Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Spekulasi yang tanpa kendali

Tiga yayasan, pemegang saham terbesar bank duta, memasok dana besar-besaran untuk bank duta. seluruh pimpinan atas diganti. terlalu berspekulasi dalam perda gangan valas. dicky diberi wewenang tanpa batas.

22 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH dana raksasa diam-diam sedang berpindah dari pelbagai sumber, Senin pekan ini. Tujuan: Bank Duta, tentu saja. Pada hari itu, sejumlah bank pemerintah dan swasta secara serempak mengirim dana Rp 500 milyar lebih ke bank yang ibarat sedang kena malapetaka tanah longsor itu. Transfer itu dilakukan atas permintaan tiga yayasan -- Supersemar, Dharmais, dan Dakab -- yang memegang 72,3% saham Bank Duta. Tak berarti dunia perbankan akan guncang. Pemindahan dana itu akan ditarik oleh Bank Duta secara bertahap. Sebuah sumber yang mengikuti dari dekat mengatakan bahwa dana raksasa yang bergerak itu bukan merupakan pinjaman. "Itu merupakan uang tunai yang tadinya memang didepositokan oleh Yayasan Supersemar, Dharmais, dan Dakab di berbagai bank," kata sumber TEMPO itu. Tiga yayasan itu -- semuanya diketuai oleh Pak Harto, presiden Republik Indonesia -- ternyata mempunyai dana yang cukup besar, diperkirakan mempunyai uang tunai Rp 800 milyar di sejumlah bank. Dari bunganya itulah biasanya ketiga yayasan tersebut melakukan kegiatan sosialnya, antara lain memberikan beasiswa. Kini mungkin saja kegiatan sosial yayasan itu terganggu sebentar. Keterangan ini nampaknya dikemukakan untuk membantah dugaan yang terdengar setelah krisis Bank Duta. Misalnya bahwa pemerintah, khususnya Bank Indonesia, harus turun tangan untuk menyelamatkan bank swasta itu dari keruntuhan. Pemerintah nampaknya mau konsisten: sejak paket ketentuan deregulasi Oktober 1988, disepakati jika ada bank yang ambrol, pemilik bank itu sendiri yang harus menyelesaikan masalah. Bank Duta, yang sejak beberapa hari ini juga terancam ambrol, menyelesaikan masalahnya dengan drastis: seluruh pimpinan, termasuk komisaris utama -- jabatan yang dipegang Bustanil Arifin -- secara serempak pekan lalu diganti. Kini suatu tim manajemen baru dipimpin Winarto Soeratno, masih melacak apa sebenarnya penyebab kerugian itu. Mereka tampaknya dibantu oleh dua bekas menteri perekonomian yang penting, Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana. Sementara itu, Kejaksaan Agung tengah mengusut Dicky Iskandar Di Nata, bekas wakil direktur utama, yang diduga pembuat kesalahan besar itu. Tapi tak mudah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan angka kerugian yang pasti belum juga dapat diukur. Dugaan kuat: jumlahnya minimal US$ 310 juta atau sekitar Rp 575 milyar. Tapi pekan ini telah muncul dugaan baru: mungkin US$ 417 juta atau sekitar Rp 770 milyar. Bagaimana itu bisa terjadi, jawabnya terpulang kepada soal manajemen. Manajemen Bank Duta, di bawah Abdul Gani dan Dicky Iskandar Di Nata, telah tak bisa mengontrol tindakan yang kelewat berani bermain dalam spekulasi perdagangan spekulasi valas. Permainan ini, secara teknis disebut forward foreign exchange margin trading, punya beberapa pusat, antara lain di London, New York, Zurich, Frankfurt, Bahrain, Tokyo, dan Singapura. Dalam permainan ini, sang pemain -- bank, perusahaan atau perorangan -- membeli valuta asing untuk dijual kembali lebih mahal, atau menjual valas yang kursnya dinilai sudah kelewat tinggi untuk dibeli lagi jika kursnya sudah lebih rendah. Selisih kenaikan atau penurunan kurs akan menjadi keuntungan atau kerugian. Sederhana kedengarannya, tapi tak mudah untuk terjun di dalamnya. Dibutuhkan ketangkasan yang luar biasa untuk menganalisa perkembangan ekonomi, sosial, dan politik dari negara-negara yang mata uangnya dispekulasikan. Mengambil keputusan jual atau beli juga harus cepat, karena kurs bisa berubah dalam setiap detik. Soalnya, bila kurs bergoyang sedikit saja -- misalnya kurs yen terhadap dolar berubah dari 149,10 menjadi 149,15 -- akibatnya bisa besar, baik rugi maupun untung. Sebab, untuk membuat transaksi di bursa IMM (International Money Market), kata seorang pakar yang pernah ditemui TEMPO di Union Bank of Switzerland cabang Singapura, standar transaksi (satu lot) untuk sebuah bank adalah US$ 5 milyar. Pemain memang tak perlu menyetor uang sebanyak itu. Umumnya cukup 5% atau sekitar US$ 250 juta. Ini yang disebut margin deposit. Bagaimana kalau cuma mampu di bawah US$ 5 milyar? Anda tak bisa bermain secara aktif. Anda hanya bisa nebeng seorang pialang, tak ubahnya dengan perdagangan odd lot di pasar modal Jakarta untuk transaksi di bawah 500 lembar saham. Dengan demikian, jika kurs yen tadi bergoyang 0,05 sen dolar saja, berarti untuk permainan satu lot orang bisa untung atau rugi 250.000.000 yen atau sekitar US$ 1,6 juta. Jika mujur, keuntungan yang US$ 1,6 juta itu bisa langsung ditarik. Tapi jika rugi, maka marjin tadi yang berjumlah US$ 250 juta telah berkurang 1,6 juta dan si marjin harus segera diisi kembali. Tak mengherankan jika para pemain di sini adalah mereka yang benar-benar gede dana. Biasanya, yang main adalah para eksekutif muda superkaya. "Dicky Iskandar Di Nata rupanya tak mau kalah dengan the big boys sehingga ikut-ikutan membawa Bank Duta dalam permainan ini," kata seorang pengamat. Ada yang mengatakan bahwa Dicky hanyalah satu gejala kalangan atas Jakarta: orang-orang yang dimanja uang mudah dalam jumlah besar, yang bersaing untuk menunjukkan kelebihan diri. Juga: gejala kurangnya kontrol. Pimpinan Bank Duta, baik Bustanil Arifin ataupun Abdul Gani, seharusnya awas dengan gejala itu -- apalagi tak terlalu sukar untuk mengetahui bahwa Dicky suka berjudi. Ada yang mengatakan, bahkan sejak sebelum Dicky menjadi direktur eksekutif, Abdulgani tak benar-benar menguasai medan manajemen di bawahnya. Ia, yang di luar dinilai sebagai bankir yang bagus, kata sebuah sumber, sebenarnya hanya seorang public relation man yang bernasib baik. Memang kuat kesan bahwa Dicky diberi wewenang tanpa batas dalam permainan valas. Padahal di almamaternya, Citibank, mulai dari seorang dealer sampai pimpinan ada plafon sampai berapa besar ia boleh mengambil risiko. Tapi ada cerita bahwa Dicky atau Bank Duta tak bermain sendiri. Diduga bahwa ada juga nasabah Bank Duta yang telah ikut bermain. Kasus keluarga Hedy Sinuraya, misalnya, yang kini sedang diperkarakan pihak Bank Duta, adalah contohnya. Ketika kalah, mereka tak menyetor modal untuk menutup margin deposit yang akhirnya harus ditombok oleh pihak Bank Duta (TEMPO, 27 Januari 1990). Jika satu nasabah saja, seperti keluarga Sinuraya itu, yang kehilangan Rp 1,4 milyar menolak membayar kerugian Rp 1,3 milyar, bisa dibayangkan jika ada sederet nasabah lain yang begitu. Namun, seorang bankir menduga bahwa pihak Bank Duta curang. "Bisa saja, misalnya, ada nasabah yang sudah mengundurkan diri dari margin trading, tapi nomor rekeningnya di Singapura masih terbuka. Nah, rekening ini kemudian dimainkan oleh Bank Duta. Jika kalah, klaim dibebankan atas rekening nasabah dan dalam pembukuan BD disebutkan sebagai kredit," kata bankir yang mengenal keadaan Bank Duta ini. Cuma yang menjadi pertanyaan: bagaimana mungkin dana begitu besar (minimal US$ 250 juta) ditransfer ke Singapura tanpa bisa dirasakan atau dicurigai BI. Seorang pejabat tinggi BI mengakui, selama ini BI kurang memperhatikan bank-bank yang dianggap sudah sehat. Tapi pejabat BI itu menambahkan bahwa masalah utama sebenarnya karena di Bank Duta ada transaksi yang tak dibukukan. "Setiap bank boleh saja membuat off balance sheet, tapi tak berarti tidak dibukukan," kata seorang direktur BI. Off balance sheet adalah laporan keuangan yang tak dimasukkan ke dalam neraca. Praktek ini memang dimungkinkan, karena ada jasa perbankan yang belum bisa dibukukan dalam neraca jika belum terealisir. Misalnya bank garansi atau LC yang belum jatuh tempo. Mungkin sekali dana LC dari luar negeri ini juga dimainkan Bank Duta dalam spekulasi valas. Tapi itu tentu saja masih diselidiki. Hasilnya akan ada gunanya. Setidaknya, kini bank yang selama ini biasa membuat off balance sheet, kabarnya, mulai membuat laporan yang lebih "transparan". Juga diduga, dalam waktu dekat, pemerintah akan mengeluarkan kebijaksanaan baru mengenai permainan valuta asing. Dan mungkin juga BI tiba-tiba muncul membawa pisau bedah untuk memeriksa pembukuan bank besar yang selama ini dinilai sehat. Telat sedikit, tapi belum celaka. Max Wangkar, Bambang Aji, dan Moebanoe Moera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus