Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Subsidi VS Subsidi = Perang

Sertifikat ekspor & kredit ekspor yang menjadi injektor eksportir tekstil secara bertahap akan dicabut sementara sikap proteksionisme AS semakin kuat. Untuk mengatasinya A.L dengan efisiensi. (eb)

26 Oktober 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TINGGAL enam bulan lagi, eksportir tekstil dan pakaian jadi bisa menikmati fasilitas sertifikat ekspor (SE). Sejak SE diperkenalkan, sekitar enam tahun lalu, sudah Rp 522 milyar lebih (sampai Maret 1985) dana pemerintah diinjeksikan ke kantung para pengusaha itu untuk menggenjot ekspor mereka. Hasilnya memang cukup mengesankan, terutama sesudah pemerintah menggabung fasilitas itu dengan pemberian kredit ekspor (KE) bentuk pembiayaan berupa penyediaan modal kerja bersuku bunga rendah. Menurut Eduardus Ade Pravinata, manajer umum PT Busana Rama Textile and Garment, SE terasa sangat bermanfaat bagi para eksportir pemula untuk memasuki pasar internasional. Pakaian jadi dengan bahan tekstil kualitas bawah, katanya, sulit bersaing tanpa fasilitas itu. Sebagai penghasil pakaian jadi, yang memulai usaha ekspornya tahun 1981, Busana tentu punya pengalaman cukup dalam memanfaatkan SE - hingga akhirnya bisa menghasil-kan 20 ribu lusin pakaian jadi setiap bulan. Selain mendorong munculnya pengusaha pemula seperti Busana, SE dan KE juga banyak menolong pengusaha dalam mengatasi kejenuhan pasar dalam negeri. Sayang, usaha memacu ekspor tekstil dan pakaian jadi itu, ternyata, menimbulkan masalah di negeri pembeli: jumlah industri tekstil dan pakaian jadi di Amerika yang bangkrut, misalnya, makin bertambah dua tahun terakhir ini. Negeri industri ini menuduh Indonesia melakukan subsidi terselubung dengan menyediakan kedua fasilitas itu untuk menaikkan daya saing penjualan tekstil dan pakaian jadi di pasar Amerika. Apa pun dakwaannya, secara sederhana bisa dikatakan, AS hakikatnya sangat berkepentingan melindungi kelangsungan hidup industrinya sendiri. Sikap proteksionistis ini tampil makin kuat sesudah pemerintahan Presiden Reagan gagal mengendalikan defisit neraca perdagangannya, yang mencapai US$ 120 milyar lebih tahun lalu. Karena itu Maret lalu, mereka mengancam akan mengenakan bea masuk tambahan (countervailing duty) 20% - 27% atas tekstil dan pakaian jadi Indonesia, jika SE dan KE masih diberikan. Apa boleh buat, daripada peluang di pasar gemuk hilang, pemerintah akhirnya terpaksa menekan ketentuan Code on Subsidies and Countervailing Duties pada Perjanjian Umum di bidang Perdagangan dan Tarif (GATT). Dan sebagai konsekuensinya, SE harus dicabut mulai 1 April 1986, sedangkan KE dihapus secara bertahap 1 April 1987 hingga hilang sama sekali pada 1990. Pemberian perangsang kepada eksportir, jika masih ingin dilakukan pemerintah, akhirnya harus dikembalikan pada asas drawback (pengembalian bea masuk atas impor bahan baku), murni tanpa unsur subsidi. Bagaimana eksportir akan mengantisipasinya? Menurut S. Sinaga, Direktur PT Unilon Textile Industries, Bandung, ada tiga cara. Pertama, melakukan efisiensi untuk menekan harga pokok kedua, tingkat suku bunga diturunkan dan ketiga, pembebasan bea masuk bagi bahan baku dan penolong. Pembebasan bea masuk ini, kata dia, sesungguhnya sudah ada ketentuannya. "Sayangnya, hingga sekarang petunjuk pelaksanaannya belum turun," tambahnya. Sejauh ini kapas, sebagai bahan baku industri tekstil, memang dibebaskan bea masuknya. Kata seorang pengusaha, bahan baku seperti benang sintetis mestinya juga diperlakukan sama. Seorang eksportir lain minta agar ongkos angkut, telepon, dan listrik bisa ditekan - terutama dua yang terakhir karena dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah. "Dibandingkan dengan Singapura, misalnya, biaya pemakaian jasa-jasa itu lebih mahal 100%," katanya. Usaha mencari pasar baru, belakangan ini, juga banyak ditempuh para eksportir untuk menghindari kuota dan pelbagai bentuk proteksi negeri-negeri industri. Primatexco, misalnya, sedang menjajaki kemungkinan memasuki pasar RRC sekalipun bea masuk di sana dikenal sangat tinggi. Kesempatan tampaknya akan terbuka, jika pabrik patungan Jepang-Indonesla ini jadi mengambil kapas, yang berharga miring dari negeri itu. Usaha ekspornya baru dimulai 1980, dengan menjual 1,5 juta yard katun dari produksi 3,4 juta yard per bulan. "Itu pun berkat SE, hingga harganya bisa bersaing," ujar Ian Daskian, Direktur Primatexco. Negara-negara sosialis di Eropa Timur, belakangan ini, juga jadi sasaran, sesudah Timur Tengah, Eropa Barat, Australia, Kanada, dan Amerika terasa mulai sesak, menyusul tindakan pembatasan yang dilakukan pemerintah setempat. Di luar dugaan, agaknya, eksportir seperti Unilon ternyata malah mendapat pasar dan harga bagus di negeri seperti Hungaria. Kini, hampir separuh dari produksinya yang 1,5 juta yard tiap bulan bisa dijualnya di pasar luar negeri. Sejak 1982 sampai Mei lalu, sudah Rp 2 milyar lebih dana SE bisa dinikmati perusahaan ini. Toh, ada juga pengusaha yang tak puas dengan usaha diversifikasi pasar. Busana Rama, misalnya, berusaha memperluas pasar dan mempertahankan penjualannya dengan menaikkan kualitas pakaian jadinya. Karena itu, eksportir ini harus mengurangi pemakaian tekstil dalam negerinya, yang kini masih meliputi 40% dari seluruh konsumsi bahan bakunya, dengan tekstil impor mulai tahun depan. Tentu saja, dihapusnya SE bukan merupakan soal benar bagi PMDN ini. "Dengan keringat dan air mata kami akan bertahan tanpa SE," katanya sambil ketawa. Sebuah perusahaan tekstil, yang selama ini dikenal sebagai eksportir rey (bahan dasar) terkemuka ke Jepang, tiga bulan terakhir bahkan sudah mencoba mengatasi bakal berkurangnya pendapatan dengan mengekspor benang. Jumlahnya sekitar 300 ton setiap bulan. Usaha menghemat dilakukannya dengan memperpendek jangka waktu persediaan bahan baku. Jika di masa normal, persediaan yang bisa diterima adalah untuk jangka tiga bulan, maka demi menghemat biaya, dana cukup dua bulan. Cobaan untuk industri tekstil rupanya belum berhenti. Awal Oktober lalu, Presiden Reagan mengisyaratkan pada Kongres untuk ikut menyetujui penyediaan dana subsidi sebesar US$ 300 juta untuk mendorong ekspor barang-barang manufakturnya. Sial memang - sesudah pemerintah menanda-tangani GATT, usaha memberi subsidi itu malah akan dilakukan Washington. Apakah Indonesia akan membalas mengenakan bea masuk tambahan bagi barang Amerika? "Kita lihat dulu, seandainya mereka memberikan dengan harga dumping, sehingga mendesak industri dalam negeri, kita pasti akan melakukan tindakan," kata Menteri Keuangan Radius Prawiro. Pertempuran melawan negara-negara industri agaknya masih akan berlanjut. Sayangnya, pelanggaran mereka atas asas-asas perdagangan bebas seperti diatur dalam GATT sulit dibendung. Paling-paling cuma dikecam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus