Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Skenario Damai di Ladang Bencana

Medco menjual anak perusahaannya agar terhindar dari beban kerugian bencana lumpur Lapindo. Seirama dengan genderang Grup Bakrie.

16 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN kompromi akhirnya benar-benar menjadi pilihan PT Medco Energi Internasional Tbk. Perusahaan minyak milik Arifin Panigoro ini, bulan lalu, telah melego anak perusahaannya, PT Medco Brantas, kepada afiliasi Grup Bakrie.

Perjanjian jual-beli diteken pada 16 Maret lalu. ”Sudah closed, transfer pembayaran pun sudah dilakukan,” kata Direktur Utama Medco Energi, Hilmi Panigoro, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Kepastian ini sekaligus memupus keraguan atas kabar yang berembus akhirNovember lalu, yang menyebutkan kedua konglomerasi itu, Medco dan Bakrie, telah memilih jalan damai dalam menyelesaikan sengketa di Blok Brantas, Sidoarjo, Jawa Timur.

Saat itu dikabarkan Medco bakal mencabut gugatannya terhadap Lapindo Brantas Incorporated yang telah dilayangkan ke badan arbitrase internasional. Keputusan ini diambil setelah keluarga Bakrie menawarkan ”pipa perdamaian” ke pihak Medco, dengan janji akan membeli penyertaan modal (working interest) Medco Brantas di Blok Brantas sebesar 32 persen (Tempo, 3 Desember 2006).

Lapindo merupakan pengelola sekaligus pemilik konsesi terbesar atas ladang minyak dan gas di Jawa Timur itu. Porsi yang dikuasai anak perusahaan Grup Bakrie ini 50 persen. Sisanya dimiliki Santos (Brantas) Pty. Ltd. sebesar 18 persen. Belakangan, sengketa muncul di antara para pemilik ladang ini setelah terjadi bencana semburan lumpur panas akibat pengeboran di salah satu sumur di Sidoarjo, Jawa Timur.

Sejak lumpur menyembur akhir Mei tahun lalu, nilai kerugian terus membengkak. Angka terbaru yang dirilis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional cukup mencengangkan. Hingga akhir Maret lalu, total kerugian ditaksir mencapai Rp 27,4 triliun!

Melihat angka kerugian triliunan rupiah itu, pantas saja jika Medco ngotot untuk melego seluruh kepemilikannya di lapangan Brantas. Upaya untuk keluar dari kubangan lumpur juga pernah dua kali dilakukan PT Energi Mega Persada, induk perusahaan Lapindo. Sebab, gara-gara beban ini, saham Energi Mega di lantai bursa terus-menerus loyo.

Persoalannya, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) tak pernah merestui niat Bakrie. Penolakan pertama dilakukan saat Bakrie berniat melepaskan Lapindo dari Energi Mega dan menjualnya ke Bakrie Oil & Gas seharga US$ 2 pada Oktober 2006. Transaksi ini akhirnya gagal karena Bapepam tak meres-tuinya dengan alasan tak kunjung jelas siapa yang akan bertanggung jawab atas bencana Sidoarjo setelah pengalihan saham terjadi.

Tak kehabisan akal, Bakrie menggelar siasat baru. Lapindo ditawarkan ke Freehold Group Ltd. (British Virgin Islands), milik James Belcher, karib lama Bakrie, seharga US$ 1 juta (Rp 9 miliar). Dalam transaksi ini, Minarak Labuan Co. Ltd., yang masih terafiliasi dengan Bakrie, bertindak sebagai penjamin.

Dengan cara ini, Bakrie semula yakin transaksi bakal berjalan mulus. Alasannya, Freehold tak punya kaitan dengan Grup Bakrie, sehingga transaksi ini tak butuh ”lampu hijau” dari Bapepam. Tapi rupanya otoritas pasar modal ini—didukung Menteri Keuangan—berkukuh transaksi tetap tak bisa dilaksanakan tanpa seizinnya.

Menurut Ketua Bapepam Fuad Rahmany, kasus Lapindo telah menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat. Karena itu, hal ini tak bisa dipandang sebagai transaksi biasa. Harus jelas siapa yang nanti akan bertanggung jawab atas kerugian akibat bencana. Kalaupun disebutkan Minarak akan bertindak sebagai penjamin, pertanyaannya: seberapa kuat keuangannya dan siapa sesungguhnya Minarak?

Tak ada catatan jelas tentang perusahaan yang berbasis di Malaysia ini. Hanya diketahui bahwa Minarak pernah menjadi pemilik saham PT Bumi Resources Tbk., yang juga kepunyaan Grup Bakrie. Soal-soal inilah yang tampaknya hingga kini belum bisa dengan gamblang dijelaskan Bakrie kepada Bapepam. Itu sebabnya penyelesaian transaksi pun masih terkatung-katung.

Nah, di tengah kegamangan itulah Medco justru kini mengambil langkah serupa dengan Bakrie. Medco Brantas dijual ke PT Prakarsa Cipta Abadi dan PT Prakarsa Cipta Selaras (Grup Prakarsa) seharga US$ 100 atau Rp 900 ribu saja. Embel-embelnya: Prakarsa harus memikul seluruh kewajiban Medco Brantas atas kerugian yang timbul aki-bat petaka lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur.

Dalam transaksi ini, Minarak kem-bali menjadi penjamin. Persoalannya, ya itu tadi, tak diketahui jelas siapa pemilik Minarak dan seberapa besar kekuatan keuangannya, meski Direktur Minarak, Jay Abdullah Alatas, pernah menjamin ketersediaan dana yang dibutuhkan Lapindo.

Adanya ketidakjelasan ini, kata sumber Tempo, menimbulkan kekhawatiran bahwa ujung-ujungnya tak akan ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban atas kerugian bencana. ”Sangat disayangkan, Medco mengikuti irama genderang yang ditabuh Bakrie,” katanya. Padahal, dampaknya, kelompok usaha keluarga Panigoro ini bisa mendapat kesan buruk seolah-olah tak peduli lagi dengan kepentingan publik.

Hilmi tampaknya tak khawatir dengan sinyalemen itu. Malah menurut komandan bisnis Grup Bakrie ini, transaksi tersebut merupakan win-win solution. Dalam bisnis, yang terpenting adalah kepastian. ”Lapindo Brantas itu penuh dengan ketidakpastian,” ujarnya.

Soal hak arbitrase, Hilmi pun menegaskan, secara otomatis berpindah ke pemilik baru. ”Jadi terserah Prakarsa mau diapakan,” kata adik Arifin Panigoro ini. ”Yang jelas, pada saat penandatanganan perjanjian jual-beli, gugatan belum dicabut.”

Menurut sumber Tempo, solusi kompromi ditempuh setelah pihak Bakrie mempelajari hasil penelitian tim konsultan yang disewa Medco. Dalam bahan yang dijadikan materi gugatan Medco ke arbitrase pada Oktober 2006 ini, posisi Lapindo (Bakrie) memang benar-benar terpojok.

Dalam gugatan itu, Medco membeberkan sejumlah pelanggaran yang dilakukan Lapindo terhadap perjanjian kerja sama operasi. Salah satunya, soal peringatan Medco agar Lapindo memasang selubung bor (casing) untuk mengantisipasi kebocoran, yang ternyata tak diindahkan.

Di situ juga disinggung soal dana provisi untuk kegiatan operasional hulu migas sebesar US$ 14 juta. Medco menolak langkah Lapindo yang ”membelokkan” dana operasional itu untuk menangani dampak semburan lumpur.

Berdasarkan sejumlah pelanggaran itu, Medco meminta arbitrase membebaskannya dari kewajiban memberikan kontribusi dana kepada Lapindo dalam penanggulangan bencana.

Adanya permintaan ini dibenarkan Direktur Energi Mega, Yuli Soedargo. ”Upaya Medco menghindari kewajiban membayar biaya-biaya yang menjadi bagiannya, sehubungan dengan insiden sumur Banjar Panji-1, adalah benar sepenuhnya,” katanya dalam laporan tertulisnya ke Bursa Efek Jakarta.

Meski begitu, Lapindo sempat menyerang balik Medco dengan membeberkan catatan joint operating bahwa Medco Brantas masih punya tunggakan US$ 29,4 juta yang seharusnya dibayarkan pada 8 dan 21 Februari 2007. Disebutkan pula bahwa Medco tidak menyetorkan pe-nuh kewajiban pembayaran cash call selama beberapa bulan. Padahal, kata Yuli, sebelum ada keputusan arbitrase, seharusnya setoran dana tetap dibayarkan Medco sesuai dengan permintaan Lapindo sebagai operator.

”Perang” belakangan tak jadi berlanjut, kata sumber Tempo, setelah Hilmi dan Nirwan Bakrie dikabarkan bertemu. Dari situlah skenario win-win solution dirancang, yang pada akhirnya membuahkan penjualan Medco Brantas ke Prakarsa. Tapi Hilmi menampik adanya skenario itu. ”Ah, nggak, rumor itu,” ujarnya sambil terkekeh.

Lantas bagaimana hasil akhir cerita damai ini? Hingga kini masih sulit ditebak. Bapepam masih menelitinya, kendati Hilmi tetap berkeras bahwa otoritas pasar modal itu tak punya dasar untuk membatalkan jual-beli ini. Menurut dia—seperti juga pandangan Bakrie—nilai transaksi tidak material, sehingga tak perlu meminta persetujuan rapat pemegang saham, yang baru bisa digelar atas seizin Bapepam.

Pandangan itu, kata analis pasar modal Edwin Sinaga, sah-sah saja jika sebatas dilihat dari sisi aturan pasar modal. Tapi Edwin mengingatkan, dalam kasus lumpur Lapin-do, ada kerugian yang sangat besar. Lagi pula Bapepam sebagai kepanjangan tangan pemerintah memiliki otoritas untuk melindungi kepentingan negara. ”Negara ini milik rakyat.” Karena itu, ”Bapepam pun wajib melindungi kepentingan rakyat.”

Retno Sulistyowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus