Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan perbedaan perekonomian Indonesia dengan Turki. Menurut Sri Mulyani secara keseluruhan ekonomi Indonesia tetap terjaga.
BACA: Kunjungi MPC Asian Games 2018, Sri Mulyani Cicipi Croissant
Sri Mulyani mengatakan sekarang semua analis melihat sisi apa yang menjadi pemicu terhadap kekhawatiran dihubungkan dengan situasi yang ada di Turki. Hal yang selalu yang muncul, kata Sri Mulyani adalah dari sisi current account defisit atau CAD Indonesia.
"Walaupun 3 persen itu tidak setinggi waktu taper tantrum, tapi kami akan tetap hati-hati dan menjaga supaya dia tidak menjadi sumber kerawanan yang kemudian dijadikan alasan," kata Sri Mulyani saat ditemui di gedung Dhanapala, Kemenkeu, Selasa, 14 Agustus 2018.
Menurut Sri Mulyani perbedaan yang sangat nyata antara Indonesia dengan Turki, yaitu pada inflasi Indonesia 3,5 persen, sedangkan di Turki sudah di atas 15 persen. Lalu pada sisi pertumbuhan, kata Sri Mulyani, Indonesia sekitar 5 persen, tapi itu tidak berhubungan dengan CAD yang tinggi seperti di Turki.
"Dan utang-utang dari sisi forex yang dilakukan swasta, maupun perbankan, maupun Indonesia secara keseluruhan termasuk public debt, itu relatif masih dalam posisi controlable," kata Sri Mulyani.
BACA: Sri Mulyani: Ada Risiko Tekan Defisit Neraca dengan Kurangi Impor
Jadi, kata Sri Mulyani Indonesia tidak dalam posisi perekonomian yang eksposur atau terdampak terhadap pertukaran asing yang sangat besar. Hal itu karena pemerintah sudah pernah melakukan langkah-langkah mengurangi eksposure sejak 2015 atau pada waktu terjadinya taper tantrum.
"Jadi sebetulnya dari sisi swasta mereka juga sangat aware terhadap kemungkinan terjadinya eksposur kalau meminjam dari sisi mata uang asing. Dari perbankan kita juga sudah lihat dari capital adiclose rationya atau rasio kecukupan modal, NPL, dan sumber pendanaan mereka sendiri, dan dari sisi Kemenkeu, pembiayaan kami dari luar negeri selalu kami hitung secara hati-hati," kata Sri Mulyani.
Kalau umpamanya perekonomian membutuhkan jumlah yang disebut mata uang asing, kata Sri Mulyani, pemerintah akan sesuaikan dengan bagaimana strategi pembiayaan, termasuk pendapatan penerimaan pemerintah yang berasal dari forex."Kan kita mendapatkan penerimaan dari sisi oil dan gas itu semua dalam bentuk mata uang asing. Itu semua yang akan kita seimbangkan," kata Sri Mulyani.
Sebelumnya, Tim Lee, ekonom dari sebuah lembaga analis ekonomi piEconomics, mengungkapkan penyebab awal mula terjadinya krisis ekonomi yang menerjang Turki saat ini. Menurut dia, krisis itu terjadi karena perekonomian yang memiliki ketergantungan tinggi pada investor asing.
Semua ini bermula pada 2011. Saat itu, kata Lee, bank-bank sentral di seluruh dunia ramai-ramai memulihkan negara-negara masing-masing dari krisis keuangan. Tiga tahun sebelumnya, pada 2008, krisis ekonomi memang mendera beberapa negara.
Di Turki, banyak bank yang kemudian meminjam uang dalam bentuk dolar dari luar negeri untuk dipinjamkan ke perusahaan lokal. Tujuannya membuat perusahaan-perusahaan itu bisa tumbuh cepat. "Jadi, ekonomi Turki makin bergantung pada pembiayaan dari luar," ujar Lee sebagaimana dikutip dari The New York Times, Minggu, 12 Agustus 2018.
Saat ini, nilai mata uang lira milik Turki terus mengalami pelemahan. Nilai mata uang lira bertengger di angka 6,42 lira per dolar Amerika Serikat atau turun 16 persen dari hari sebelumnya.
Nilai tukar mata uang Turki sudah anjlok 70 persen sejak awal tahun. Pada 1 Januari 2018, nilainya masih bertengger di angka 3,78 lira per dolar Amerika. Artinya, nilai mata uang sudah anjlok sekitar 69 persen atau mendekat 70 persen, lebih tinggi dari yang dikabarkan semula, yaitu 40 persen.
Baca berita tentang Sri Mulyani lainnya di Tempo.co.
FAJAR PEBRIANTO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini