Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Utang saya dengan BPPN sudah selesai dengan meneken MSAA (master of settlement and acquisition agreement). Apa urusan saya dengan MRA?" ujar pemilik tambak udang terbesar di dunia (Dipasena Citra Darmaja) di Tulangbawang, Lampung itu.
Berdasarkan skema MRA itu, Sjamsul otomatis menjadi penjamin pribadi (personal guarantee) untuk menutup kekurangan seluruh utangnya yang telah dijamin oleh BPPN. Sjamsul mengaku telah menyetor tunai Rp 1 triliun, tapi di buku BPPN cuma tercatat Rp 366 miliar. Ada apa?
Ali Nur Yasin dari TEMPO Interaktif mewawancarai Sjamsul di lantai 16 Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat pekan lalu. Berikut petikannya.
Mengapa Anda tolak perubahan perjanjian MSAA ke MRA?
Perubahan tersebut malah mengulur-ulur waktu, sementara perusahaan harus tetap beroperasi untuk menutupi utang. Pembuatan perjanjian MSAA saja sudah memakan waktu lama, lalu sekarang ingin mengubahnya ke MRA. Berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan?
Mana yang lebih menguntungkan, MSAA atau MRA?
Bukan begitu menilainya. Tapi bagaimana menaati perjanjian yang sudah disepakati. Apalagi karena Indonesia adalah negara hukum.
Mengapa Anda tidak bersedia duduk bersama untuk membicarakan perubahan perjanjian ke MRA?
Jika ada perubahan, kami akan melihat dulu bagaimana pola penyelesaian utangnya. Bagaimanapun, kesepakatan harus dari kedua belah pihak. Dalam MSAA kami dengan BPPN sudah menyetujui pola penyelesaian utang dengan menjaminkan semua aset yang 80 persen berorientasi ekspor.
Benarkah demikian? Mengapa BPPN menilai aset Dipasena cuma Rp 2 triliun, bukan Rp 20 triliun?
Pada saat penandatanganan MSAA, kursnya Rp 11 ribu per dolar AS. Sekarang kursnya Rp 8.000 per satu dolar AS. Nanti kalau kurs turun lagi menjadi Rp 5.000, apakah perjanjiannya kembali akan diubah? Sebaliknya jika kurs mencapai Rp 30 ribu, apakah uang saya dikembalikan oleh BPPN?
Kok, kabarnya Anda juga cuma menyetor tunai ke BPPN Rp 366 miliar, bukan Rp 1 triliun .
Bagaimana mungkin kami bisa menandatangani MSAA kalau setoran tunai Rp 1 triliun belum diberikan? Saya harus menyetor dana sebanyak itu kalau ingin MSAA-nya diteken. (Menurut Direktur Keuangan Gadjah Tunggal, Mulyati Gozali, setoran Rp 1 triliun ini terdiri dari uang tunai Rp 320 miliar, Rp 117 miliar untuk pesangon karyawan BDNI, dan Rp 560 miliar lewat dana deposito yang dibekukan pemerintah di BDNI)
Di luar soal setoran itu, Anda juga melarikan modal untuk membangun pabrik di Cina?
Usaha atau pabrik di luar negeri itu kebanyakan milik keluarga, bukan saya. Bahkan ayah saya telah memiliki usaha di Singapura dan Malaysia sejak 1930-an dan tergabung dalam Grup Gadjah Tunggal. Repotnya, mereka yang berutang tapi kadang-kadang dianggap punya saya.
Apakah keluarga Anda juga menggunakan nama Gadjah Tunggal untuk perusahaannya?
Semua keluarga saya ingin menggunakan nama Gadjah Tunggal karena usaha saya yang paling besar. Saya pikir itu wajar saja. Mereka (BPPN) yang harus membuktikan apakah benar saya membawa uang ke luar negeri.
Tapi bukankah pabrik pembalut wanita di Cina itu bernama GT Paper?
Kapan saya membangun pabrik di Cina? Kami memang punya pabrik Softex tapi di Indonesia, yang mesinnya hanya ratusan ribu dolar AS. Tuduhan itu tidak benar. Jika punya uang, saya selesaikan pembangunan perusahaan di dalam negeri. Saya sudah dua tahun tidak bisa bepergian ke luar negeri walaupun semua kewajiban kepada BPPN sudah saya lakukan.
Apakah Anda tidak terlibat penggunaan dana BLBI di BDNI?
Penggunaan dana BLBI sudah sesuai dengan aturan main. Saya tidak terlibat dalam pencairan tersebut. Semuanya ditangani oleh profesional BDNI dan BI. Nggak masalah kalau sekarang saya dipanggil kembali.
Benarkah dana BLBI digunakan untuk menalangi kewajiban grup kepada pihak luar?
Semua dana BLBI digunakan untuk menalangi deposito yang ditarik dari BDNI. Tidak ada yang digunakan untuk macam-macam. Kebanyakan deposito dan kredit yang diberikan adalah dalam bentuk mata uang asing. Ketika nasabah menaruh uangnya, kurs masih Rp 2.000 per dolar AS. Tapi, pada saat pencairan, kurs sudah Rp 10.000. Selain itu, dana BLBI juga digunakan untuk membayar kewajiban dengan pihak luar negeri berupa letter of credit (L/C). Dan yang melakukan pembayaran adalah pihak Bank Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo