SELAMA memimpin Republik ini, kalau tak salah baru dua kali Presiden Soeharto memberikan perhatian ekstra kepada bisnis perbankan. Pertama, tahun 1990, ketika Bank Duta tersandung di arena perdagangan valuta asing (valas). Kedua, krisis Bank Summa, yang kini sedang ramai diperbincangkan orang. Bahkan, terhadap bank yang satu ini, perhatian Pak Harto justru lebih besar. Mengapa? Dampak negatif yang ditimbulkan oleh bank milik Keluarga Soeryadjaya ini tampaknya sudah berubah menjadi "pusat kebakaran" yang siap merembet ke bank-bank tetangganya. Memang, Menteri Keuangan Sumarlin maupun Gubernur Bank Indonesia berulang-ulang menyatakan, kasus Bank Summa sudah dapat dilokalisir. Artinya, otoritas moneter menjamin bahwa kebakaran tak akan merembet ke mana-mana. Namun, pernyataan itu tetap saja tak mampu meredam kegelisahan yang meruyak di kalangan nasabah bank swasta. Hal ini bisa dilihat dari insiden yang dialami Bank Continental di Medan. Bank yang tak bersalah apa-apa ini dilanda penarikan dana oleh nasabahnya pada hari Bank Summa diskors di Jakarta. Lepas dua pekan, api krisis Summa menjalar ke Bank Subentra dan Bank Surya. Dua bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh raja bioskop Sudwikatmono ini, tanpa hujan tanpa angin, pekan lalu diserbu oleh para nasabah yang hendak menarik dana simpanan mereka. Rush mula-mula terjadi pada Bank Subentra cabang Landmark, yang kemudian disusul penarikan dana lumayan besar di Subentra cabang Gatot Subroto dan Glodok (ketiganya berada di Jakarta). Total, pada hari itu saja, penarikan yang kabarnya berlangsung hingga petang hari itu telah membobol kas Subentra Rp 1,3 milyar. Penyebabnya adalah isu yang sama sekali tidak layak dipercaya. Para nasabah yang panik itu termakan isu bahwa Subentra kalah kliring. Itu terjadi pada sekitar pukul 13.00. Padahal, kalah menangnya sebuah bank dalam kliring hanya bisa diketahui setelah pukul 16.00. Dan Subentra sebenarnya tak pernah keok. Justru sebaliknya, ketika isu jahat itu beredar, bank ini menang kliring sebesar Rp 1,7 milyar. Menteri Keuangan Sumarlin, dalam upaya meredam resah dan panik, segera mengeluarkan pernyataan yang dimuat di berbagai media. Intinya, Subentra adalah bank yang sehat, bugar, dan tanpa masalah. Ternyata, racun isu lebih kuat ketimbang penjelasan seorang pejabat tinggi. Selang dua hari kemudian, badai isu kalah kliring menerjang Bank Surya. Dua cabangnya di Jakarta dan Surabaya juga diserbu oleh para penarik simpanan. Tidak jelas, berapa jumlah dana yang mengalir dari bank ini. Yang pasti, menurut seorang bankir, jumlahnya jauh lebih besar dari yang ditarik di Subentra. Penarikan dana -- kendati tidak besar-besaran -- juga terjadi di beberapa bank swasta lainnya. Bank Harapan Sentosa (BHS) cabang Surabaya, misalnya. Sepanjang November lalu, di BHS Bank Surabaya terjadi penarikan dana nasabah sampai sekitar Rp 13 milyar. Ini diakui oleh Sjaiful Bachri, wakil pemimpin II bank tersebut. Memang, pada saat menjelang tutup tahun sudah biasa terjadi penarikan dana yang lumayan besar, karena menyongsong Natal dan Tahun Baru. Namun, kejadian November lalu sungguh di luar kebiasaan. Sebelumnya, di akhir tahun, penarikan yang terjadi tak pernah melebihi 5% dari total dana pihak ketiga, tapi kini angka itu meningkat dua kali lipat menjadi 10%. Menurut Sjaiful, perubahan drastis ini terjadi karena masyarakat tidak mengerti seluk-beluk operasional bank. Kalah kliring itu, bagi sebuah bank, bukan hal yang luar biasa, karena kebanyakan hanya disebabkan oleh salah perhitungan yang penanggulangannya bisa segera dilakukan dalam jangka pendek. "Yang penting debetnya tetap seimbang," katanya. Apa hendak dikata, gara-gara masyarakat tidak mengerti, para bankir pusing tujuh keliling. Di Surabaya saja, menurut Sjaiful, penarikan dana yang lain dari biasanya terjadi merata di semua bank swasta. Bahkan, ada dua bank yang selama sepekan mengalami rush hingga Rp 50 milyar. Kondisi semacam itulah yang membuat Presiden Soeharto prihatin. Selasa pekan lalu, ia segera memerintahkan agar Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Sudomo segera mengambil langkah-langkah pengamanan meredam isu, dan melacak sumber isu. Tapi, siapa kira-kira penyebar isu? Sudomo hanya menduga bahwa kabar angin itu ditiupkan oleh bank yang memanfaatkan situasi. Sudwikatmono menyebutkan, ia sudah mengetahui sumber malapetaka yang menimpa banknya. Tapi karena belum ada bukti yang kuat, si penyebar isu belum bisa diadukan ke pihak yang berwajib. Terlepas dari hirukpikuk yang terjadi, sebenarnya tak semua bank mengalami rush. Dengan demikian, tak semua nasabah ikut latah memindahkan dananya ke bawah bantal atau ke bank pemerintah -- yang belakangan banyak menerima luberan tabungan, deposito, ataupun giro. Bank Central Asia milik taipan Liem Sioe Liong, misalnya. Di kalangan pengusaha, bank ini juga dikabarkan sedang "bergoyang". Bahkan beberapa hari lalu ada isu bahwa di BCA terjadi rush. Untunglah, "iman" nasabah BCA cukup kuat, sehingga "rush yang sebenarnya" tak pernah terjadi. Bahkan, menurut Presiden Direktur BCA Abdullah Ali, dalam waktu sebulan terakhir ini, dana pihak ketiga di BCA bertambah Rp 20 milyar. Lantas apa sebenarnya yang kini tengah terjadi di dunia perbankan? Menurut seorang bankir senior, yang terjadi saat ini adalah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap bank. Tapi degradasi itu tidak terlalu mengkhawatirkan. Katanya, ini hal yang juga biasa terjadi di masa lalu. Dan gejala ini tidak akan berlangsung lama. "Dalam sebulan juga pasti aman kembali," kata Abdullah Ali. Sebaliknya seorang pengamat memperkirakan, gejala rush -- yang dilengkapi isu-isu menyesatkan -- akan terus berlangsung hingga kasus Summa terselesaikan. Alasannya? Sebagian besar nasabah kakap sudah siap melakukan penarikan dana, begitu kas Bank Summa kembali dibuka. Dan inilah yang diduga akan kembali menjadi pemicu terjadinya rush. Kenyataan itu dibenarkan oleh nasabah Summa yang dihubungi TEMPO. Beberapa nasabah sempat menyatakan bahwa mereka tak mau tawar-menawar seperti yang terjadi pada penyelesaian bank-bank kolaps sebelumnya. Bank Umum Majapahit, misalnya, menyelesaikan kewajibannya pada nasabah dengan sistem 88. Artinya, simpanan mereka akan dibayar secara bertahap selama delapan tahun dengan bunga delapan persen. "Saya tidak akan menerima cara itu," kata seorang deposan yang mempunyai simpanan Rp 200 juta di Bank Summa. Lantas apa kata Bank Indonesia selaku pengawas bankbank yang belakangan dituding lamban dalam menjatuhkan skorsing atas Bank Summa? BI tampaknya tak akan bergeser dari pendiriannya. Jadi, Bank Summa akan tetap dibiarkan hingga bisa berdiri kembali dengan kekuatannya sendiri, atau memilih merger, akuisisi, atau likuidasi. Direktur Muda BI Dahlan Sutalaksana menolak jika disebutkan bahwa Pemerintah bersifat pilih kasih dan tidak bertindak tegas kepada Bank Summa. Memang, Summa tidak langsung diskors dan beberapa kali Bank Indonesia memberikan bantuan langsung berupa pinjaman maupun SBPU. Namun, apalah artinya bantuan ini jika pemilik tak kunjung menyetorkan dana segar yang dibutuhkan. Dan skorsing yang dilakukan 12 November lalu merupakankan keputusan yang tepat. Sebab, selain akan menghentikan kerugian yang lebih besar pada nasabah, "Summa masih memiliki aset yang bisa dipakai membayar para deposan," kata Dahlan. Kapan deposan besar dengan simpanan Rp 10 juta ke atas akan dibayar? Kepastian inilah yang dinanti-nanti, tapi tak kunjung tiba. Seorang advokat menyarankan agar segera dibentuk creditor community. "Jangan tahu-tahu duitnya keburu habis, tapi pembagian di antara nasabah yang berhak atas kekayaan Summa menjadi tak adil," katanya. Lain pula usul Christianto Wibisono. Ketua Pusat Data Bisnis Indonesia ini, yang biasa "menguliti" kondisi keuangan bank-bank, menyarankan agar segera dibentuk perusahaan asuransi yang melindungi dana milik nasabah. Perusahaan ini bisa didirikan secara gotong-royong oleh 200an bank yang ada, dengan iuran wajib Rp 3 milyar sampai Rp 10 milyar. Memang, modal awal yang dibutuhkan mencapai Rp 2 trilyun. Adapun kekurangannya bisa diperoleh di pasar modal -- seperti yang diyakini oleh Chris. Yang penting, seperti halnya Federal Deposits Insurance Corp (FDIC) di AS, perusahaan ini harus diberi wewenang penuh dalam menyelesaikan masalah yang menimpa bank yang sedang kelimpungan: mulai dari wewenang penagihan untuk mengatasi kredit macet hingga mengeksekusi jaminan para debitur. Direktur Muda BI, Dahlan Sutalaksana, menilai usul Christianto Wibisono sulit diterapkan di Indonesia. Pertama, BI khawatir, jika ada perusahaan penjamin seperti ini sikap kehatihatian bankir menjadi kendor. Selain itu FDIC seperti yang di Amerika mempunyai hak untuk meneliti keadaan sebuah bank. Sedangkan berdasarkan UU Perbankan kita, "Yang boleh melakukan penelitian atas sebuah bank hanyalah BI," katanya. Dahlan akhirnya menegaskan, sesuai dengan fungsi BI yang digariskan oleh UU Perbankan, bank sentral akan tetap memakai jurus lamanya, yakni melakukan pengawasan lebih ketat melalui laporan tahunan, tengah tahunan, bulanan, bahkan laporan mingguan yang secara rutin dibuat oleh para bankir. Budi Kusumah, Sri Wahyuni, Dwi S. Irawanto, Nunik Iswardhani, Iwan Qodar, Wahyu Muryadi, Kelik M. Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini