Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berpaling Ke Bank Pemerintah

Dana pihak ketiga yang mengalir ke bank-bank pemerintah menunjukkan lonjakan besar. Apakah nasabah memang berubah sikap? yang pasti, bunga tinggi tidak menarik lagi.

12 Desember 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRISIS yang melanda Bank Summa, hingga pekan ini, belum juga menunjukkan tanda-tanda akan tuntas. Semuanya serba samar-samar. Lalu, semakin meluas gejala bahwa nasabah memindahkan tabungannya dari bank swasta ke bank pemerintah. Gejala tersebut mulai tampak sejak pertengahan tahun ini, dan semakin gencar setelah geger bank milik keluarga Om Williem itu meledak ke permukaan. Apakah gejala itu bisa ditafsirkan sebagai goyahnya kepercayaan masyarakat pada bank swasta? Tampaknya memang demikian. Apalagi dalam perimbangan kekuatan antara bank swasta dan bank pemerintah, telah terjadi pergeseran. Dalam perolehan dana pihak ketiga, misalnya, pada triwulan ketiga tahun ini, bank-bank pemerintah mengalami lonjakan yang cukup besar. Ini berdasarkan data yang dihimpun Bank Indonesia. Dari total Rp 106 trilyun dana pihak ketiga yang diperoleh selama periode itu, sebesar 45,5% diraih oleh tujuh bank milik negara. Kondisi serupa sebenarnya pernah dinikmati bank pemerintah sebelum Pakto 1988. Bahkan, bank-bank pemerintah menguasai lebih dari setengah (84%) dari total dana pihak ketiga pada masa itu. Kebangkitan kembali pamor bank pemerintah mulai terjadi sejak Panin mengambil alih manajemen Summa, Juni lalu. Direktur Muda BI, Dahlan Sutalaksana, membenarkan hal itu. "Kecenderungan melonjaknya penerimaan dana ketiga oleh bank-bank pemerintah memang terus berlangsung belakangan ini," ujarnya. Lonjakan terbesar terjadi pada jumlah tabungan dan deposito. Jadi, bank pemerintah yang tersohor dengan mitos "bank yang tidak akan pernah bangkrut" kembali merebut segmen pasarnya. Padahal, selama tahun 1991, di sektor tersebut bank-bank swasta nasional menduduki bagian terbesar, 45% lebih, dari total dana pihak ketiga yang Rp 77,5 trilyun. Berdasarkan pengamatan para bankir, kecenderungan tersebut sangat mungkin terjadi karena nasabah tidak lagi tergiur oleh iming-iming suku bunga yang tinggi -- kiat yang selama ini sangat diandalkan pihak bank swasta dalam memperluas segmen pasarnya. "Nasabah tidak lagi memperhitungkan suku bunga yang lebih rendah, tapi mereka lebih mengutamakan keamanan," ujar Sjahrizal, direktur utama Bappindo. Akankah bank-bank pemerintah kembali menjadi leader? Mungkin saja. Setelah melihat kasus-kasus kolaps Bank Umum Majapahit dan Bank Summa, misalnya, masyarakat setidaknya waswas. Mereka -- dengan pemahaman yang terbatas mengenai kesehatan bank-bank -- mulai menimbang-nimbang sendiri. Mana lebih penting, bunga tinggi tapi tabungan terancam karena banknya kolaps, atau bunga sedang-sedang tapi tabungan aman. Perkembangan terakhir menunjukkan, nasabah memilih faktor aman, tanpa begitu memperhitungkan persentase bunga. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa berubahnya pilihan tak lain karena faktor psikologis. Dalam sebuah seminar dua pekan lalu, Presiden Direktur Bank Umum Nasional Leonard Tanubrata mengatakan, karena kasus yang dialami beberapa bank, upaya menegakkan kepercayaan di mata masyarakat menjadi kian sulit. Sementara, "Bank-bank pemerintah tetap kukuh dengan mitosnya yang tidak akan bangkrut," ujarnya. Dengan kata lain, rasa waswas memang ada. Bahkan mungkin juga bercampur sikap curiga. Seperti dikatakan oleh Abdullah Ali, bos BCA, gejolak serupa juga terjadi dan dialami bank-bank swasta. Ia lalu menyebutkan bahwa sebelum Pakto hingga sekarang, lebih dari delapan bank swasta pernah terkena skorsing BI. Setiap kali skorsing, terjadi gejolak dan arus penarikan dana yang melanda bank-bank tertentu. Becermin pada rentetan peristiwa tak sedap itulah, Abdullah Ali merasa yakin, "Sindrom yang terjadi sekarang hanya sementara." Masalahnya sekarang, ketidakpastian nasib deposan besar Bank Summa akan berlangsung berapa lama. Bank Continental di Medan terkuras sampai mencapai Rp 30 milyar, hanya dalam waktu beberapa hari. Di Jakarta, beberapa bank yang menyandang nama besar juga hampir terkena getahnya. Paling tidak, mereka terkena isunya, seperti BCA. Tapi tentu saja BCA membantah. "Tidak benar BCA juga mengalami rush," ujar Abdullah Ali kepada Sri Wahyuni dari TEMPO. Dikatakannya, hanya dalam waktu sebulan terakhir, banknya memperoleh setoran (dalam bentuk tabungan, deposito, dan giro) sebesar Rp 20 milyar. Di pihak lain, ada juga bank yang berjagajaga menghadapi kemungkinan terjadinya rush. Subentra Bank, misalnya. Menurut bos bank tersebut, raja film Sudwikatmono, pihaknya sudah mempersiapkan anggaran Rp 10 milyar. Tapi dana yang ditarik nasabahnya tidak seberapa. "Cuma Rp 1,3 milyar, kok," tuturnya kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO. Terlepas dari adanya wabah penarikan dana, bank-bank swasta memang sedang pudar bintangnya. Di sektor perolehan bunga, bank swasta jelas mencatat kenaikan dalam volume, tapi merosot dalam persentase ketimbang bank pemerintah. Hal ini bisa disimak dari neraca keuangan 11 bank swasta per September 1992. Dari total Rp 31 trilyun dana yang disalurkan kepada debitur selama tahun ini, mereka hanya memperoleh pendapatan bunga ratarata 17,3% atau Rp 6 trilyun lebih. Pada periode yang sama tahun lalu, mereka berhasil meraup hampir 20% dari total yang dipinjamkan, Rp 25 trilyun lebih. Padahal, rata-rata suku bunga yang mereka jual cukup lumayan, 25%. Lihat saja penampilan Bank Niaga. Hingga September 1992, bank ini berhasil menyalurkan kredit sekitar Rp 2,6 trilyun, naik 6,4% dibandingkan tahun lalu. Tapi, dari kenaikan itu, Bank Niaga hanya berhasil memetik pendapatan bunga sekitar Rp 404 milyar. Berarti turun dibandingkan perolehan bunga tahun lalu yang mencapai lebih dari Rp 433 milyar. Hal serupa juga dialami oleh Bank Umum Nasional. Pinjaman yang disalurkan bank ini lebih dari Rp 2,1 trilyun, naik hampir 3% dibandingkan tahun lalu. Tapi laba yang diraih bank ini, dari dana kredit sebesar Rp 408 milyar lebih, ternyata turun dibandingkan perolehan tahun lalu (hampir mencapai Rp 476 milyar. Menurut pengamatan beberapa bankir, penurunan tersebut mungkin terjadi karena adanya beban kredit yang cukup besar yang tidak produktif, atau lazim disebut nonperforming credit. Tak pelak lagi, berkurangnya perolehan bunga langsung mengakibatkan berkurangnya keuntungan mereka. Kembali merujuk kasus Bank Summa dan berbagai dampaknya, adalah akan sangat tepat bila gejala waswas yang merasuk di masyarakat jangan dibiarkan menjalar ke mana-mana. "Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, bank-bank yang mengalami rush perlu segera konsolidasi," demikian usul Abdullah Ali. Di pihak lain, bank-bank swasta hendaknya mengutamakan kesehatannya. Jangan sampai terjadi mismatch, jangan membuat kesalahan yang akhirnya mengancam kelanjutan usaha bank itu sendiri. Menteri Keuangan Sumarlin sudah bicara tentang "kesulitan struktural", yakni kesulitan yang disebabkan oleh faktor-faktor dari dalam bank sendiri. Kesulitan itu akhirnya bisa menjerumuskan bank yang bersangkutan pada posisi yang parah sekali. Kalau menurut analisis Sumarlin, kejatuhan Bank Summa tak lain karena kesulitan struktural itulah. Lalu ia menguraikan beberapa faktor penyebabnya. "Struktural suatu bank yang lemah karena aparaturnya kurang qualified," katanya memberi contoh. Akibatnya, bank tidak berhati-hati dalam menilai permohonan kredit. Dari sini tinggal selangkah lagi menuju kredit macet. Mismanajemen adalah faktor penyebab yang lain. Ini bisa terlihat pada kasus bank dalam bank -- praktek yang sadar dilakukan oleh pemiliknya atau para pengurusnya. Mereka, selain berfungsi sebagai pemilik atau pengurus, juga menjadi nasabah bank yang bersangkutan, baik atas nama sendiri maupun nama orang lain. Akibatnya, "Banyak aset bank menjadi tidak produktif," kata Sumarlin lagi. Ketika krisis Bank Summa mulai mencuat ke permukaan sejak Juni silam, dari total kredit yang disalurkannya sebesar Rp 1,5 trilyun, kredit macetnya mencapai Rp 1 trilyun lebih. Sedangkan kewajiban Summa kepada pihak ketiga, seperti yang ditaksir Sumarlin, lebih dari Rp 800 milyar. Parahnya lagi, kredit-kredit tersebut kabarnya tidak disertai agunan. Selain itu, penyaluran kredit itu melanggar ketentuan legal lending limit yang ditetapkan BI. Adapun batas pinjaman untuk perusahaan dalam grup sendiri adalah maksimal 30% dari modal disetor. Dalam kasus Bank Summa, kredit kepada grup sendiri mencapai lebih dari 50%, dan inilah sumber utama kredit macet. Sebagai otoritas moneter, tak terlalu salah jika banyak orang berpaling kepada Bank Indonesia, merekareka mengapa misalnya kasus Bank Summa tidak bisa ditangkal lebih awal. Bahkan ada pengamat kondang yang mempersoalkan fungsi BI sebagai lender of last resort, yang telah tidak diterapkan saat krisis Summa merebak ke luar. Akibatnya tidak cuma Bank Summa kolaps, tapi beberapa bank terkena arus penarikan dana, sementara uang sejumlah deposan belum ketahuan nasibnya. Menghadapi berbagai dugaan itu, juru bicara BI Dahlan Sutalaksana mencoba mendudukkan masalahnya dengan penegasan bahwa krisis Summa terjadi karena kesulitan struktural. "Kesulitan ini disebabkan oleh kesalahan operasional yang berhubungan dengan strategi dan kebijaksanaan suatu bank dalam menjalankan usahanya," tuturnya. Dan bila hal ini terjadi, bukan saja bank yang bersangkutan tak bisa mengembalikan utang-utangnya, tapi juga lama-kelamaan bisa memakan modalnya." Mengapa BI tak mengulurkan bantuan sebagai lender of last resort? "Kalau BI memberikan bantuan, tindakan itu sifatnya hanya mengganjal." Padahal, dalam menghadapi kesalahan struktural, yang diperlukan adalah suntikan dana segar. "Jadi, kalau BI menyalurkan dana ke Summa, ya hanya menunda masalah, dan tidak menyelesaikan masalah," ujarnya menandaskan. Kasus Bank Summa telah mencipratkan berbagai dampak kepada industri perbankan di Indonesia. Kalau mau melihat sisi cerahnya saja, maka seperti yang dikatakan Abdullah Ali, kalah kliring sering terjadi, begitu pula skorsing dan rush. Jadi, wajar. Tapi jangan lupa, krisis Bank Summa melibatkan jumlah dana yang sangat besar, dan kepercayaan masyarakat pada institusi jasa keuangan kini menjadi taruhannya. Dan lebih dari siapa pun juga, pihak perbankan tentu tahu betul, merebut kembali kepercayaan masyarakat bukan saja tidak mudah, tapi juga tidak bisa dalam waktu singkat. Dan kalau ada setback sesudah Pakto, krisis Summalah sumbernya. Moebanoe Moera, Iwan Q.H., Dwi Setyo, dan Nunik Iswardhani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus