang masih dalam proses pengadilan. Pers Indonesia sudah memegang ''sertifikat" bebasnya? Belum sepenuhnya. Ancaman bredel bisa saja muncul dari RUU lain, seperti beberapa pasal dalam RUU Keselamatan dan Keamanan Negara. Pasal-pasal ini mengatur kekuasaan presiden dalam keadaan darurat militer untuk melarang atau membatasi pertunjukan dan pemberitaan melalui media cetak dan elektronik. Alhasil, kebebasan memang ada di tangan, tapi bukan tanpa sandungan. Bahkan, untuk menerapkannya, pers Indonesia tetap harus bergantung pada beberapa pihak, terutama pengadilan, yang mudah-mudahan akan adil menimbang penyelewengan media. Setelah dibelenggu aturan-aturan represif sejak 1960-an, pers Indonesia yang bebas-merdeka bisa saja tergoda menjadi pisau bermata dua. Dia bisa dipakai membelah kasus-kasus "gelap" yang selama ini menutupi mata masyarakat. Dia bisa juga dipakai mengancam, menonjok, dan melukai orang lain untuk kepentingan kelompok sendiri. Semuanya bisa terjadi atas nama kebebasan pers. Hermien Y. Kleden, Ardi Bramantyo, Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus