Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank Indonesia harus menaikkan suku bunga acuan dari 3,5 persen menjadi 3,75 persen.
Ekonomi akan melambat karena daya beli konsumen dan daya ekspansi perusahaan menurun.
Inflasi karena kenaikan harga BBM berpotensi memicu lingkaran setan.
SIKLUS melambatnya ekonomi akhirnya benar-benar tiba. Ada dua rem yang akan memperlambat perputaran roda ekonomi Indonesia. Rem pertama, naiknya suku bunga acuan Bank Indonesia, yang bahkan sudah mulai bekerja pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah menahan bunga selama 18 bulan, BI akhirnya harus menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7DRR) dari 3,5 persen menjadi 3,75 persen. Itulah bunga rujukan pasar finansial Indonesia. Jika BI 7DRR naik, bunga kredit perbankan hingga kupon obligasi pemerintah akan ikut naik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bunga yang lebih tinggi membuat konsumen, korporasi, ataupun pemerintah harus membayar ongkos lebih mahal ketika berutang. Artinya, daya beli konsumen hingga daya ekspansi perusahaan akan menurun. Demikian pula kemampuan belanja pemerintah. Itu yang menyebabkan ekonomi melambat.
Bukan hanya kenaikan suku bunga, dalam waktu dekat akan ada perkara kedua yang mengerem roda ekonomi, yakni lonjakan inflasi karena kenaikan harga bahan bakar minyak. Tak mungkin lagi pemerintah terus menahan harga Pertalite dan biosolar dengan mengobral subsidi BBM. Harga minyak dunia tak kunjung turun, sementara tingkat konsumsi BBM di dalam negeri makin melejit karena mobilitas masyarakat pulih setelah lepas dari belenggu pandemi. Kombinasi kedua faktor ini membuat anggaran subsidi terkuras jauh lebih cepat.
Jika tak ada kenaikan harga BBM, pemerintah harus menambah anggaran subsidi dan kompensasi sekitar Rp 200 triliun lagi di atas Rp 502 triliun yang sudah dialokasikan. Jelas, selain tidak masuk akal, anggaran pemerintah 2022 bisa berantakan jika subsidi energi menyedot anggaran lebih dari Rp 700 triliun. Jadi kenaikan harga BBM adalah keniscayaan.
Kenaikan harga BBM punya efek serupa dengan kenaikan bunga, menurunkan daya beli konsumen karena akan melejitkan inflasi. Mereka yang berpenghasilan tetap, para karyawan yang hidup dari upah bulanan, akan menanggung beban lebih besar untuk mengongkosi hidup sehari-hari. Tingkat tabungan masyarakat menurun.
Inflasi yang muncul karena kenaikan harga BBM juga berpotensi memicu lingkaran setan. Jika lonjakan inflasi yang terjadi ternyata amat tinggi, BI harus kembali menaikkan suku bunga acuan untuk meredamnya. Sejauh ini, para analis memperkirakan kenaikan harga BBM akan memicu inflasi hingga 7 persen di akhir tahun. Prediksi inflasi bahkan lebih besar jika kenaikan harga biosolar dan Pertalite diikuti kenaikan harga Pertamax.
Sekadar catatan, Pertamax adalah jenis bahan bakar yang tidak mendapat subsidi ataupun kompensasi. Kendati demikian, pemerintah juga mengendalikan harganya. Pertamina harus menjual Pertamax dengan harga jauh di bawah harga pokok. Dampaknya, Pertamina menderita kerugian lebih dari Rp 5.000 per liter dari berjualan Pertamax. Jika tetap tidak boleh menaikkan harga Pertamax, yang konsumennya kelompok masyarakat dengan status ekonomi menengah-atas, Pertamina akan rugi besar.
Walhasil, untuk mencegah inflasi melonjak tak terkendali, pasar memprediksi bunga acuan BI 7DRR bakal naik beberapa kali hingga akhir tahun ini. Estimasi pasar, bunga acuan bisa mencapai 4,75 persen pada akhir tahun, tertinggi sejak Februari 2020. Kondisi memang akan berat. Setelah melampaui semester I 2022 dengan kinerja amat baik, ekonomi Indonesia harus mengantisipasi lonjakan inflasi, kenaikan bunga, dan perlambatan.
Namun ini bukanlah kiamat. Kelesuan ekonomi hanyalah siklus yang memang harus datang bergantian. Ini keniscayaan setelah ekonomi menikmati pertumbuhan. Apalagi negara-negara lain lebih dulu terkena hantaman kenaikan harga minyak, inflasi, dan kenaikan bunga. Indonesia mendapat giliran belakangan karena ganjalan subsidi.
Kini terbukti, obral subsidi itu tetap tak mampu mencegah naiknya harga BBM, inflasi tinggi, juga kenaikan suku bunga. Obral subsidi di semester pertama hanya membuat kelompok miskin dan rentan miskin kehilangan kesempatan mendapat pertolongan. Dana subsidi yang semestinya bisa lebih berguna buat mereka jika dipakai untuk memberikan bantuan sosial sebagian besar sudah telanjur habis terbakar sia-sia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo