HARI jadinya cuma diperingati dengan nasi tumpeng. Para wartawan
dan karyawannya saja hadir makan siang bersama di kantin kantor
berita Antara, Jakarta. anggal 13 Desember itu dibiarkannya
berlalu seperti hari kerja biasa. "Mudah-mudahan," demikian satu
redakturnya menghibur diri, "kehidupan Antara dimulai pada usia
40." Banyak orang mengharap bahwa itu bisa terwujud, dengan
harap-harap cemas.
Dibanding waktu Adam Malik dkk memulainya 40 tahun yang lalu,
Antara sekarang sudah merupakan raksasa dengan jaringan
pemberitaannya yang meliputi seluruh propinsi Indonesia. Ia kini
terbesar pula dibanding dua kantor berita nasional lainnya --
KNI dan PAB. Tapi kondisi dan kebolehannya masih jauh tercecer
dibanding usianya yang sudah lanjut.
Teleprintor
Raksasa ini adalah hasil pencaplokan P[A, bekas Aneta, ke dalam
Antara pada tanun 1962. Pemerintah Orde Lama ketika itu membuat
Antara sebagai alat revolusi yang tak ada akhirnya. Ini berarti
ia menjadi alat pemerintah. Status demikian tetap bertahan
sesudah 1966, walaupun revolusi sudah tidak dicanangkan lagi.
Namun para pengasuh Antara merasakan bahwa pemerintan masih
belum memiliki kantor berita ini. Karena terbukti bahwa ia tidak
mendapat bantuan keuangan dari anggaran negara. Pemerintah masih
membiarkannya bak ayam kampung mencari makanan sendiri.
Kebetulan sedikit saja makanan yang bisa dikekasnya.
Antara hidup torutama dari hasil penjualan berita kepada
lingkungan pers maupun non-pers. Sebagian besar pelayanannya
dilakukan aengan bulletin yang terbit dua kali sehari pada tiap
hari kerja, dan sekali saja pada hari libur Cara pelayanan
begini sudah dianggap kuno. Selain biasanya tinggi, ia terlambat
selalu.
Sudan dicobanya merintis pelayanan dengan teleprinter. Tapi
kondisi pasaran belum rmemungkihkannya. Usaha modernisasi ini
berjalan lamban sekali. Grup Merdeka, Kompas, Sinar Harapan dan
Berita Buana -- itu saja koran Jakarta yang mampu membeli
pelayanan Antara dengan teleprinter. Majoritas surat kabar
langganannya masih dilayani dengan bulletin. Adakalanya sesuatu
komunikasi belum bisa menjangkaunya. Bagi koran di luar Jakarta,
yang umumnya lemah, pelayanan teleprinter itu lebih merupakan
impiam Tapi TVRI dan RRI, yang semustinya mampu dan dari segi
teknis juga memungkinkan masih enggan membeli pelayanan
teleprinter Antara. Berita Antara kini disampaikan ke TVRI-RRI
dengan motorist saja.
Langganan pers cuma menghasilkan 25-30% dari seluruh pendapatan
Antara. Pendapatannya terbesar adalah dari sumber non-pers.
Langganan non-pers ini pun sebagian besar dilayaninya dengan
bulletin. Satu tahun terakhir ini Antara juga menjual RAES
(Reuters Antara Economic Service) dengan pelayanan teleprinter
tapi masih sedikit dunia usaha yang mau berlangganan.
Pasaran berita di negeri ini memang masih sempit. Sementara itu
Antara pun tidak dikenal agresif dalam menjual. Dengan bisnisnya
yang lemah pertumbuhan Antam jadi terbatabata. Jika tapa
perobahan radikal, terutama dalam statusnya, sepuluh tahun
lagiAntara pun akan tetap begini. Ia akan tetap hidup tapi,
katakanlah, sebagai raksasa yang kekurangan gizi.
UU Pokok Pers 1966 memungkinkan pemerintah mendirikan kantor
berita. Melihat gelagatnya sekarang, pemerintah akan tetap
memakaiAntara sebagai kantor berita resrni. Cuma persoalannya
ialah dalam bentuk jawatan atau Perum atau PT (persero)?
Ismail Saleh SH, orang kedua di Sekneg 1, yang memimpin Antara
cenderung memilih bentuk PT supaya, seperti dikatakannya dalam
interpiu TEMPO, "Ia bisa beruntung dan hidup di atas kaki
sendiri." E3antuan pemerintah untuk Antara, jika akan diberikan,
menurut pendapatnya, mungkin sekedar "sebagai pelengkap", tidak
terjamin akan teratur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini