KEBIJAKSANAAN moneter 12 September lalu, sebelum diumumkan pemerintah konon hanya diketahui beberapa menteri saja. Tapi devaluasi itu ternyata sudah "ditunggu" sejumlah perusahaan. Buktinya, seperti diungkapkan Menteri Muda UPDN merangkap Ketua BKPM, Ginandjar Kartasasmita, di DPR Rabu pekan lalu, fasilitas swap -- semacam asuransi pinjaman valuta asing -- di Bank Indonesia habis terpakai sebelum terjadi devaluasi. Kini bisa dipastikan banyak perusahaan mendapat keuntungan mendadak. Tapi, pagi-pagi, Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan surat edaran. SE-39/PJ.22/ 1986, 17 September itu, menegaskan bahwa kenaikan nilai harta dalam bentuk uang tunai valuta asing akibat devaluasi haruslah dicatat sebagai penghasilan kena pajak. Sebaliknya kenaikan nilai utang dalam valuta asing boleh pula dibukukan sebagai kerugian, sehingga dapat mengurangi penghasilan kena pajak. Kendati sudah ada penegasan itu, ternyata, banyak perusahaan belum ikhlas untuk dikenai pajak atas keuntungan mendadak dari devaluasi itu. Perusahaan Umum Asuransi Tenaga Kerja (Perum Astek), misalnya, awal pekan lalu di DPR terus terang mengatakan bahwa perusahaan mendapatkan keuntungan besar karena 1/8 kekayaannya senilai Rp 257 milyar ditanam dalam deposito dolar. Tapi kelebihan kurs itu hendak dimintakan pembebasan pajak. Menurut Dirut Astek, Iwan Stamboel, keuntungan dari devaluasi itu, antara lain hendak digunakan menghapuskan tunggakan iuran lama yang mencapai Rp 6 milyar, menaikkan bunga tunjangan hari tua dari 6% jadi 8%, menghapuskan kerugian yang ditimbulkan petugas Astek yang curang di waktu lampau, serta gedung. Sewaktu terjadi devaluasi 1983, Astek juga dikatakan meraih keuntungan sekitar Rp 6,7 milyar. Keuntungan waktu itu tidak dibukukan sebagai keuntungan, melainkan sebagai "selisih kurs" dan dijadikan modal cadangan, antara lain untuk menutup kenaikan biaya bunga maupun kerugian dalam investasi lain, seperti saham-saham di pasar modal. Di kalangan bank-bank pemerintah, keuntungan selisih kurs akibat devaluasi 1983, kabarnya, telah diminta disisihkan sebagai dana pensiun. Belum jelas bagaimana mereka akan menggunakan keuntungan selisih kurs valuta asing yang diraih dari devaluasi 1986. Seorang pejabat bank pemerintah mengungkapkan kepada TEMPO, bila cara 1983 masih diterapkan, akan merupakan suatu penyelesaian yang tidak sehat. Tampaknya hal itu memang tidak diperkenankan lagi oleh BPKP (Badan Pengawasan Keuangan & Pembangunan). Sementara ini, ternyata, banyak perusahaan ingin meminta juga penilaian kembali revaluasi, atas harta fisik perusahaan. Hal ini pun terlontar di DPR, pekan lalu, dari PT Tifico. Perusahaan tekstil Jepang yang telah go public itu secara terbuka mengusulkan agar boleh menilai kembali asetnya seperti diizinkan pada 1979 setelah devaluasi November 1978. Dengan cara begitu, tentu saja nilai perusahaan jadi lebih mahal kalau mau dijual, atau bisa membuat perhitungan penyusutan modal -- yang secara langsung mengurangi pula pajak penghasilan. Tapi, kali ini agaknya cara itu tak berlaku. "Tidak mungkin setiap ada devaluasi diadakan revaluasi," kata Dirjen Pajak Salamun A.T. kepada TEMPO, Selasa pagi. Menurut Salamun, revaluasi waktu itu diizinkan 1979, karena nilai aset perusahaan-perusahaan tidak memadai lagi dibanding nilai riil bila perusahaan itu dijual. Ketidaksesuaian itu terjadi, antara lain, karena sistem penilaian penyusutan per tahun waktu itu merata setiap tahun, ditambah lagi tingginya inflasi. Sedangkan kini inflasi lebih kecil. "Pajak itu 'kan menginginkan telur. Kalau ingin telurnya bisa terus didapat, ayamnya juga harus sehat," kata Salamun, mengomentari usul Tifico. Walau begitu, Salamun bukannya tak peduli. Jalan keluar dari kerugian Tifico memang sedang dipikirkan. Memang bukan hanya Tifico yang berniat minta revaluasi. PT Centex dan PT Kumafiber, yang juga bergerak di bidang industri tekstil, menginginkan hal yang sama. Bahkan PT National Gobel, yang bergerak di bidang industri elektronik, juga demikian. "Saya kira, semua industri mau minta revaluasi setelah devaluasi 45% ini," tutur Jamien A. Tahir, Wakil Dirut PT National Gobel. Tapi yang tak menginginkan revaluasi juga ada. Pabrik ban PT Goodyear Indonesia, misalnya. "Revaluasi itu bermanfaat kalau perusahaan memiliki untung. Sedangkan kami, cash flow saja sudah defisit," ujar Presiden Direktur Goodyear, Sjahfiri Alim. Katanya, pabrik ban yang sudah beberapa tahun tidak mencatat untung ini sebenarnya pada bulan-bulan pertama 1986 ini sudah mulai mencatat ada untung. "Setelah devaluasi begini, saya kira bakal rugi lagi," keluh Alim. Yah, lain lagi soalnya. Max Wangkar, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini