Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sos buat bank bukopin

Bank bukopin mengalami krisis pemodalan, karena kredit yang disalurkannya macet sekitar rp 185 milyar.bustanil arifin diminta turun tangan. manajemen bank bukopin akan melakukan penambahan modal

20 April 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bank yang tadinya masuk 10 besar ini sempoyongan tersandung kredit macet Rp 185 milyar. Bustanil Arifin diminta turun tangan. MENTERI Koperasi Bustanil Arifin adalah Ketua Dewan Penasihat Bank Bukopin. Dua pekan lalu ia berkirim surat ke Gubernur BI Adrianus Mooy yang bagaikan sinyal SOS dari Bank Bukopin. Awal pekan silam koran-koran memberitakan krisis permodalan yang dialami Bank Bukopin, terutama setelah tersiar keluar bahwa kredit yang disalurkannya sebagian besar macet, yakni Rp 185 milyar. Pihak BI menilai, seperti dituturkan salah seorang direksinya, surat permintaan bantuan dana sub-ordinary loan (SOL) yang diserahkan melalui Bustanil Arifin tersebut lazim saja. SOL yang diminta oleh Bank Bukopin sangat ringan, berbunga rendah (6% per tahun), berjangka waktu lima tahun. Kepada TEMPO, Direktur Utama Bank Bukopin Muchtar Mandala mengatakan, "Bukopin tidak mengalami krisis likuditas. Bukopin hanya kekurangan modal." Penyebab utamanya adalah kredit macet. Menurut Muchtar, kredit mampet itu adalah warisan manajemen lama. Ketika direktur utama masih dijabat Mohammad Nazif dan direktur kredit dipegang Ismet Abdullah sebelum mereka diberhentikan oleh Dewan Pengurus Bukopin pada Juli 1989. Kemacetan kredit bermula di tangan Haji Kumbo alias Mochtar Widjojo alias Fadli bin Mochtar, yang dulu bernama Ong Tiong Ming, sebesar Rp 37 milyar (lihat Bukan Mau Cuci Tangan). Sumber TEMPO di lingkungan Bank Bukopin menyebutkan, direksi lama tidak bisa sepenuhnya disalahkan, mengingat wewenangnya hanya boleh memberikan kredit maksimal Rp 350 juta. Di atas jumlah itu harus ada persetujuan dari pengurus. "Kemacetan di Kumbo memang disengaja oleh mereka. Ibarat ngudek dodol, kalau dihentikan, dodolnya jadi bantat," kata sumber itu. Kabarnya, kalau pinjaman buat Grup Kumbo tidak dihentikan, setorannya bisa membantu cash flow Bank Bukopin, mengingat omsetnya per hari bisa sekitar Rp 200 juta. Kredit macet alias piutang ragu-ragu sejumlah Rp 185 milyar yang dialami Bank Bukopin tak bisa dianggap enteng. Jika dihitung berdasarkan aktiva akhir tahun silam, Rp 997,9 milyar, besar kredit macet tersebut adalah 24%-nya. Kalaupun sebagiannya masih mungkin diselamatkan, jumlahnya tetap besar. Ini yang tidak lazim. Layaknya, kredit macet yang masih tertanggungkan oleh sebuah bank besarnya tak lebih dari 3% dari total kredit yang diberikan. Maka, jika Bank Bukopin mau disejajarkan sebagai bank yang sanggup memenuhi ketentuan BI -- - dalam rangka mengantisipasi Bank for International Settlement bahwa capital adequacy ratio (CAR) atau kecukupan modal untuk mendukung aktiva (berisiko) mesti minimal 8% -- maka kucuran dana segar sangat diperlukan segera. Tentu saja musibah Bank Bukopin ini bagaikan riwayat sumbang tentang anak manja yang pola makannya tidak berketentuan. Tahun 1986 sempat kekenyangan dana, setelah melakukan penggabungan pelbagai koperasi di daerah. Sehingga, kekayaannya bertambah terus, dari Rp 25 milyar per Desember 1984 menjadi Rp 60 milyar setahun sesudahnya, dan pada akhir kuartal pertama 1986 meningkat jadi Rp 78 milyar. Tapi penyaluran dananya tak lancar, cuma 40% dari kekayaan yang terjual. Untung, pada 1987 keadaan membaik. Dari kekayaan yang sudah sekitar Rp 220 milyar, hampir 70% tersalur lewat pinjaman. Di antara bank-bank swasta nasional, kedudukannya naik ke peringkat 10 dari tahun sebelumnya, pada urutan ke-21. Hingga pada April 1989 bank tersebut berhasil menjual obligasi senilai Rp 30 milyar, berbunga 19,5% per tahun, berjangka 5 tahun. Tapi ternyata penyaluran kreditnya tak banyak yang ke koperasi. Dari total kredit Rp 526 milyar per akhir 1988, yang ke koperasi hanya 38,8%. Ke pengusaha kecil 4%. Selebihnya bagi perusahaan umum. Ketika peringkat Bank Bukopin naik, banyak yang mengatakan kejadiannya tidak secara alamiah. Tapi, konon, berdasarkan kemauan Bustanil Arifin, yang minta agar duit koperasi dimasukkan ke Bank Bukopin. Kali ini, ketika bank tersebut limbung tersandung kredit macet, Bustanil pula yang diminta turun. Maka, ada yang mengatakan, Bank Bukopin bagai anak manja yang sering dipangku, alias manajemennya tidak bebas. Kini Muchtar Mandala sedang pusing kepala. Ia sudah berhasil meningkatkan jumlah anggota dari 70 koperasi sekunder, pada awal jabatannya sebagai direktur utama, menjadi 217 koperasi. Ini sesuai dengan keputusan Rapat Umum Anggota (RAT) Koperasi. Sejak 1989 setiap koperasi primer boleh menjadi pemilik Bank Bukopin dengan menyetor simpanan pokok Rp 10 juta, dan simpanan wajib khusus Rp 15 juta. Tapi tak dijamin pengumpulan dana para anggota akan cepat menolong keadaan. Kalaupun akhir tahun ini jumlah anggota jadi 1.400, seperti direncanakannya, peningkatan modal yang diperoleh Bank Bukopin baru sekitar Rp 29,575 milyar. Untuk menutup risiko kemungkinan kerugian Rp 185 milyar, cadangan yang diperlukan Rp 90 sampai Rp 100 milyar. Sedangkan yang sekarang masih tersimpan di kas cuma Rp 3 milyar. RAT pada 14 Maret lalu menyetujui terbentuknya Tim Permodalan Bank Bukopin. Manajemen kemudian melangkah lebih jauh, yakni hendak melakukan penambahan modal, antara lain melalui penambahan komponen harga pada penyaluran dan pengadaan komoditi Bulog. Bukankah Ketua Dewan Pengurus Bukopin juga Kepala Bulog? Saat ini, dari gabah ditarik Rp 1/kg dan tampaknya akan dinaikkan. Belum lagi nanti dari gandum dan gula. Harapan penambahan modal selanjutnya dari penjualan sebuah kompleks pertokoan milik PT KIM (Krekot Inti Mandiri), yang memiliki utang ke Bank Bukopin sebanyak Rp 31 milyar lebih. Sebagian besar saham PT KIM adalah milik Mochtar Widjojo. Nilai proyeknya ditaksir sekitar Rp 125 milyar. Kalau benar terjual, diharapkan akan bisa menolong krisis. Proses penjualannya sudah dimulai berdasarkan surat perjanjian 22 Maret 1991, ditandatangani oleh Ficorinvest sebagai agen sindikasi, Muchtar Mandala, dan Mochtar Widjojo. Siapa mau beli? Mohamad Cholid, Moebanoe Moera, Bambang Aji dan Didi Prambadi (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus