SUDAH sejak lama Sungai Brantas di Ja-Tim mengganggu penduduk
di sekitar alirannya dengan mengirimkan banjir. Tahun lalu
misalnya di Lengkong, sebelah baratlaut Kertosono, tak kurang
dari 7.000 ha padi yang siap panen ludes dan sekitar 24.000
penduduk harus diungsikan.
Mengganasnya banjir itu terutama karena dasar sungai itu
semakin dangkal akibat endapan pasir kiriman dari Gunung Kelud.
Gunung ini memang punya "lumbung pasir" di puncaknya, akibat
letusan beberapa kali. Terakhir 1967, diperkirakan tak kurang
dari 15 juta meter kubik dimuntahkan ke lumbung tersebut.
Salah satu anak Sungai Brantas berhulu di Gunung Kelud.
Melalui sang anak ini pula pasir merayap ke dasar sungai itu.
"Rata-rata 1,5 juta meter kubik pasir yang larut setiap tahun,"
kata Asisten Rencana Pelaksanaan Proyek Kali Brantas Tengah,
Ariadi Amin Sudarmo. Kerugian yang ditimbulkan oleh banjir itu
meningkat pula setiap tahun.
"Kalau tidak dikeruk, kerugian 5 tahun mendatang bisa
mencapai Rp 26 milyar. Dan 5 tahun berikutnya bisa dua kali
lipat dari jumlah itu," tambah Ariadi. Angka-angka itu
didasarkannya pada kerugian karena sawah dan rumah penduduk
dilanda banjir pada tahun-tahun yang lewat. Sehingga menurut
Ariadi sekitar 15 juta meter kubik pasir harus dikeruk, agar
sungai itu bisa 2 meter lebih dalam dari sekarang.
Untuk mengendalikannya memang sudah dibuat dam-dam kontrol
di beberapa tempat di lereng Gunung Kelud. Tapi dam-dam itu
tidak mampu 100% menahan pasir. "Kalau dulu proses pendangkalan
itu mencapai 14 cm setiap tahun, sekarang, setelah ada dam-dam
kontrol, paling banter tinggal 4 cm setiap tahun," tambah-
Ariadi.
Akhirnya Sungai Brantas harus dikeruk juga. Jumat, 24
Oktober lalu, sebuah upacara berlangsung di sebuah tanggul
Sungai Brantas di Desa Minggiran, Kediri. Menteri PU Purnomosidi
menekan tombol--dan sebuah kapal keruk di tengah sungai
bergerak-gerak.
Disusul kemudian oleh Wakil Gubernur Ja-Tim, M. Soegiono,
yang menekan tombol lainnya. Terdengar sirene melengking dan
sebatang pipa besi menyemburkan lumpur pasir dari kapal ke arah
daratan. Proyek ini sendiri memanjang dari Tulungagung --di
sebuah "simpang tiga" Sungai Brantas dan salah satu anak
sungainya bertemu--sampai di sebuah dam di Lengkong Bam di
Mojokerto.
10 Tahun
Proyek ini juga disebut Proyek Brantas Tengah, sebab memang
merupakan bagian tengah dari sungai itu. (lihat peta).
Panjangnya 111 km, menelan biaya lebih dari Rp 106 milyar. Tujuh
kapal keruk masing-masing siap melempar pasir 120 meter kubik
setiap jam sampai kejauhan 1.500 meter dari sungai Tapi proyek
ini baru akan rampung 10 tahun mendatang.
Bila pengerukan kelak selesai, Ariadi Amin Sudarmo menjamin
sekitar 7.000 ha sawah yang selama ini langganan banjir bisa
diamankan, dan sekitar 20.000 petani bisa bercocok tanam.
Itu tak berarti proyek ini bebas hambatan. Karena kemudian
ternyata tidak gampang mendapat tanah sebagai penampung lumpur
pasir hasil kenukan dari Sungai Brantas. Di daerah Kediri
misalnya dari 70 ha yang diperlukan, baru 69 ha yang bisa
dibebaskan. Di Nganjuk malah baru 10 ha padahal yang dibutuh
kan 35 ha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini