DALAM kurun waktu tiga bulan terakhir ini, telah terselenggara tiga seminar nasional memperbincangkan perkara menjamurnya superblok. Dua kali di Jakarta dan sekali di Yogyakarta. Suatu pertanda kepedulian sekaligus juga menyiratkan kerisauan, mengingat bahwa superblok berwajah ganda. Bisa sangat santun, dalam arti ikut memperbaiki mekanisme berfungsinya kota. Tetapi bisa juga berubah perilakunya menjadi teramat buas, merusak jaringan kota yang sensitif. Ibarat Dr. Jekyll dan Mr. Hyde, dua watak berlawanan yang berada pada satu wadak yang sama. Ditilik dari namanya saja, mudah ditebak bahwa superblok diimpor dari gagasan negara Barat. Kota besar seperti San Francisco, New York, atau Washington merupakan contoh kota yang dirancang dan dirajang secara formal, dengan bentuk grid atau papan catur yang sangat kentara. Memang sangat rasional, fungsional, dan pragmatis. Wayne Attoe dan Donn Logan dalam buku mutakhirnya, American Urban Architecture: Catalyst in the Design of Cities, (1989) dengan jernih memaparkan tendensi perancangan kota yang sarat dengan pragmatisme itu. "American towns and cities were mapped out strictly as money-making enterprises ... to achieve the greatest possible profit from real estate sales and investments". Nah, pola itulah yang tampaknya dewasa ini sedang populer dan mulai mewarnai wajah kota-kota besar kita. Pembangunan superblok mewah dengan skala gigantik yang dilakukan dengan terlebih dulu menggusur lingkungan yang lama (termasuk penduduk aslinya) memang meresahkan juga. Kita saksikan proses gentrifikasi sedang dan akan terjadi: kelompok elite dan kalangan menengah ke atas yang mapan masuk, sedangkan penduduk kampung yang papa dan rawan terperas ke luar dari kawasan kota yang strategis. Kisah sedih semacam ini sudah dialami dan diderita oleh kaum pekerja berkerah biru di lingkungan kumuh The Bronx di pusat kota New York, yang kemudian dilampiaskan dalam wujud grafiti: "Saya hidup di antara puing-puing. Saya adalah puing. Saya menambah puing-puing". Bob Dylan yang tanggap dan sensitif itu pun melantunkan bait-bait yang menyentuh, dalam lagu tenarnya Talking to New York: "People goin down to the ground, buildings goin up to the sky". Memang kita tak bisa mengingkari bahwa kehadiran superblok yang serba wah itu menampilkan pesona tersendiri. Anggun, indah, dan berwibawa. Namun yang perlu dicermati adalah nasib dari mayoritas penduduk kotanya itu sendiri. Jangan sampai terjadi dehumanisasi. Kota hanyalah akan bermakna bila terasa adanya irama dan denyut kehidupan dari segenap warganya. Warga kota yang tercampak pastilah akan menjadi beringas. Tak ada rasa memiliki, apalagi fanatisme kota. Jean Jacques Rousseau sudah sejak lebih dari dua abad yang silam memperingatkan dalam bukunya The Social Contract (1762): "Para pengelola kota jangan sekali-kali alpa bahwa penduduk itulah yang membuat kota, bukan bangunan". Seorang tokoh pelopor developer terkemuka mengemukakan bahwa superblok bermanfaat sebagai salah satu alternatif pembangunan di kota besar guna memanfaatkan lahan yang terbatas secara optimal. Dengan keberadaan superblok, harkat dan derajat daerah kumuh akan meningkat, menjadi daerah baru yang terpandang. Superblok dipandang sebagai suatu "tantangan baru" yang mengasyikkan dan "ladang baru" yang potensial bagi konsultan, developer, kontraktor, dan profesional dari berbagai disiplin ilmu. Secara ringkas disimpulkannya bahwa dalam jangka panjang prospek superblok cukup baik, terutama di kota-kota besar yang menyandang berbagai masalah perkotaan seperti kemacetan, kekumuhan, dan pencemaran. Saya tidak akan menyangkal pernyataan tersebut, tetapi perlu kita catat kalimat lanjutan penutupnya yang berbunyi: "... asalkan diikuti dengan menguatnya kemampuan daya beli masyarakat". Batasan pengertian tentang arti kata "masyarakat" itulah yang perlu disepakati sebagai seluruh lapisan masyarakat, jadi tidak secara sempit diartikan dengan "masyarakat bisnis". Menjamurnya superblok yang berawal dari penggusuran total seluruh kampung berikut manusianya memang mendatangkan keuntungan finansial dan menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih efisien, efektif, serasi, nyaman, serta menyenangkan. Akan tetapi, yang harus dicermati adalah siapa yang menikmati keuntungan dan kenyamanan itu. Lagipula, konon, kota yang baik adalah yang menunjukkan mosaik karya seni sosial serta kisah perjalanan yang urut dan runtut dari waktu ke waktu. Dikenal dengan konsep sedimentasi: kota yang terbentuk lapis demi lapis. Bila superblok yang hadir tidak merusak jaringan kota melainkan memperkaya khazanah dan memperkuat citra lokal yang sudah terbentuk, dalam wujud integrative urbanism, mari kita sambut dengan tangan terbuka dan dada yang lapang. Namun, manakala demam superblok menunjukkan tanda-tanda kekurangramahan, ada tendensi menghancurkan pernik-pernik warisan budaya kota, menciptakan wajah masa depan yang steril tunggal-rupa, dan terlebih-lebih menyengsarakan warga kotanya, mari kita tangkal bersama-sama. Jangan sampai metropolis kita berubah menjadi mineropolis (kota yang sengsara) apalagi nekropolis (kota tak berjiwa). * Dekan FT Undip dan Ketua Ikatan Ahli Perencana (IAP) cabang Ja-Teng
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini