Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perwakilan Hyundai Motor Company mengungkapkan kesepakatan dengan Adaro berlaku hingga akhir 2023. Namun, hingga mendekati tenggat, hubungan keduanya tak menunjukkan kemajuan.
Hyundai menegaskan perusahaan menyetujui nota kesepahaman dua tahun lalu karena tergiur tawaran pasokan.
Adaro tak khawatir setelah kehilangan calon pembeli aluminium besar, Hyundai. Direktur Adaro Minerals Indonesia Wito Krisnahadi menuturkan jumlah permintaan aluminium masih sangat besar.
HYUNDAI Motor Company membatalkan rencana pembelian aluminium dari smelter PT Adaro Minerals Indonesia Tbk. Nota kesepahaman yang diteken kedua perusahaan di sela pertemuan B20 di Bali, Indonesia, pada November 2022 berakhir tanpa pembahasan lanjutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adaro saat itu berusaha mencari pembeli untuk aluminium yang bakal mereka produksi. Lewat anak usahanya, PT Kalimantan Aluminium Industry, perusahaan mendirikan pabrik peleburan atau smelter aluminium di Kalimantan Utara dengan total kapasitas awal 500 ribu ton per tahun dan akan dikembangkan hingga 1,5 juta ton per tahun.
Hyundai, di sisi lain, berupaya mengamankan suplai aluminium untuk pabrik otomotif mereka. Di Indonesia saja, kapasitas produksi perusahaan asal Korea Selatan ini termasuk masif. PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia mampu memproduksi satu unit mobil setiap tiga menit sekali per Oktober 2023. Pabrik mereka yang berdiri di Cikarang, Jawa Barat, bisa memproduksi 60 unit mobil setiap hari.
Aktivitas perakitan mobil di PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia, Sukamukti, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, 11 Juli 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, di dunia, angka permintaan aluminium juga tinggi. World Economic Forum, misalnya, memproyeksi kenaikan permintaan komoditas tersebut sampai 40 persen pada 2040. Dari 86,2 juta ton pada 2020, konsumsi aluminium diperkirakan naik jadi 119,5 juta ton sepuluh tahun kemudian. Pemicunya adalah kenaikan angka penggunaan transportasi, kegiatan konstruksi, dan pertumbuhan industri elektronik.
Dari perjanjian dengan Adaro, Hyundai bisa mendapat prioritas pembelian aluminium. Kelebihan lainnya adalah perusahaan bisa mendapat aluminium rendah karbon. Adaro berencana memanfaatkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebagai sumber energi smelter mereka. Hyundai sendiri tengah mendorong bisnis yang berkelanjutan.
Namun, pada pertengahan 2023, Adaro mengumumkan pemanfaatan PLTA baru akan terlaksana pada 2030. Ketika smelter tahap pertama rampung pada 2025, energi pabrik sepenuhnya berasal dari pembangkit listrik tenaga uap batu bara sambil menunggu PLTA selesai dibangun.
Kepada Tempo, perwakilan Hyundai Motor Company mengungkapkan kesepakatan dengan Adaro berlaku hingga akhir 2023. Namun, hingga mendekati tenggat, hubungan keduanya tak menunjukkan kemajuan. "Kedua perusahaan kemudian memutuskan tidak memperbarui kesepakatan tersebut dan masing-masing mencari kesempatan lain," katanya.
Dia tak menjawab lugas saat dimintai konfirmasi mengenai alasan di balik keputusan tersebut. Namun Hyundai menegaskan perusahaan menyetujui nota kesepahaman dua tahun lalu karena tergiur tawaran pasokan "aluminium hijau". Saat ini pun Hyundai masih berkomitmen menggunakan bahan baku berkelanjutan. "Hyundai Motor akan terus mencari peluang untuk berkolaborasi dengan beragam mitra global dengan memprioritaskan nilai keberlanjutan."
Kantor PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia, Sukamukti, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, 11 Juli 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Adapun Adaro tak khawatir setelah kehilangan calon pembeli aluminium besar, Hyundai. Direktur Adaro Minerals Indonesia Wito Krisnahadi menuturkan angka permintaan aluminium masih sangat besar, didorong oleh tingginya kebutuhan di beragam industri, dari otomotif, baterai, kemasan, konstruksi, hingga alat pertahanan. Itu sebabnya, perusahaan juga sudah mengantongi nota kesepahaman dengan sejumlah pihak lain di pasar global. Namun dia tidak menyebutkan pihak lain yang dimaksudkan.
Menurut Wito, para mitra ini siap menyerap hingga 70 persen dari total kapasitas produksi smelter perusahaan. "Seraya kami terus berusaha mengoptimalkan penyerapan pasar dalam negeri," ujarnya. Kebutuhan domestik saat ini masih mengandalkan impor.
Adaro pun terus melanjutkan pembangunan smelter. Hingga akhir tahun lalu, perusahaan sudah selesai melakukan penyelidikan tanah, perataan tanah, dan pekerjaan penimbunan untuk fasilitas tanur pembakaran di area smelter aluminium. Pada awal tahun ini, perusahaan berfokus pada aktivitas penimbunan dan fondasi di area smelter tersebut. Harapannya, pada akhir 2025, pabrik bisa beroperasi perdana dengan kapasitas 500 ribu ton.
Kehadiran smelter Adaro akan menambah kapasitas peleburan aluminium domestik yang hanya 250 ribu ton per tahun saat ini. Fasilitas tersebut milik PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) di Kuala Tanjung, Sumatera Utara.
Keterbatasan kemampuan produksi ini membuat Indonesia harus mengimpor aluminium untuk memenuhi kebutuhan domestik. Badan Pusat Statistik mencatat rata-rata impor aluminium dalam lima tahun terakhir mencapai 700 ribu ton. Pengiriman ke Cina mendominasi dengan volume mencapai 271 ribu ton dari total impor 707 ribu ton pada 2023.
Kenaikan kapasitas peleburan aluminium berarti tambahan permintaan untuk alumina atau hasil pengolahan bijih bauksit. Pelaksana harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia Ronald Sulistyanto mengatakan kondisi ini bisa mendorong penambang bauksit membangun smelter alumina, meskipun dorongannya tak begitu signifikan. Mahalnya biaya konstruksi masih menjadi tantangan terbesar buat pengusaha mendirikan pabrik tersebut. Sejauh ini baru tiga perusahaan yang bisa mengolah bijih bauksit menjadi alumina dengan serapan sekitar 12 juta ton bijih bauksit per tahun.
Rendahnya kapasitas smelter alumunium menekan penambang bijih bauksit. Setelah larangan ekspor pada Juni 2023, Ronald mengatakan, kegiatan produksi terus menurun lantaran bijih bauksit tak banyak terserap. Sebagai perbandingan, angka produksi bisa mencapai 30 juta ton pada 2020. "Sekarang mungkin tinggal 10 juta karena daya beli di smelter cuma 12 juta ton," katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dicky Kurniawan berkontribusi pada penulisan artikel ini.