Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Di Uang Itu Ada Sadjiroen

Sadjiroen alumni asri dikenal sebagai pendisain uang dan hanya melayani pemesan tunggal yaitu Bank Indonesia. sejak menjadi kepala biro pracetak peruri, ia tak mendisain lagi.

8 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUIT, duit . . . duit. Tapi berduit atau berkantung kempes, sedikit orang yang mengenal Sadjiroen. Ia adalah pendisain uang. "Saya ini adalah orang yang tidak percaya kepada diri sendiri," kata lelaki pendek yang berambut lurus dan mulai beruban itu. Suaranya kecil seperti tubuhnya. "Itulah sebabnya saya memilih jurusan guru gambar dan bukan seni lukis," tambah laki-laki lulusan B1 ASRI Yogyakarta (1955) itu. "Saya tidak punya keberanian untuk menjadi pelukis bebas--yang saya perlukan hanya selembar ijazah." Lahir di Kaliungu (Semarang) 4 Maret 1931, Sadjiroen bersama keluarganya tinggal di Kebayoran Baru, Jakarta, dekat tempatnya bekerja, yaitu Peruri (Percetakan Uang Republik Indonesia). Hidupnya agaknya memadai, ditambah fasilitas sebuah mobil dinas. Ia menanggung dua orang anak dan didampingi seorang wanita insinyur teknik kimia, sebagai istri. Sejarah yang ditempuhnya sebelum sampai di Peruri cukup panjang. Pada suatu hari, tatkala masih belajar di ASRI, seorang dosennya mendapat pesanan untuk mendisain prangko dari NV Perkeba (Percetakan Kebayoran Baru). Tugas untuk melaksanakan pesanan tersebut jatuh ke tangan Sadjiroen. "Tapi disain prangko saya waktu itu belum bisa diterima, sebab secara teknis percetakan kurang cocok," ujarnya. Tapi setelah itu ia mendapat tawaran bekerja di Perkeba, agar lebih mengetahui teknik mencetak. "Dan saya terima tawaran itu, sebab saya juga dijanjikan hendak disekolahkan ke luar negeri," tambahnya. Hanya dua tahun setelah bekerja di Perkeba pada 1957 tokoh kita ini dikirim ke Negeri Belanda, untuk belajar di Firma Johan Enshede & Zonen di Harlem "Tapi hanya setahun, sl bab hubungan Indonesia-Belanda tidak baik dengan adanya Trikora," katanya mengenangkan. Namun ia tidak perlu kembali ke tanah air karena belajarnya dialihkan ke Wina, Austria, sampai 1962. Menuntut ilmu di osterrci- chische National Bank yang memiliki percetakan untuk membuat kertas-kertas berharga-misalnya uang, surat saham dan lain-lain. Sejak itu Sadjiroen memastikan diri untuk menjadi pendisain uang kertas. Menurut Sadjiroen, untuk itu tidak cukup hanya memiliki ketrampilan menciptakan disain yang bagus--harus pula dilengkapi dengan pengetahuan teknik cetak dan mengerti problem produksi cetakan, termasuk segi keamanannya. Seri Sudirman Dari ilmu yang dilalapnya di mancanegara, alumni ASRI ini mula-mula menggarap disain uang seri Pekerjaan Tangan, bersama rekannya Almarhum Junalies. Seri itu dicetak tahun 1958, meliputi pecahan Rp 5 Rp 10 Rp 25, Rp 50, Rp 100, Rp 500, Rp 1.000, Rp 5 000, Rp 10.000. Kemudian ia Juga mendisain uang Seri Trikora yang terdiri dari pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, 25 sen dan 50 sen. Uang tersebut kemudian ditarik pada 1968, diganti seri Sudirman. "Muiai dari pecahan Rp 5 sampai Rp 10.000, saya sendiri yang mendisain," ungkap Sadjiroen. Sadjiroen hanya melayani pemesan tunggal: Bank Indonesia. Untuk membuat sebuah disain permulaan--gambarnya saja--diperlukan waktu satu bulan. Setelah itu masih dibutuhkan waktu yang agak lama, karena harus berulang-ulang mencocokkan gambar dengan keinginan pemesan. "Misalnya uang dengan model dr. Sutomo, sempat dikritik mirip Anwar Sadat, kumisnya kok terlalu tipis," cerita Sadjiroen . Disainer memang hanya membuat gambar-gambar (disain). Artinya, pelaksanaan berikutnya dikerjakan orang lain. Misalnya bagaimana mengukir disain itu di atas plat tembaga. Bagaimana memberikan titik-titik atau garis-garis putus. Ada dua bagian pada pembuatan plat, bagian offset dan intaglio. Keduanya menghasilkan plat cetak masing-masing. "Cetak intaglio adalah cetak dalam," kata Sadjiroen, "pada bagian itulah juga dimasukkan jaminan keamanan uang, seperti benang memanjang dan gambar yang terdapat pada ruang kosong dalam disain. Jadi seorang disainer uang, di samping membuat gambar yang bagus juga harus memikirkan di mana benang pengaman itu diletakkan." Identitas Negara Disain dibuat di atas kertas biasa, dengan segala warna dan komposisinya. Pendisain harus memperhatikan syarat bahwa uang itu harus bisa mencerminkan bangsa. "Seorang asing yang datang ke Indonesia, yang pertama sekali dilaku- kannya adalah menukar uang yang dibawanya dengan uang Indonesia. Jadi pertama sekali orang asing mengenal suatu negeri melalui uang negara itu," ungkap Sadjiroen. Jadi seorang pendisain uang harus mampu mengungkapkan identitas negaranya ke atas uang. Misalnya dehgan cara menampilkan unsur-unsur budaya daerah, atau potret para pahlawan. Itu tidak bisa dituangkan hanya dalam selembar uang. Karena itu lahir uang dalam berbagai seri. Dalam satu lembar disain biasanya digabungkan beberapa unsur. Misalnya tumbuh-tumbuhan yang khas dengan binatang yang juga khas. Lihat saja lembaran uang Rp 10 ribu sekarang, yang bergambar gamelan di satu sisi, sedang sisi lainnya candi Prambanan. Meskipun tak ada pesanan, pendisain terus bekerja. "Nanti kalau diperlukan, tinggal memilih mana yang paling bagus," kata Sadjiroen. Ia sendiri sejak diangkat menjadi Kepala Biro Pracetak Peruri pada 1979, praktis tidak pernah membuat disain lagi. Sebab kini di kantornya ada delapan orang kader pendisain. Di antaranya Sudirno dan Risman yang telah mendisain pecahan uang Rp 1.000 dan Rp 500. "Untuk mendidik seseorang yang sudah mempunyai dasar menggambar menjadi pendisain uang, diperlukan waktu lima tahun," tambah Sadjiroen lagi. Sok Seniman Dari 100 orang pelamar untuk dididik menjadi pendisain uang di Peruri, yang berhasil lulus psiko-test hanya 10 orang. oari jumlah itu baru satu orang yang berhasil dibina selama 2 - 3 tahun. "Umumnya seniman tidak tahan bekerja di sini," kata Sadjiroen terus terang, "sebab di sini memang tidak ada kebebasan." la memberikan contoh seorang pelukis yang pernah mencoba dan hanya tahan sampai delapan bulan. "Saya sendiri tahan, karena saya bukan seniman. Hanya sok seniman saja," kata lelaki itu sambil tertawa. Setiap kali hendak bekerja, para pegawai Peruri diperiksa dulu oleh petugas keamanan baik di halaman, maupun ketika memasuki ruang kantor. Masingmasing tidak bebas memasuki bagian kantor yang lain. Setiap pegawai memakai tanda pengenal bagian masing-masing. "Jadi persis seperti penjara, sehingga saya kadang-kadang merasa iri dengan kawan-kawan pelukis yang lain," keluh Sadjiroen. Tapi sebagai imbalannya, penghasilan pegawai Peruri terbilang bagus. "Lebih baik dari pegawai negeri lainnya, sebab itu penting untuk ketenteraman bekerja," ujarnya. Setiap hari bergaul dengan begitu banyak uang, mental memang bisa berabe. Itu diakui terus terang oleh Sadjiroen. Tak heran kalau di Peruri ditempatkan seorang psikolog, di samping ada pula Badan Penyelesaian Sengketa Keluarga Karyawan. Amar, Pimpinan Bidang Keamanan yang menjadi ketua badan itu mengatakan bahwa. karyawan harus dijamin tenteram di rurnah, agar kerjanya baik. Itu sebabnya badan itu dibentuk. Bahkan bila seorang pegawai menikah, ia harus membawa calon istrinya ke kantor untuk diberi penjelasan dan mengenai suasana tempat calon suaminya bekerja. "Bukan untuk membatasi hak asasi, tapi demi keamanan," kata Amar. Sadjiroen mengakui, cukup banyak sanak-famili yang salah sangka tentang pekerjaannya. "Dikira karena bekerja di percetakan uang, tentu banyak uangnya," katanya sambil tertawa. "Kalau kerja di pabrik roti, saudara boleh melihat bagaimana cara roti itu dibuat, dan kalau rusak, boleh dimakan bersama-sama tapi tidak begitu di percetakan uang. Kalau ada uang rusak, harus semua diamankan." Yaitu dibakar dengan sepengetahuan Bakin dan Mabak. Disain yang dibuat Sadjiroen, di antaranya ada yang dibubuhi namanya. Praktis uang itu kemudian seperti kartu namanya. Melalui uang itu ia pernah mendapat berbagai surat yang ingin berkenalan . "Seorang kawan kelas dua H IS pernah datang ke mari menanyakan apakah saya kawannya dulu, dan ternyata benar" kata Sadjiroen. Tapi akhir-akhir ini ia tidak lagi mencantumkan namanya. "Yah akhirnya saya berpendapat itu tidak orisinal karya saya. Sebab banyak yang turut serta mengerjakannya," kata Sadjiroen. Bicara tentang masa depan, Sadjiroen menoleh kepada kedua orang anaknya. Ia tidak ingin mempengaruhi apakah anak-anak itu akan mengikuti jejaknya atau tidak. Dan dia sendiri? "Dalam hati saya, saya ingin sekali menjadi pelukis yang punya kebebasan, tapi nantilah kalau sudah pensiun," cerita Sadjiroen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus