DUIT, duit . . . duit. Tapi berduit atau berkantung kempes,
sedikit orang yang mengenal Sadjiroen. Ia adalah pendisain uang.
"Saya ini adalah orang yang tidak percaya kepada diri
sendiri," kata lelaki pendek yang berambut lurus dan mulai
beruban itu. Suaranya kecil seperti tubuhnya. "Itulah sebabnya
saya memilih jurusan guru gambar dan bukan seni lukis," tambah
laki-laki lulusan B1 ASRI Yogyakarta (1955) itu. "Saya tidak
punya keberanian untuk menjadi pelukis bebas--yang saya perlukan
hanya selembar ijazah."
Lahir di Kaliungu (Semarang) 4 Maret 1931, Sadjiroen bersama
keluarganya tinggal di Kebayoran Baru, Jakarta, dekat tempatnya
bekerja, yaitu Peruri (Percetakan Uang Republik Indonesia).
Hidupnya agaknya memadai, ditambah fasilitas sebuah mobil dinas.
Ia menanggung dua orang anak dan didampingi seorang wanita
insinyur teknik kimia, sebagai istri.
Sejarah yang ditempuhnya sebelum sampai di Peruri cukup
panjang. Pada suatu hari, tatkala masih belajar di ASRI, seorang
dosennya mendapat pesanan untuk mendisain prangko dari NV
Perkeba (Percetakan Kebayoran Baru). Tugas untuk melaksanakan
pesanan tersebut jatuh ke tangan Sadjiroen. "Tapi disain prangko
saya waktu itu belum bisa diterima, sebab secara teknis
percetakan kurang cocok," ujarnya.
Tapi setelah itu ia mendapat tawaran bekerja di Perkeba, agar
lebih mengetahui teknik mencetak. "Dan saya terima tawaran itu,
sebab saya juga dijanjikan hendak disekolahkan ke luar negeri,"
tambahnya.
Hanya dua tahun setelah bekerja di Perkeba pada 1957 tokoh
kita ini dikirim ke Negeri Belanda, untuk belajar di Firma Johan
Enshede & Zonen di Harlem "Tapi hanya setahun, sl bab hubungan
Indonesia-Belanda tidak baik dengan adanya Trikora," katanya
mengenangkan. Namun ia tidak perlu kembali ke tanah air karena
belajarnya dialihkan ke Wina, Austria, sampai 1962. Menuntut
ilmu di osterrci- chische National Bank yang memiliki percetakan
untuk membuat kertas-kertas berharga-misalnya uang, surat saham
dan lain-lain.
Sejak itu Sadjiroen memastikan diri untuk menjadi pendisain
uang kertas. Menurut Sadjiroen, untuk itu tidak cukup hanya
memiliki ketrampilan menciptakan disain yang bagus--harus pula
dilengkapi dengan pengetahuan teknik cetak dan mengerti problem
produksi cetakan, termasuk segi keamanannya.
Seri Sudirman
Dari ilmu yang dilalapnya di mancanegara, alumni ASRI ini
mula-mula menggarap disain uang seri Pekerjaan Tangan, bersama
rekannya Almarhum Junalies. Seri itu dicetak tahun 1958,
meliputi pecahan Rp 5 Rp 10 Rp 25, Rp 50, Rp 100, Rp 500, Rp
1.000, Rp 5 000, Rp 10.000. Kemudian ia Juga mendisain uang Seri
Trikora yang terdiri dari pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, 25 sen
dan 50 sen. Uang tersebut kemudian ditarik pada 1968, diganti
seri Sudirman. "Muiai dari pecahan Rp 5 sampai Rp 10.000, saya
sendiri yang mendisain," ungkap Sadjiroen. Sadjiroen hanya
melayani pemesan tunggal: Bank Indonesia.
Untuk membuat sebuah disain permulaan--gambarnya
saja--diperlukan waktu satu bulan. Setelah itu masih dibutuhkan
waktu yang agak lama, karena harus berulang-ulang mencocokkan
gambar dengan keinginan pemesan. "Misalnya uang dengan model dr.
Sutomo, sempat dikritik mirip Anwar Sadat, kumisnya kok terlalu
tipis," cerita Sadjiroen .
Disainer memang hanya membuat gambar-gambar (disain).
Artinya, pelaksanaan berikutnya dikerjakan orang lain. Misalnya
bagaimana mengukir disain itu di atas plat tembaga. Bagaimana
memberikan titik-titik atau garis-garis putus. Ada dua bagian
pada pembuatan plat, bagian offset dan intaglio. Keduanya
menghasilkan plat cetak masing-masing. "Cetak intaglio adalah
cetak dalam," kata Sadjiroen, "pada bagian itulah juga
dimasukkan jaminan keamanan uang, seperti benang memanjang dan
gambar yang terdapat pada ruang kosong dalam disain. Jadi
seorang disainer uang, di samping membuat gambar yang bagus juga
harus memikirkan di mana benang pengaman itu diletakkan."
Identitas Negara
Disain dibuat di atas kertas biasa, dengan segala warna dan
komposisinya. Pendisain harus memperhatikan syarat bahwa uang
itu harus bisa mencerminkan bangsa. "Seorang asing yang datang
ke Indonesia, yang pertama sekali dilaku- kannya adalah menukar
uang yang dibawanya dengan uang Indonesia. Jadi pertama sekali
orang asing mengenal suatu negeri melalui uang negara itu,"
ungkap Sadjiroen.
Jadi seorang pendisain uang harus mampu mengungkapkan
identitas negaranya ke atas uang. Misalnya dehgan cara
menampilkan unsur-unsur budaya daerah, atau potret para
pahlawan. Itu tidak bisa dituangkan hanya dalam selembar uang.
Karena itu lahir uang dalam berbagai seri.
Dalam satu lembar disain biasanya digabungkan beberapa unsur.
Misalnya tumbuh-tumbuhan yang khas dengan binatang yang juga
khas. Lihat saja lembaran uang Rp 10 ribu sekarang, yang
bergambar gamelan di satu sisi, sedang sisi lainnya candi
Prambanan.
Meskipun tak ada pesanan, pendisain terus bekerja. "Nanti
kalau diperlukan, tinggal memilih mana yang paling bagus," kata
Sadjiroen. Ia sendiri sejak diangkat menjadi Kepala Biro
Pracetak Peruri pada 1979, praktis tidak pernah membuat disain
lagi. Sebab kini di kantornya ada delapan orang kader pendisain.
Di antaranya Sudirno dan Risman yang telah mendisain pecahan uang
Rp 1.000 dan Rp 500. "Untuk mendidik seseorang yang sudah
mempunyai dasar menggambar menjadi pendisain uang, diperlukan
waktu lima tahun," tambah Sadjiroen lagi.
Sok Seniman
Dari 100 orang pelamar untuk dididik menjadi pendisain uang
di Peruri, yang berhasil lulus psiko-test hanya 10 orang. oari
jumlah itu baru satu orang yang berhasil dibina selama 2 - 3
tahun. "Umumnya seniman tidak tahan bekerja di sini," kata
Sadjiroen terus terang, "sebab di sini memang tidak ada
kebebasan." la memberikan contoh seorang pelukis yang pernah
mencoba dan hanya tahan sampai delapan bulan. "Saya sendiri
tahan, karena saya bukan seniman. Hanya sok seniman saja," kata
lelaki itu sambil tertawa.
Setiap kali hendak bekerja, para pegawai Peruri diperiksa
dulu oleh petugas keamanan baik di halaman, maupun ketika
memasuki ruang kantor. Masingmasing tidak bebas memasuki bagian
kantor yang lain. Setiap pegawai memakai tanda pengenal bagian
masing-masing. "Jadi persis seperti penjara, sehingga saya
kadang-kadang merasa iri dengan kawan-kawan pelukis yang lain,"
keluh Sadjiroen. Tapi sebagai imbalannya, penghasilan pegawai
Peruri terbilang bagus. "Lebih baik dari pegawai negeri lainnya,
sebab itu penting untuk ketenteraman bekerja," ujarnya.
Setiap hari bergaul dengan begitu banyak uang, mental memang
bisa berabe. Itu diakui terus terang oleh Sadjiroen. Tak heran
kalau di Peruri ditempatkan seorang psikolog, di samping ada
pula Badan Penyelesaian Sengketa Keluarga Karyawan. Amar,
Pimpinan Bidang Keamanan yang menjadi ketua badan itu
mengatakan bahwa. karyawan harus dijamin tenteram di rurnah,
agar kerjanya baik. Itu sebabnya badan itu dibentuk. Bahkan bila
seorang pegawai menikah, ia harus membawa calon istrinya ke
kantor untuk diberi penjelasan dan mengenai suasana tempat calon
suaminya bekerja. "Bukan untuk membatasi hak asasi, tapi demi
keamanan," kata Amar.
Sadjiroen mengakui, cukup banyak sanak-famili yang salah
sangka tentang pekerjaannya. "Dikira karena bekerja di
percetakan uang, tentu banyak uangnya," katanya sambil tertawa.
"Kalau kerja di pabrik roti, saudara boleh melihat bagaimana
cara roti itu dibuat, dan kalau rusak, boleh dimakan
bersama-sama tapi tidak begitu di percetakan uang. Kalau ada
uang rusak, harus semua diamankan." Yaitu dibakar dengan
sepengetahuan Bakin dan Mabak.
Disain yang dibuat Sadjiroen, di antaranya ada yang dibubuhi
namanya. Praktis uang itu kemudian seperti kartu namanya.
Melalui uang itu ia pernah mendapat berbagai surat yang ingin
berkenalan . "Seorang kawan kelas dua H IS pernah datang ke mari
menanyakan apakah saya kawannya dulu, dan ternyata benar" kata
Sadjiroen. Tapi akhir-akhir ini ia tidak lagi mencantumkan
namanya. "Yah akhirnya saya berpendapat itu tidak orisinal karya
saya. Sebab banyak yang turut serta mengerjakannya," kata
Sadjiroen.
Bicara tentang masa depan, Sadjiroen menoleh kepada kedua
orang anaknya. Ia tidak ingin mempengaruhi apakah anak-anak itu
akan mengikuti jejaknya atau tidak. Dan dia sendiri? "Dalam hati
saya, saya ingin sekali menjadi pelukis yang punya kebebasan,
tapi nantilah kalau sudah pensiun," cerita Sadjiroen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini