DELEGASI Uni Soviet mendadak terperanjat. Secara terbuka
Akhtar Mohammad Paktiawal, Ketua delegasi Afghanistan, mengecam
kebebasan pers model Soviet di negerinya. Karena pemerintah
Kabul mengontrol arus inforrnasi, kata Paktiawal, rakyat tidak
memperoleh informasi yang benar dan akurat. "Jadi siapa yang
dapat menyampaikan suara kami kepada orang lain. Apakah UNESCO
bisa menjarnin kebebasan pers itu" lanjutnya.
Kecaman Paktiawal, tentu saja, mengejutkan peserta
Konperensi Umum ke-21 Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan
dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Sebab di Beograd, Yugoslavia, hari
itu (28 Oktober)--setelah bersidang sebulan lebih -- UNESCO baru
saja menerima secara bulat prinsip Orde Informasi dan Komunikasi
Dunia Baru. Adalah Uni Soviet dan sekutunya (termasuk
Afghanistan), yang dengan gencar sejak awal konperensi itu
berusaha menggolkan usul mengenai pembaruan arus informasi
dunia.
Kebebasan Wartawan
Hannsgerd Protsch, anggota delegasi Jerman Timur, misalnya,
dengan jelas nlengumandangkan dukungan terhadap usul Soviet. Ia
menyebut dominasi pers Barat telah menyebabkan ketidak
seimbangan dalam arus pemberitaan dunia. Kepentingan negara
Dunia Ketiga (dan blok komunis), katanya, karenanya banyak
dirugikan. Suatu inisiatif UNESCO di bidang pengaturan arus
informasi (pemberitaan) media massa, menumt Protsch, merupakan
bagian penting proses secara menyeluruh dekolonisasi media
massa.
Kritik terhadap cara kerja dan monopoli pers Barat selama
perdebatan itu memang banyak dilontarkan. Soviet dan sekutunya,
serta kelompok Dunia Ketiga - kedua kelompok yang merupakan
mayoritas dari 153 anggota UNESCO--paling keras memperdengarkan
suaranya. Sudah sejak dua tahun lalu Soviet dengan gigih
mendengungkan penataan kembali suatu Orde Informasi dan
Komunikasi Dunia Baru. Kini hampir sebagian usul yang
disponsorinya diterima sebagai resolusi UNESCO di bidang media
massa.
Orde Baru itu sebagian besar bertolak dari naskah
rekomendasi Komisi Sean MacBride. Bekas Menteri Luar Negeri
Irlandia tersebut mengepalai sebuah komisi yang terdiri dari
para ahli 16 negara anggota UNESCO. Selama dua tahun komisinya
meneliti tnasalah global yang dihadapi komunikasi massa.
Beberapa hasil penelitian Komisi MacBride, yang kellnudian
diajukan sebagai resolusi, ternyata menimbulkan kontroversi
hebat selama konperensi UNESCO itu. Di antaranya adalah suatu
usul membantu lembaga atau organisasi profesional merencanakan
perlindungan kerja bagi WartaWan. Tapi kubu Barat (Inggris,
Jerman Batat dan Amerika Serikat) mengecamnya. Dengan
mengharuskan setiap wartawan memiliki izin kerja (dari
pemerintah), mereka menganggap resolusi tersebut hanya akan
menghambat kebebasan wartawan untuk menulis. Mereka juga
mengecam upaya komisi itu untuk memberlakukan suatu kode etik
internasional bagi wartawan.
Semuanya itu, menurut koran International Herald Tribune,
jelas merupakan pelanggaran terhadap asas-asas kebebasan pers.
Elie Abel, pengajar di Columbia Journalism School, AS, yang juga
anggota Komisi MacBride misalnya, dengan jelas menentangnya.
Upaya UNESCO itu dianggapnya bermaksud menetapkan suatu standar
bagi organisasi pemberitaan. "Kebebasan memperoleh sumber berita
adalah juga suatu usaha yang diperlukan wartawan untuk
menyajikan pemberitaan akurat, benar dan berimbang," kata Abel.
UNESCO dan pers Barat dalam hal memandang konsep pers yang
bertanggung jawab, misalnya, juga berbeda pendapat. Bagi pers
AS, demikian International Herald Tribune, kebebasan pers
berarti suatu kebebasan yang jauh dari kontrol pemerintah
setempat. "Koran mempunyai tanggung jawab untuk terus harus
memproduksi berita. Itulah suatu bentuk tanggung jawab tepat
sebagaimana dibutuhkan masyarakat," ungkap John Hughes, Presiden
American Society of Newspaper Editors.
Komoditi Politik
Di suatu negara otoriter, kriteria berita tentu berbeda
dengan yang dianut negara liberal Di Uni Soviet, misalnya, tulis
koran South China Morning Post, llong Kong, informasi lebih
merupakan komoditi politik --yang berarti sistem pemberitaan
sudah diatur demikian ketat, selaras dengan kehendak penguasa.
Pers Barat jelas tidak menghendaki UNESCO menerima semacam
resolusi tentang pengembangan kehidupan pers model Soviet. Tapi
benarkah UNESCO akan mengembangkan pers model Soviet itu?
Amadou-Mahtar M'Bow, Direktur Jenderal UNESCO yang baru saja
dipilih kembali, menyangkal semua tuduhan dan kritik pers Barat
tadi. Pers Barat (terutama AS), katanya, telah salah mengartikan
tujuan negara Dunia Ketiga. "Sejauh menyangkutkebebasan pers,
pendirian UNESCO jelas: tetap mendukung kebebasan pers."
Herve Bourges, juru bicara UNESCO, juga menguatkan
pernyataan M'Bow. "Kami tidak berniat mencampuri urusan politik
komunikasi dan informasi dunia," katanya. Bourges, Profesor
Jurnalistik Prancis, adalah pengarang buku The Decolonization of
Information.
Pernyataan M'Bow memang benar. Buktinya UNESCO tidak
menerima resolusi yang akan mengatur perlindungan kerja bagi
wartawan. Tapi untuk pengembangan komunikasi dan inisiatif media
massa (1980-1983) telah mengesahkan anggaran US$ 625 juta (Rp
394 milyar) Dana itu antara lain juga akan digunakan membantu
badan informasi gerakan pembebasan (termasuk Front Pembebasan
Palestina).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini