SUDAH bisa beli Newsweek di Jakarta? Belum walaupun Menlu Adam
Malik dua pekan lalu menyatakan bahwa persoalan majalah berita
bersirkulasi internasional itu sudah selesai.
Mingguan itu dilarang beredar di Indonesia karena pada
penerbitan 8 Nopember 1976 ia memuat sebuah laporan utama
tentang Indonesia, yang sedemikian rupa sehingga membikin para
pemimpin Indonesia, misalnya Let. Jen. Ali Murtopo, "tertusuk
perasaannya". Dalam tulisan majalah Amerika itu, menurut Ali
Murtopo, disebut adanya kepudaran harapan di Indonesia. "Apa
yang dituduhkan seakan-akan kepemimpinan Pak Harto sudah menjadi
pudar, samasekali tidak benar", kata Wakil Kepala Bakin itu.
Sedang Adam Malik menilai laporan panjang majalah itu sebagai
"usaha untuk memecah belah Indonesia" (TEMPO, 20 Nopember 1976).
Sejak itu - termasuk edisi yang menusuk itu -- Newsweek tak
dibenarkan beredar di dalam negeri. Kecuali, seperti diungkapkan
Kaskopkamtib Sudomo di Semarang, Newsweek menyatakan permintaan
maaf secara terbuka kepada Presiden Soeharto dan Nyonya Tien
Soeharto, serta menindak wartawan yang menulis laporan itu,
Richard Smith.
Ramai Menutip
Sudah adakah permintaan maaf itu? Dua pekan lalu media ibukota
memang ramai memberitakan bahwa Newsweek minta maaf atas edisi
hebohnya. Dengan judul Newsweek Minta Maaf. Sehubungan dengan
Tulisan Richard Smith, Antara 26 Januari menyebutkan: "Redaksi
mingguan Newsweek edisi internasional yang terbit di New York
menyatakan maaf karena tulisan wartawannya di Hongkong, Richard
Smith, tanggal 8 Nopembe yang telah menyerang Presiden Soeharto
dan keluarganya, serta Pemerintah dan Rakyat Indonesia".
Selanjutnya, kata Antara: "Pernyataan maaf ini dimuat dalam
edisi Newsweek tanggal 31 Januari 1977 yang sudah mulai beredar
hari Rabu, 26 Januari di Tokyo".
Dalam rubrik Letters dari Newtweek terbitan tersebut dimuat juga
surat kiriman Dutabesar RI Roesmin Nurjadin, yang pada pokoknya
menyatakan keberatan atas tulisan Richard Smith tersebut (lihat
fotokopi surat). Dengan demikian permintaan maaf tersebut adalah
tanggapan atas surat terbuka Dutabesar Indonesia di AS.
Esoknya media Jakarta ramai mengutip berita LKBN Antara dengan
judul yang tak lari dari soal telah adanya permintaan maaf itu.
Tapi koran Kompas, 27 Januari menurunkan judul Newsweek
Menyatakan Penyesalannya dan Merdeka, tanggal yang sama:
Newsweek Nyatakan Penyesalan. Sedang The Indonesian Times
memberi kepala pada beritanya: Newsweek Regrets Article on
Indonesia.
Yang Bagaimana
Mana yang betul: permintaan maaf dan mengakui salah, atau
pernyataan menyesal karena timbul heboh? Kejelasan ini tampaknya
perlu, bukan hanya demi memenuhi persyaratan Sudomo di atas,
tapi juga untuk menilai bagaimana sikap majalah itu yang
sebenarnya mengenai berita yang pernah ditulisnya. Jawaban
Newsweek atas surat Dubes Roesmin Nurjadin memuat kata-kata:
"NEWSWEEK's editors did not expect the article to provoke such a
reaction and regret that it has done so". Dan: "In fact, the
article was in no way intended as a personal attack to President
Suharto or the members of his family, nor was it meant to be
offensive to the Indonesian Govemment or people". Menurut
Newsweek, pernyataan Dubes Roesmin, bahwa laporan utama Newsweek
itu berat sebelah dan bersifat menyerang, merupakan cerminan
perasaan kalangan luas di Indonesia.
Pernyataan semacam ini memang agak luar biasa: cukup panjang.
Tapi masih sedikit samar sebagai permintaan maaf.
Soalnya makin kabur setelah Menteri Luar Negeri Adam Malik
mengatakan bahwa soal Newsweek sudah selesai. Tidak jelas
selesai yang bagaimana. Cuma ia mengungkapkan bahwa dua wartawan
majalah tersebut akan datang ke Indonesia dalam rangka pemulihan
situasi tersebut. Mereka akan mewawancarai Presiden Soeharto.
Lain dengan Sudomo, Kepala Staf Kopkamtib. Soal telah ada atau
tidaknya maaf dari majalah tersebut, "tergantung dari penilaian
masing-masing". Ia mengatakan soal selesai tidaknya kasus ini
tergantung dari hasil pembicaraan dua wartawan Newsweek yang
bakal datang tersebut dengan Adam Malik. Pokoknya "kita anggap
ini belum selesai, selama dua wartawan itu belum datang". Lalu
itu Richard Smith: sudah ditindak apa belum?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini