INDOSAT, tahun ini, mencatat laba kotor Rp 180,4 milyar. Itu jauh di atas keuntungan (bersih) tahun lalu, yang nilainya hampir Rp 109 milyar. Resepnya, "Kami menekankan kualitas pelayanan masyarakat, termasuk telepon," demikian Jonathan L. Parapak, dirut perusahaan persero, yang aktivitasnya di Indonesia sama sekali tanpa saingan itu. Dari seluruh pendapatan Indosat, penghasilan dari jasa telepon SLI (Sambungan Langsung Internasional), tetaplah yang paling besar andilnya, ketimbang teleks, telegram, saluran langsung suara dan data. Ada sekitar 27 ribu pelanggan SLI, tapi 83% di antaranya berada di Jakarta. Karena itu, "Kami harus mulai meluaskan pelayanan ke kota-kota lain," kata Parapak sembari menyebut 15 kota, antara lain: Medan, Surabaya, Ujungpandang, Banjarmasin, Semarang. Ia, rupanya, mengincar hotel-hotel di berbagai kota yang belum memanfaatkan SLI. Sebab, 14 hotel yang kini punya SLI, ternyata, tingkat huniannya meningkat. Untuk hotel kecil yang tak mampu berperalatan canggih, Parapak akan menghadiahkan KBU (Kamar Bicara Umum) khusus SLI, yang ditaruh di lobi hotel. Selama delapan tahun mengelola Indosat, Parapak, tampaknya, sudah tidak kaget kalau ditanya tentang monopoli. "Ya, kami memang monopoli. Tapi, 'kan ada juga monopoli lain, yang hasilnya berbeda, bukan," tukas Parapak. Soal tarif yang dianggap mahal, menurut Parapak, itu bukan ditentukan oleh Indosat sendiri. Dari pemakai jasa SLI untuk komunikasi Indonesia-Singapura yang dikenakan bayaran Rp 2.400 itu, Indosat cuma kebagian separonya -- selebihnya jatah Singapura. Adapun laba Rp 180,4 milyar -- yang diperkirakan dari Rp 300 milyar pendapatan Indosat tahun ini -- masih bisa dibilang lebih efisien dibanding usaha serupa di luar negeri. Parapak mengambil contoh: Jepang. Pendapatannya mencapai setara Rp 3,5 trilyun, tapi laba bersihnya cuma Rp 217 milyar. Begitu pula Australia menghimpun pendapatan setara Rp 1,7 trilyun, laba bersihnya cuma Rp 154 milyar. Lagi pula Indosat, yang kini asetnya lebih dari Rp 338 milyar itu, masih membagi 25% pendapatannya kepada Perumtel. Sebab, "Kami selalu berusaha, dan saya menekankan harus bekerja sama terus dengan Perumtel," tambah Parapak. Perumtel, harus diakui, punya andil besar juga dalam membangun laba Indosat. Sebab, adalah tugas Perumtel menyumbang jasa operasional maupun pemeliharaan kabel-kabel telepon di seantero negeri ini. Sementara itu, Indosat kebagian tugas membuat jaringan, misalnya, membangun 3 ribu satuan sambungan di Kuta, dan 2 ribu satuan sambungan di Sanur -- keduanya di Bali. Parapak menegaskan, Indosat-lah yang memasangnya sampai 'kring', kemudian operasionalnya diserahkan Perumtel. Tapi menurut Dirut Perumtel, Cacuk Sudarijanto, pengeluaran Indosat untuk membangun prasarana SLI tersebut di atas, tidaklah sama artinya dengan mengeluarkan biaya buat Perumtel. Sebab, "Itu tidak masuk di pos biaya, melainkan cadangan tujuan," kata Cacuk. Begitu pula terhadap penerimaan Perumtel yang 25% dari pendapatan Indosat. Cacuk mengharapkan kompensasi seperempat itu bisa dinaikkan menjadi 40%. "Kami pihak Perumtel, memang sedang mengusahakan jumlah tersebut," tambah Cacuk. Tak lupa diungkapkannya bahwa target laba Perumtel sebesar Rp 111 milyar tahun ini, sudah tercapai. Ke dalam jumlah tersebut, porsi laba dari Indosat, semestinya sudah ikut dihitung. Ini berarti, kalau "imbauan" 40% itu dipenuhi, bukan tidak mungkin kelak, Perumtel akan mencatat laba yang lebih besar ketimbang Indosat. Suhardjo Hs., Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini