Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setia Mengayuh Bambu dan Kayu

Seorang seniman asal Malang menyulap bambu dan kayu menjadi sepeda. Diminati wisatawan asing.

16 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA agenda rutin yang dikhidmati Chamim Marka setiap Ahad pagi. Sedang asyik-asyiknya menggenjot sepeda, ia selalu diminta berhenti oleh orang-orang di tepi jalan. ”Setiap Minggu saya selalu dikerubuti,” kata seniman lukis dan patung itu, seraya terbahak.

Memang, sepeda yang ditunggangi pemilik Sanggar Seni Rupa Artcha itu bukan sembarang sepeda. Tak seperti lazimnya kereta angin yang terbuat dari besi, sepeda merk Chamim ini 85 persen berbahan baku bambu, mulai dari setang, bodi, sadel, hingga sepatbor. Bahan lainnya diambilkan dari limbah kayu, tulang, atau organ tubuh hewan yang dagingnya dikonsumsi manusia—seperti kambing, sapi, dan kerbau.

Tanduk domba, misalnya, dipakai sebagai elemen setang. Tanduk sapi dipasang di buntut sepeda. Kulit kelinci digunakan sebagai rumbai sadel berwarna cokelat mengkilat. Sepeda bambu ini juga dihiasi ”mahkota” (jamang) dari kuningan, serta pelbagai aksesori dari ijuk, tembaga, bahkan kain perca. Hanya pelek roda dan jeruji yang terbuat dari besi, walau bagian luarnya tetap dibungkus bambu.

Konon terinspirasi oleh kekuatan bambu runcing yang digunakan para pejuang Perang Kemerdekaan, jebolan sekolah dasar ini memperkenalkan sepeda bambu pada 1997. Awalnya yang dipakai bambu melengkung. Karena bahan itu tak mudah ditemukan, Chamim beralih ke bambu ori, yang nama ilmiahnya Bambusa bambos miq. Bambu jenis ini dipilih karena kuat, tebal, mudah diperoleh, dan memang dikenal serbaguna.

Namun, kata ayah tiga anak itu, menggunakan bambu ori agak sulit dan butuh waktu lama. Sejak umur tujuh hari bambu itu harus dibonsai, sesuai dengan lengkungan yang diinginkan. ”Panen”-nya baru tiga tahun kemudian. ”Lumayan, daripada saya harus membeli bahan baku seharga Rp 700 ribu,” kata Chamim, yang menanam bambu ori di halaman rumahnya.

Pembuat patung batu terkenal di Malang, Jawa Timur, ini mengaku butuh waktu relatif lama untuk membuat satu unit sepeda bambu. ”Biasanya tiga sampai empat bulan, tergantung bahan,” katanya. Sepanjang 2000-2004, misalnya, dia cuma memproduksi lima unit sepeda bambu. Sampai kini pun, total produksinya baru 13 sepeda.

Proses produksi dimulai dari merancang bentuk artistik yang hendak dicapai, misalnya apakah sepeda akan menyerupai banteng, naga, rusa, atau babi hutan. Bambu yang akan dijadikan rangka sepeda diawetkan dulu dengan minyak solar yang telah dicampur dengan potas (sejenis racun ikan), belerang, kamper, minyak tanah, dan minyak tembakau.

Setelah itu bambu dikeringkan, dibelah, diukir, dihaluskan, lalu dirakit dan diberi ornamen untuk mendapatkan nilai artistik dan bentuk yang serasi. Kemudian direkatkanlah berbagai ornamen pada kerangka sepeda. Proses pemotongan hingga pengeringan bambu membutuhkan waktu empat bulan, sedangkan proses pengawetan sampai pembelahan perlu waktu satu setengah bulan.

Untuk menjaga kualitas, Chamim melakukan sendiri test drive produknya. Sepeda buatannya pada 2004, misalnya, diuji coba sejauh 700 kilometer, dengan beban 110-120 kilogram. Maka tak mengherankan jika pria yang pernah mewakili Kabupaten Malang dalam Pameran Produk Kerajinan dan Wisata di Nusa Dua, Bali, pada 2002 itu mematok harga sepeda bambunya Rp 25 juta per unit.

Sayang, hingga kini belum satu pun sepeda bambunya terjual. Berbeda halnya dengan sepeda kayu, yang mulai dibuatnya sejak 1989. Hingga 2000, pendiri klub Sepeda Ukir Malang (Sukma) ini telah membuat 27 sepeda ukir berbahan kayu. Kebanyakan yang digunakan kayu mahoni, trenggulun atau jati jawa, dan kayu uni.

Sepeda kayu itu dikirimnya ke Jepang, Australia, Jerman, dan Amerika Serikat. Dengan harga Rp 3 juta hingga 6 juta per unit, sepeda kayu yang proses pembuatannya mirip dengan sepeda bambu itu banyak dilirik wisatawan asing yang sedang berlibur ke Bali, tempat Chamim menitipkan produknya di beberapa galeri. Kini Chamim, pria 51 tahun itu, sedang berpikir membuat sepeda dari tulang-belulang.

D.A. Candraningrum, Abdi Purmono (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus