Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Siasat Mochtar Ryadi

Aset BCA sampai september 1988 sudah diatas rp 2 trilyun, dengan laba hampir Rp 11 milyar. BCA belum berambisi merebut dana bumn. 3 bank milik Mochtar Riady bergabung, masing-masing: BCA, BPI & BBB.

10 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOCHTAR Riady, Wakil Presdir Bank Central Asia, nampak gembira ketika pemerintah mengayunkan itu Pakto 27. Dia langsung memutuskan untuk menggabungkan tiga banknya yang telah lama memusingkannya: Bank Bhumi Bahari, Bank Umum Asia, dan Bank Perniagaan Indonesia. Izin bikin bank, setelah Pakto 27, tak ada artinya karena murah. Sementara itu, aset bank-bank tersebut kalau disatukan sudah mendekati Rp 500 milyar, dengan rincian BBB Rp 44,1 milyar, BUA Rp 92,8 milyar, dan BPI Rp 33 1,6 milyar. "Itu cukup kuatlah untuk menghadapi Bank Niaga," kata Mochtar Riady, salah satu pembicara dalam seminar Pakto 27 oleh Yayasan Purna Economica di Hotel Jakarta Hilton, dua pekan silam. Ia tahu, Bank Niaga, yang Juni lalu beraset Rp 1,05 trilyun, berhasil hinggap di peringkat dua, setelah BCA. Cara itu akan ia terapkan karena menyadari bahwa Pakto 27 bakal menciptakan iklim kompetisi. Akibat kerasnya kompetisi, menurut Mochtar, laba semakin menipis. Untuk menaikkan pendapatan, volume usaha diperbesar sekaligus meningkatkan profesionalisme. Sebab, masih banyak lahan jasa perbankan yang belum tersentuh. Dari 65 jenis usaha pelayanan, menurut Mochtar, cuma 10 jenis yang banyak dikerjakan bank-bank di Indonesia. Jadi, "Ibarat pabrik tak bekerja sepenuh kapasitasnya," katanya. Bankir yang belakangan agak laris di pentas berbagai seminar ini lalu meramal: bank-bank akan mengalami gejolak dalam dua-tiga tahun mendatang. Karena itu, merger menjadi salah satu kiatnya. Daya saingnya menjadi lebih kuat, karena struktur permodalan merupakan kunci menghadapi pesaing. Tapi, tutur Mochtar, "Bank kecil yang profesional akan tetap hidup." Sekalipun diakuinya, bank-bank kecil itu tak akan menerima dana yang besar. Dia lalu mengambil contoh BCA pada 1970, yang baru beraset Rp 1,5 milyar. Alkisah, datang seorang nasabah yang akan menitipkan dana yang melebihi aset tadi. BCA menolaknya. "Kerikil tak akan mampu mengangkat batu," katanya. Toh dalam waktu singkat BCA berhasil menjadi nomor satu di antara bank swasta nasional. September lalu asetnya sudah di atas Rp 2 trilyun, dengan jumlah laba hampir Rp 11 milyar (bersih). Bank ini punya 52 cabang, 4 di antaranya di luar negeri: Singapura, Hong Kong, dan New York. Kekuatan BCA lainnya, seperti terungkap pada dengar pendapat antara Komisi VII DPR-RI dan Direksi BCA baru-baru ini, pemegang saham bank itu tak menarik devidennya, yang telah menumpuk Rp 65,9 milyar. Uang itu amat mendukung modal BCA, Rp 47 milyar, sehingga total modal sendiri akhir Oktober lalu mencapai Rp 112,9 milyar. Dalam keadaan seperti itu, BCA tak mengkhawatirkan dampak kendati mengenakan PPh (Pajak Penghasilan) atas bunga deposito, yang diberlakukan pemerintah mulai 14 November ini. Nilai deposito di BCA sampai September lalu, Rp 1,07 trilyun, merupakan sumber dana utama BCA. Sebab, menurut Abdullah Ali, Presdir BCA, seluruh cabang BCA segera menjelaskan kepada deposan bahwa pungutan PPh 15% itu bersifat final, tanpa merinci nama-nama nasabah, dan asal-usul deposito itu tak diusut. BCA pun, kata Mochtar Riady, belum berambisi merebut dana Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang selama ini diparkir di bank pemerintah. Padahal, BCA punya peluang besar untuk menyedot dana itu, malahan sudah ditawari seorang direksi asuransi. Tapi, seperti kata Mochtar, BCA menjawab: sampai saat ini belum bisa. "BCA belum berpikir untuk menjilat BUMN agar mempercayakan dananya ke BCA," katanya. Ternyata, BCA masih berpikir panjang, bila menerima dana BUMN itu. Dana besar tanpa penyaluran jelas akan jadi bumerang. "Kami mesti berkelahi dengan Bank BNI," tuturnya. Mochtar rupanya tahu kapan dia harus mundur. Suhardjo Hs., Budiono Darsono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus