KONSUMSI solar dalam negeri ternyata jauh lebih besar dari pasok solar Pertamina. Kebutuhan solar tahun 1992-1992 diperkirakan 14,4 juta liter, padahal produksi Pertamina hanya 13 juta liter. Berarti, ada kekurangan 1,4 juta liter yang harus diimpor. Untuk tahun anggaran 1992-1993, kebutuhan solar melonjak lagi 10% hingga mencapai 15,9 juta liter. Lagilagi Pertamina harus mengimpor solar sekitar 3,2 juta liter. Menurut Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita, impor solar ini akan memakan devisa sedikitnya US$ 640 juta (Rp 1,28 trilyun). Selain itu, Pemerintah harus menanggung subsidi Rp 320 milyar, sebab harga solar luar negeri lebih mahal Rp 100 per liter dibanding harga dalam negeri. Jika keadaan itu berlanjut, anggaran Pemerintah tentu akan terus digerogoti karena kebutuhan BBM memang kian menanjak. Untuk tahun 1993-1994, malah solar perlu diimpor sampai 4,2 juta liter. Dan itu belum diperhitungkan kebutuhan pembangkit listrik milik swasta. Berdasarkan perhitungan Direktur Pembekalan dan Pemasaran Dalam Negeri Pertamina, R.I.J. Sutopo, kebutuhan listrik swasta diperkirakan 2,3 juta liter, sehingga impor solar seluruhnya kirakira 6,5 juta liter. Kekurangan suplai itu, seperti kata Ginandjar, bisa diatasi dengan menekan konsumsi (bagaimana pelaksanaannya belum diberi tahu) dan pembangunan kilang baru (proyek kilang di Balongan, Jawa Barat). Sedangkan untuk mengurangi subsidi, Pemerintah akan mewajibkan swasta agar mengimpor sendiri solarnya. "Pertamina tidak akan mengutip fee," kata Sutopo. Namun, perusahaan listrik swasta harus siap-siap membeli solar yang lebih mahal dari harga resmi Pemerintah di pompa-pompa bensin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini