Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Proyek tambang andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, sonder izin usaha pertambangan (IUP). Berdalih bagian dari proyek strategis nasional (PSN), pemerintah hanya mengantongi izin penetapan lokasi (IPL) Bendungan Bener sebagai bekal mengeruk batuan hitam di perut Wadas di lahan seluas 114 hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sengkarut perizinan ini menjadi salah satu dasar warga Wadas menolak proyek pertambangan di desanya—selain adanya berbagai potensi ancaman bencana. Penolakan dihimpun sejak akhir 2017 melalui berbagai gerakan, seperti protes langsung ke kantor-kantor pemerintah serta pemasangan simbol-simbol perlawanan di sejumlah titik di desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Hentikan rencana pertambangan kuari di Wadas,” kata Koordinator Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas Insin Sutrisno dalam keterangannya, Kamis malam, 10 Februari 2022.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah Sujarwanto Dwiatmoko bercerita pekerjaan menggali batuan di Wadas tidak tergolong kriteria usaha pertambangan. Dalam wawancara dengan Tempo pada akhir November 2021 lalu, Sujarwanto menyatakan proyek penggalian mineral andesit di Wadas sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak.
Adapun BBWS Serayu Opak adalah pelaksana proyek yang memimpin pengerjaan tanggul senilai Rp 2,06 triliun itu secara teknis. “Di Wadas hanya diambil batuannya, jadi bukan usaha pertambangan. Wadas itu bagian dari pembangunan PSN Bendungan Bener,” kata Sujarwanto.
Pemerintah berencana mengeruk batuan andesit sebanyak 16,9 juta kubik di Wadas sebagai material utama untuk pembangunan dinding tanggul Bendungan Bener. Jumlah itu dua kali lipat dari angka riil kebutuhannya sebanyak 8,47 juta kubik. Mundur dua tahun dari target pengoperasian yang semula ditetapkan pada 2023, waduk ini diklaim akan menjadi yang paling besar di Asia Tenggara.
Meski menyebut proyek Wadas bukan merupakan bagian dari usaha pertambangan, Sujarwanto mengakui Dinas ESDM Jawa Tengah pernah dilibatkan dalam urusan rencana penggalian andesit. Dinas Energi, kata dia, turut mengkaji kualitas kelayakan batuan hitam.
“ESDM mengkaji laporan-laporan penelitian dari tim di lapangan untuk di-review. Namun kami tidak pegang laporan (penelitiannya),” kata dia.
Persoalan perizinan pembukaan pertambangan di Wadas pernah mendorong masyarakat maju ke langkah hukum. Pada Juli 2021, warga mengajukan gugatan terhadap Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ke Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang—walau gugatan itu ditolak oleh pengadilan sebulan setelahnya.
Warga mendesak Ganjar membatalkan IPL yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41 Tahun 2018 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Bener. Di dalam SK itu termaktub Desa Wadas akan menjadi lokasi terdampak proyek bendungan. Masa berlaku IPL kedaluwarsa dalam dua tahun dan diperpanjang pada 5 Juli 2020 melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 539/29 Tahun 2020.
“Perpanjangan IPL tanpa proses pembahasan ulang ini melanggar Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012,” kata kuasa hukum warga dari LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetyo.
Kepala Satuan Kerja Non-Vertikal Tertentu Pelaksanaan Jaringan Pemanfaatan Air (PJPA) BBWS Serayu Opak Andi Arwik mengatakan rencana penggalian lavastone di Wadas telah melalui proses yang panjang. Rencana ini melibatkan lintas-sektor dan terus dikejar targetnya.
“Pembebasan tanah di Desa Wadas dilaksanakan sesuai Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Target pelaksanaan pengadaan tanah di Desa Wadas dalam waktu dekat berupa kegiatan identifikasi dan inventarisasi bidang tanah,” katanya.
Ahli Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada Jakarta, I Gusti Agung Made Wardhana, menilai proyek pertambangan batuan andesit di Wadas bertabur masalah. Secara hukum, dia memandang prosesnya ilegal lantaran tak memiliki IUP.
Padahal dilihat dari luas lahan pembukaan lahannya yang mencapai 114 hektare, proyek di Wadas ini sudah termasuk kategori usaha pertambangan. “Sedangkan dalam Undang-undang Minerba, negara tidak boleh menambang. Kewenangan negara hanya mengatur, membuat perencanaan pertambangan, memberi izin, pengawasan, tidak ada negara diberi kewenangan sebagai operator tambang,” katanya kala dihubungi Tempo pada akhir November lalu.
Made Wardhana—atau yang karib disapa Igam--pernah menjadi saksi dalam persidangan di PTUN Semarang terkait kasus Wadas. Igam menjadi saksi ahli dari pihak penggugat.