Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KURSI empuk para auditor keuangan menjelang akhir bulan ini terasa lebih gerah. Adapun gara-garanya: rancangan undang-undang tentang akuntan publik, yang telah disosialisasi sejak tiga tahun lalu, bakal segera meluncur ke kantor Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. ”Drafnya tinggal diserahkan ke Bu Menteri Keuangan,” kata Sekretaris Tim Antardepartemen Panitia Kerja RUU, Basri Edward, di Jakarta, Kamis pekan lalu. ”Akhir bulan ini akan diserahkan ke Departemen Hukum.”
Buat para penelisik laporan keuangan perusahaan, isi RUU ini memang rada ”seram”. Ada tiga pasal yang jelas-jelas mengatur ketentuan pidana terhadap pihak yang terlibat dalam proses audit. Pasal 46 bahkan langsung tertuju kepada kantor akuntan publik. Mereka diancam hukuman kurungan maksimal enam tahun dan denda paling tinggi Rp 300 juta jika terbukti melanggar standar profesional akuntan publik.
Jika ini diterapkan, ”Bisa-bisa ju-rusan akuntansi kosong,” kata Iman Sarwoko dari kantor Ernst & Young-Purwantono, Sarwoko & Sandjaja. Alasannya, ”Kesalahan apa pun bisa dilarikan ke urusan pidana.”
Penolakan juga disuarakan oleh Tia Adityasih. Menurut Ketua Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Kompartemen Akuntan Publik ini, tak pada tempatnya RUU memuat klausul pidana. Toh, sudah ada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lagi pula, ”Proses audit menyangkut urusan administratif dan perdata,” katanya.
Pakar hukum bisnis, Sutan Remy Sjahdeini, tak sepakat dengan sederet alasan itu. Pertama, banyak undang-undang profesi, seperti perbankan, juga memasukkan klausul pidana. Adapun kekhawatiran bahwa semua kesalahan akan dijerat dengan klausul pidana, menurut dia, berlebihan. ”Kalau si akuntan bertindak benar, kenapa takut?” ia bertanya.
Guru besar hukum ini malah berpendapat, dengan undang-undang itu, segala bentuk manipulasi para akuntan yang ditengarai kerap ”menyulap” rapor keuangan kliennya menjadi ”biru” bisa dikikis. Itu sebabnya ia mendukung penuh pasal pidana dalam undang-undang ini. ”Biar bisa membantu membuktikan praktek-praktek persekongkolan yang selama ini sulit dibuktikan,” kata Remy.
Tudingan Remy bukan pepesan kosong. Megaskandal akuntansi dan manipulasi laporan keuangan yang meluluhlantakkan raksasa energi Amerika Serikat, Enron Corporation, pada 2001 menjadi salah satu buktinya. Perusahaan akuntansi kelas dunia, Arthur Andersen, ikut bertanggung jawab atas kemelut ini. Setahun kemudian, kantornya di Amerika langsung ditutup, yang membuat 85 ribu karyawannya kehilangan pekerjaan.
Atau tengoklah pengalaman Parmalat di Italia. Raksasa produsen makanan itu langsung roboh ketika praktek manipulasi keuangan terbesar di Eropa terbongkar pada 2003. Bank of America di Italia, berikut dua kantor akuntan terkemuka, Deloitte & Touche dan Grant Thornton, ikut terseret ke kursi terdakwa. Mereka dituduh membantu para manajer Parmalat menutup-nutupi kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.
Berkaca pada pengalaman pahit itu-lah berbagai negara sibuk membenahi kembali aturan main akuntan publik. Tak mau kecolongan, Menteri Boediono pun melansir Keputusan Menteri Keuangan pada September 2002. Keputusan inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal lahirnya RUU Akuntan Publik. Namun, dalam keputusan itu, sanksi yang diatur baru sebatas sanksi administrasi, seperti peringatan serta pembekuan dan pencabutan izin.
Satu persoalan lama yang ada dalam keputusan itu, dan kini juga dipersoalkan dalam RUU, adalah soal pengaturan rotasi kantor akuntan publik. Dalam Keputusan Menteri digariskan bahwa setiap kantor akuntan hanya diperbolehkan melakukan audit untuk lima tahun buku berturut-turut. Sedangkan seorang akuntan publik maksimal tiga tahun berturut-turut.
Ketentuan serupa kembali ditegaskan dalam RUU. Bahkan periode maksimal akuntan publik menjadi sama dengan kantor akuntan, yaitu lima tahun. Masa pembatasan itu baru berakhir setelah akuntan tidak memberikan jasa audit selama dua tahun berturut-turut atas klien tersebut. ”Independensi harus di-jaga untuk melindungi kepentingan publik,” kata Basri Edward.
Menurut seorang akuntan, aturan ini pada prakteknya bisa disiasati. Untuk kantor akuntan besar yang punya banyak akuntan publik, siasat dijalankan dengan cara ”menidurkan” sebagian akuntannya. Hanya sebagian kecil akuntan yang didaftarkan sebagai rekan kantor itu ke Departemen Keuangan. Sisanya berstatus cuti, untuk nantinya dimunculkan bergiliran.
Dengan cara ini, kantor akuntan itu bisa terhindar dari pembatasan lima tahunan atas kliennya. Cara lain ialah dengan menggandeng mitra baru yang tugasnya hanya sebatas pemberi otorisasi hasil audit (signing partner) dengan imbalan fee sekitar 20 persen.
Yang jelas kelimpungan adalah kantor akuntan kecil. Tak mudah mencari mitra baru. ”Paling-paling melakukan merger bohong-bohongan,” kata seorang akuntan senior. Seolah-olah beberapa kantor digabung untuk membikin kantor yang baru, padahal kenyataannya cuma ganti nama dan tetap menggarap klien masing-masing.
Karena itulah para akuntan sejak awal menentang aturan ini. Namun peng-urus IAI belakangan melunak, dengan catatan: pembatasan hanya dilakukan kepada akuntan publik, bukan kepada kantor akuntan. Dengan begitu, klien tak perlu berpindah-pindah kantor akuntan. ”Di banyak negara pun pembatasan kantor akuntan publik ditolak,” kata Tia.
Beberapa kajian menyimpulkan pergantian kantor akuntan mendatangkan sejumlah risiko. Salah satunya, kualitas audit menurun. Sebab, butuh waktu untuk memahami kompleksitas keuangan perusahaan. ”Jadi, selain independensi, harus diperhitungkan juga faktor kompetensi,” kata Siddharta Utama, pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Kerugian lain, dengan pergantian kantor akuntan, biaya audit menjadi lebih mahal karena proses pengumpulan data dimulai dari awal. ”Lama-lama klien bisa lari ke kantor-kantor akuntan luar negeri, dari India atau Malaysia,” kata Sarwoko.
Agar tak salah langkah, mungkin ada baiknya pemerintah belajar pada pertemuan Komite Uni Eropa di Dublin, Maret 2002—setelah kasus Enron meledak. Semua negara dalam perdebatan itu tak sepakat dengan rotasi kantor akuntan. Hanya Italia yang mendukung, meski setahun kemudian Negeri Pizza itu yang malah terbelit skandal Parmalat.
Metta Dharmasaputra, Muhammad Nafi
Perlu-Tidak Aturan Rotasi
GEGER skandal akuntansi dan laporan keuangan raksasa energi Amerika Serikat, Enron Corporation, pada 2001 mendorong banyak negara memperketat aturan tentang kantor akuntan publik (KAP). Salah satu wacana yang menyeruak adalah perlu-tidaknya mewajibkan rotasi kantor akuntan terhadap perusahaan yang diauditnya agar independensi lembaga auditor tetap terjaga. Hingga kini perdebatan masih berlangsung. Namun sebagian besar negara memandang aturan itu tak perlu amat. Hanya sedikit yang mengadopsinya, termasuk Indonesia.
Wajib
Indonesia Sejak akhir 2002, Departemen Keuangan mewajibkan rotasi KAP setiap 5 tahun dan partner audit 3 tahun untuk semua perusahaan publik dan swasta.
Singapura Sejak 2003, bank wajib merotasi external auditor-nya setiap 5 tahun.
Italia Rotasi KAP diwajibkan CONSOB (Badan Pengatur Bursa Efek) sejak 1990-an untuk semua perusahaan publik. Auditor ditunjuk setiap 3 tahun, maksimum 3 siklus (9 tahun). Setelah kasus Enron, diusulkan rotasi diperpendek menjadi 6 tahun.
Korea Selatan Rotasi KAP diwajibkan sejak November 2003 untuk perusahaan publik di Bursa Efek Korea (Kosdaq). Penggantian auditor setiap 6 tahun sekali (mulai 2006).
Lithuania Diberlakukan sejak Mei 2004. Rotasi KAP setiap 5 tahun terhadap semua audit.
Revisi
Austria Pada Januari 2004, pemerintah memutuskan mencabut bertahap aturan rotasi KAP, hingga seluruhnya pada 2006. Aturan diwajibkan kepada perusahaan publik sejak 1991.
Kroasia Sejak 2002, aturan rotasi auditor bank yang telah berlaku selama 4 tahun dicabut.
Latvia Aturan rotasi untuk auditor bank setiap 2 tahun dicabut pada 2001.
Polandia Sejak 2002, badan pengawas pasar modal Polandia menerapkan rotasi KAP setiap 5 tahun untuk perusahaan publik. Namun itu kemudian diganti dengan rotasi partner audit.
Slovakia Kewajiban rotasi setiap 3 tahun sejak 1996 dicabut pada 1 Juli 2000, agar selaras dengan anggota Uni Eropa yang lain.
Spanyol Rotasi auditor 9 tahun sekali yang berlaku sejak 1990 dicabut.
Tolak
Australia, Kanada, Cina, Rusia, Hong Kong, Prancis, Jerman, Jepang, Meksiko, Portugal, Swedia, Swiss, Amerika Serikat, Inggris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo