Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ternyata Tak Sampai Dua Tahun

Devaluasi tak dapat dihindari lagi karena laju inflasi Indonesia yang tinggi. Minyak tak lagi sebagai penghasil devisa. Para ahli ekonomi telah meramalkan keharusan devaluasi ini.

9 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEVALUASI, kata yang kini populer itu, masih menjadi pembicaraan orang. Tapi teori yang melatarbelakangi adanya devaluasi barangkali belum banyak yang tahu. Winarno Zain, pembantu khusus TEMPO, mengemukakan pendapat beberapa ahli: Jauh sebelum 15 Nopember 1978, pembicaraan tentang perlu atau tidaknya devaluasi rupiah sudah berlangsung ramai di antara para pengamat ekonorml Indonesia, termasuk IMF dan Bank Dunia Pada umumnya mereka bersikap "ya, tapi .... " Uraian mereka semuanya bertolak dari pendekatan yang dalam ilmu ekonomi disebut Purcbasing Power Parity. PPP pada dasarnya merumuskan, apabila laju inflasi satu negara berkembang jauh dari inflasi negara pasangan dagangnya, maka suatu penyesuaian kurs diperlukan untuk memulihkan kcmbali norma perdagangan. Dengan kata lain, misalnya apabila inflasi Indonesia antara 1971 - Oktober 1978 mencapai 195%, sedangkan inflasi di AS dalam kurun waktu yang sama "hanya" 57%, kerugian akan diderita pihak eksportir Indonesia. Sebab kenaikan ongkos yang lebih tinggi tak diimbangi penghasilan dari dollar, berhubung selama jangka waktu itu kurs rupiah terhadap dollar tetap 415. Makin Merosot Ada juga yang mengemukakan pendekatan PPP sebenarnya kurang cukup untuk menjadi dasar putusan dilakukannya devaluasi. Salah satu yang berpendapat demikian adalah Phyllis Rosendale dari Departemen Ekonomi Universitas Nasional Australia (ANU). Dalam Bulletin of Indonesia Economic Studies, Maret 1976, Rosendale menulis pengetrapan PPP dalam kasus Indonesia harus mempertimbangkan berbagai hal yang mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing, seperti aliran modal termasuk bantuan luar negeri, penemuan sumber baru atau perbedaan dalam tingkat produktivitas industri dalam negeri. "Selama lima tahun terakhir, banyak perobahan terjadi di bidang ini di Indonesia," tulis Rosendale. Di samping itu perlu juga diperhatikan bahwa perobahan dalam neraca perdagangan akibat perobahan kurs tergantung dari elastisitas harga atas penawaran dan permintaan beberapa komoditi tertentu. Dan sudah umum diketahui bahwa elastisitas ini untuk negara kurang maju seperti Indonesia adalah rendah. Rosendale juga mengemukakan, sekalipun kurs rupiah terhadap dollar tetap, tapi karena dollar mengalami depresiasi terhadap mata uang lain, maka dalam jangka waktu tersebut, rupiah sebenarnya juga mengalami devaluasi efektif. Dari data yang dikumpulkann tentang perkembangan kurs rupiah terhadap 9 mata uang negara partner dagang utama Indonesia, diketahui bahwa antara 1971 dan 1975 saja, rupiah secara efektif mengalami devaluasi sebanyak 21%. Devaluasi rupiah terhadap mata uang utama ini makin merosot lagi, kalau diingat dalam waktu kurang dari dua tahun nilai dollar turun dengan tajam. Itu pula yang dikhawatirkan K. Gunadi, 60 tahun, tenaga ahli pada Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dalam sebuah tulisannya di majalah Prisma, Juli tahun lalu, pengamat ekonomi yang aktif ini sudah mensinyalir betapa kurs resmi dollar ketika itu sudah "tidak realistis lagi dan pada hakekatnya menempatkan posisi moneter Indonesia pada kedudukan yang labil." Mengamati inflasi di Indonesia dan di AS selama 1971-1976, Gunadi -- yang pernah mengepalai Departemen Ekonomi Citibank di Jakarta -- berkesimpulan: " .... tidaklah tepat untuk mempertahankan kurs dollar-rupiah sekarang pada tingkat yang serupa dengan kursnya pada 1971. Sebab depresiasi yang dialami rupiah selama 6 tahun adalah 122,7% atau 20,5"% setahunnya dibandingkan dengan dollar sebesar 39,7ø/c atau 6,6% setahunnya." Bertolak dari pendekatan yang sama Douglas Paauw -- ekonom yang tak asing lagi bagi mahasiswa ekonomi di sini -- menunjukkan bagaimana perbedaan inflasi yang membesar antara Indonesia dan AS telah menimbulkan keganjilan paritas yang merugikan eksportir Indonesia. Dimuat dalam buletin Ekonomi Keuangan Indonesia, Juni 1978, Paauw menunjukkan untuk mempertahankan tingkat keuntungan eksportir Indonesia, kurs dollar pada Mei 1977 seharusnya sudah Rp 695, sedangkan kurs riil yang diterima eksportir (sesudah dikurangi beberapa pajak) hanya Rp 391 per dollar AS. Ini berarti ketimpangan biaya yang dialami eksportir Indonesia yang mengekspor barangnya ke AS mencapai 44%. Eksportir dari negara tetangga seperti Malaysia, Pilipina dan Muangthai hanya mengalami "kerugian" antara 6 dan 9% untuk ekspornya ke AS dalam periode yang sama. Ini karena inflasi di negara tersebut jauh lebih rendah dari inflasi di Indonesia. Malaysia malahan melakukan apresiasi dollarnya terhadap dollar AS. Apakah kemudian Paauw mengusulkan dilakukannya devaluasi rupiah? Dia ragu-ragu. Dia hanya menulis "dalam situasi yang kompleks seperti Indonesia, di mana neraca pembayaran didominir oleh bahan ekstraktif (terutama minyak), di mana pertambahan cadangan internasional terus terjadi, di mana kecondongan inflasi masih ada dan di mana pengendalian impor dilakukan untuk keperluan proteksi dan tujuan-tujuan lain, devaluasi menimbulkan masalah serius di bidang politik dan ekonomi." Seperti Rosendale, Paauw juga memikirkan kemungkinan dilakukannya devaluasi parsiil, di mana si eksportir diberikan semacam bonus atau premi untuk setiap dollar yang diperolehnya, untuk terus merangsang usahanya. Ini berarti diadakannya kurs tersendiri untuk eksportir yang berarti pula adanya kurs ganda (multiple exchange rate), satu sistim yang pernah dipraktekkan Indonesia sebelum 1971, tapi yang akhirnya dihentikan. Sistim kurs ganda berarti campur tangan birokrasi besar sekali. Dan hambatan administratif ini bisa menimbulkan manipulasi. Dari segi administratif, keduanya mengakui, pelaksanaan kurs ganda memang sulit sekali. Namun, apabila data yang ada dikupas makin dalam nyatalah argumen untuk melakukan devaluasi rupiah memang kuat sekali. Benar cadangan devisa Indonesia masih kuat. Tapi itu sebagian besar karena terjadinya bonanza minyak. Angka cadangan devisa sebenarnya menyembunyikan betapa masih rapuhnya industri ekspor bahan tradisionil non-minyak. Selama 7 tahun terakhir, ekspor Indonesia meningkat rata-rata dengan 44%, tapi ekspor non-minyak hanya naik 29%. Inipun sebenarnya sebagian besar berasal dari kenaikan harga (seperti yang terjadi untuk kopi baru-baru ini), sedangkan volume ekspornya sendiri tak menunjukkan peningkatan berarti. Ini berarti satu pukulan bagi usaha pembukaan lapangan kerja. Selama 7 tahun terakhir ini perkembangan sektor ekspor pertanian yang umumnya bersifat padat karya, belum berhasil meningkatkan lapangan kerja. Karena itu, cadangan devisa yang nampaknya baik itu sebenarnya masih merupakan kedok yang bersifat sementara. Pertumbuhan ekspor sektor pertambangan terutama minyak yang menanjak cepat itu dimungkinkan karena menggunakan peralatan padat modal yang menyerap sedikit tenaga kerja. Sumbangannya terhadap penambahan tenaga kerja sangat minim. Akhirnya satu kenyataan pahit harus dihadapi. Minyak makin turun peranannya sebagai penghasil devisa. Penurunan kegiatan eksplorasi, pertambahan konsumsi minyak dalam negeri yang cepat, meningkatnya kesulitan pemasaran di luar negeri karena makin banyaknya saingan, menyebabkan produksi dan ekspor minyak akan turun, dan penurunan ini belum bisa ditutup dengan penerimaan dari sumber lain. Diperkirakan mulai 1980 titik balik akan terjadi pada neraca pembayaran Indonesia. Dari surplus tiap tahun tadinya, neraca pembayaran Indonesia akan menderita defisit sekitar US$ 800 juta. Defisit itu akan meningkat lagi menjadi US$ 1,7 milyar pada 1982, satu prospek yang sangat mencemaskan pemerintah Indonesia tentunya. Tak heran kalau kemudian buletin mingguan Business Asia, sebulan sebelum devaluasi rupiah menjadi kenyataan, meramalkan: "Pemerintah Indonesia mungkin akan melakukan devaluasi rupiah dengan 50% atau 100% dalam waktu dua tahun ini." Ternyata tak usah menunggu begitu lama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus