Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah jam makan siang biasanya Maurits Napitupulu memiliki waktu lebih santai: mendengarkan laporan, membaca surat yang masuk, dan membuat disposisi kepada staf. Namun Kamis siang dua pekan lalu, belum lagi dia tuntas membaca surat, sekonyong-konyong ada telepon dari Hasan Basri Saleh, Asisten Sekretaris Daerah Pemerintah Jakarta Bidang Perekonomian.
Hasan meminta Maurits bersama Direktur Teknik Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya Sri Widayanto Kaderi dan Kepala Badan Pengawas PAM Jaya menemuinya di kantor Gubernur pada pukul lima petang hari itu juga.
"Permintaan untuk bertemu ini tidak biasa, tumben," Maurits bercerita kepada sekretarisnya, seperti yang ditirukan salah seorang anggota staf PAM Jaya kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Maksud permintaan mendadak itu terjawab seusai pertemuan. Dalam pekan itu juga Maurits harus menyerahkan jabatan Direktur Utama PAM Jaya kepada Sri Widayanto Kaderi. "Tak perlu menunggu, saya mundur besok harinya," kata Maurits.
Pencopotan Maurits yang terkesan mendadak pada 22 Desember 2011 sontak memunculkan tanda tanya. Apalagi dia belum genap separuh jalan memimpin badan usaha milik daerah itu. Bila tak ada yang luar biasa, seharusnya Maurits masih duduk di kursinya hingga Mei 2014.
Ketua Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Selamat Nurdin mencium aroma kejanggalan dalam proses pemberhentian itu. Dia menduga ada tekanan pihak luar di tengah usaha Maurits mendesak renegosiasi pengelolaan air antara PAM Jaya dan operator swasta. "Ada ’ancaman’ pihak yang tak sepakat dengan rebalancing," katanya.
Entah kebetulan entah tidak, pagi hari sebelum dipanggil ke Balai Kota, Maurits sempat menggelar jumpa pers. Dalam pertemuan bertajuk evaluasi akhir tahun PAM Jaya itu, dia mengkritik perjanjian kerja sama dengan dua mitra swasta yang membuat kondisi kas PAM Jaya teruk bukan kepalang.
Alih-alih meraih untung, PAM Jaya tekor ratusan miliar rupiah. Sejak mengikat kerja sama pada 1997 sampai akhir 2010, PAM Jaya harus menanggung akumulasi kerugian atas beban utang imbalan air, biasa disebut shortfall, hingga Rp 610 miliar dan tunggakan tagihan pelanggan sampai Rp 530 miliar.
Adapun ekuitas perusahaan menjadi minus Rp 985 miliar. Yang paling menyesakkan, aset PAM yang sebelum kerja sama mencapai Rp 1,49 triliun, sesuai dengan audit tahun buku 2007, malah susut menjadi Rp 204 miliar.
Sebaliknya, kedua mitra, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta, bergelimang rupiah. Sampai Juni tahun lalu, Palyja menabung laba Rp 898 miliar, atau hampir separuh aset yang dimilikinya. Saham Palyja saat ini dikuasai perusahaan investasi energi Prancis, Suez Environment, dan PT Astratel Nusantara, anak usaha PT Astra International.
Pada kuartal pertama tahun lalu, Aetra juga menggaet laba Rp 27,9 miliar, meroket ketimbang periode yang sama tahun lalu Rp 16,4 miliar. Tahun ini perusahaan yang sebagian besar sahamnya dimiliki konsorsium Acuatico Pte Ltd dan PT Alberta Utilities itu sudah menebar dividen Rp 200 miliar kepada pemegang saham.
Keuntungan para investor itu dibayar oleh para pelanggan air di Jakarta. Tarif air di Jakarta sekarang rata-rata Rp 7.800 per meter kubik, jauh lebih tinggi ketimbang di kota lain, seperti Surabaya (Rp 2.600) dan Bekasi (Rp 2.300). Jika kontrak tak direvisi, tarif berpotensi melambung hingga Rp 22 ribu per meter kubik pada 2022.
"Jika perjanjian kerja sama tidak segera diubah, kondisi PAM bakal memburuk dan berpotensi menanggung utang hingga Rp 18,2 triliun ketika kontrak berakhir," ujar Maurits kala itu. Rentetan kerugian inilah yang menyebabkan Maurits gencar mendesak Palyja dan Aetra segera merenegosiasi kontrak.
Ajakan membahas ulang kontrak hanya disambut Aetra. Secara prinsip, Aetra menyetujui beberapa hal mendasar, seperti tidak akan menaikkan tarif sampai kontrak berakhir dan shortfall hingga 2016 menjadi nol. Hanya permintaan perundingan ulang dengan Palyja yang tersandung karang terjal.
Di mata Selamat Nurdin, keberhasilan menjinakkan Aetra merupakan prestasi. Sebelum ada Maurits, pemerintah Jakarta kesulitan membujuk operator merevisi kerja sama kontrak yang merugikan. "Maurits yang membuka pembicaraan renegosiasi," ujarnya. "Sehingga tak ada alasan yang logis mencopot Maurits dari posisinya."
Dugaan adanya tekanan dalam pencopotan Maurits sedikit tersingkap lantaran surat yang dikirim Chairman and Chief Executive GDF Suez, Gerard Mestrallet, kepada Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, yang salinannya diperoleh Tempo.
Surat dalam bahasa Inggris bertanggal 20 Juni 2011 itu menyebutkan bahwa Mestrallet meminta bantuan Menteri Hatta mencari solusi atas "kesulitan serius" yang dialami PT Palyja dalam proses renegosiasi kontrak dengan PAM Jaya.
GDF Suez berkepentingan mengamankan investasinya di Indonesia lantaran menjadi induk usaha Suez Environment, pemilik 51 persen saham PT Palyja. Sementara itu, sisa saham PT Palyja dikuasai PT Astratel.
Menurut Mestrallet, unsur tarif sebagai sumber utama pembiayaan dalam kerja sama memiliki keterbatasan. Sementara itu, PAM Jaya menginginkan pembaruan syarat kerja sama untuk imbalan tarif, konsesi operator, dan pengembangan operasional.
Dalam suratnya dia mengklaim, Palyja dan GDF Suez terbuka untuk renegosiasi melalui proses yang adil dan berimbang. Sayangnya, kata Mestrallet, "Ada upaya PAM Jaya untuk memaksakan definisi ulang (kontrak) secara sepihak, termasuk pelanggaran isi kontrak dan menahan rekening tunggakan, sehingga membawa kebuntuan yang mengancam keberadaan kontrak itu sendiri."
Sumber yang memahami proses renegosiasi ini membisikkan, tudingan pelanggaran kontrak mengarah pada tindakan Maurits yang membekukan rekening penampung tunggakan pelanggan milik PT Palyja. Hingga akhir Desember 2011, isi rekening mencapai Rp 170 miliar.
Maurits membekukan rekening itu lantaran menganggap PT Palyja tak mampu mengimplementasikan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1993 tentang pelayanan air minum. Salah satu pasalnya mengatur pemutusan layanan air bagi pelanggan yang menunggak tagihan.
Sesuai dengan perda, Palyja mesti menunjukkan bukti berita acara menyangkut pemutusan layanan air bagi pelanggan yang menunggak, pembayaran tunggakan, dan bukti penyambungan kembali. "Itu yang tak mampu dibuktikan Palyja sehingga uang tak dapat dicairkan," kata Maurits.
Juru bicara Palyja, Meyritha Maryanie, tidak menjawab ihwal surat dari GDF Suez kepada Menteri Hatta Rajasa. Dia hanya menegaskan akan melanjutkan renegosiasi kontrak kerja sama. "Maaf, saya sedang cuti di luar kota. Mengenai renegosiasi, kita tunggu perkembangan selanjutnya. Kalau ada info, pasti kami sampaikan ke wartawan."
Sebelumnya, Meyritha mengatakan pihaknya akan tetap menagih tunggakan yang masuk dalam rekening penampung. Dia beralasan, berdasarkan kontrak yang diteken pada 1997, tunggakan yang berbuntut pemutusan pelayanan air menjadi kewajiban PDAM Jaya kepada operator. "Kami membutuhkan dana itu untuk investasi pemipaan," kata Meyritha. "Meski investasi tetap berjalan, ini tidak seperti yang diharapkan."
Anggota Badan Regulator Penyedia Air Minum Jakarta Raya, Agus Kretarto, menyebutkan sebetulnya ada permintaan mediasi dari pihak operator swasta untuk mencairkan tagihan tertunggak hingga Rp 80 miliar. "Tapi yang semangat mengirim bukti hanya Aetra, sementara PT Palyja tak mau sama sekali," ujarnya.
Direktur Utama PAM Jaya yang baru, Sri Widayanto Kaderi, menegaskan tetap tidak bakal mencairkan tunggakan yang diklaim Palyja hingga ada bukti hitam di atas putih. Ia melihat kejanggalan dalam proses pemutusan layanan air.
Kebanyakan layanan yang diputus adalah pelanggan golongan bawah Rp 1.050-3.800 per meter kubik. "Padahal imbalan yang harus dibayarkan kepada operator Rp 7.020 per meter kubik. Berarti kami nombok besar sekali," katanya.
Ketua Badan Regulator Penyedia Air Minum Jakarta Raya Irzal Djamal mengimbuhkan, kunci dalam renegosiasi kontrak dengan PT Palyja memang rekening penampung itu. "Kalau rekening itu dicairkan, keran renegosiasi berjalan mulus. Tapi apa Dirut mau?" kata Irzal.
Gubernur Jakarta Fauzi Bowo mengelak ketika dimintai komentar ihwal surat dari GDF Suez. "Saya baru dengar ini dari Anda. Tidak ada surat yang masuk ke saya," katanya.
Hasan Basri menyangkal adanya tekanan terhadap Gubernur Fauzi Bowo untuk memberhentikan Maurits. Ia malah mengatakan pencopotan Maurits justru untuk mendorong percepatan renegosiasi kontrak. "Kami sudah meminta dari dulu, tapi sampai sekarang tidak jadi-jadi," tuturnya.
Belum jelas apa peran Menteri Hatta dalam proses renegosiasi antara PAM Jaya dan Palyja terkait dengan permintaan bantuan seperti yang disebut-sebut Mestrallet dalam suratnya. Hatta tak membalas telepon dan pesan pendek yang dilayangkan ke nomor telepon selulernya.
Maurits mengaku tidak tahu tentang surat yang dikirim GDF Suez kepada Hatta. Namun, sekitar seminggu sebelum kedatangan Perdana Menteri Prancis Francois Fillon pada 1 Juli 2011, dia diundang ke kantor Kementerian Koordinator Perekonomian.
"Saya hanya diberi tahu ada agenda soal Palyja yang akan dibahas antara Perdana Menteri Prancis dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," ujar Maurits. "Tapi tidak ada tekanan dalam renegosiasi kontrak."
Namun Luky Eko Wuryanto, Deputi Kementerian Koordinator Perekonomian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, membenarkan ada surat yang dilayangkan GDF Suez kepada Hatta Rajasa. "Mereka minta bantuan. Saya pikir itu oke-oke saja," katanya.
GDF Suez, kata Luky, menilai tak ada pihak lain yang dianggap independen sehingga meminta bantuan pemerintah pusat. Saking seriusnya masalah itu, Duta Besar Prancis untuk Indonesia, Philippe Zeller, pun pernah menemui Hatta. "Pak Hatta sudah biasa menjadi tempat curhat dubes asing," ujarnya.
Luky menegaskan, pemerintah pusat berhati-hati menyikapi proses renegosiasi kontrak PAM Jaya dan Palyja. Renegosiasi menjadi persoalan yang harus diselesaikan sesuai dengan adat bisnis. "Jika tidak ada kemajuan dalam perundingan, baru diambil alih pemerintah pusat," ujarnya.
Ihwal implementasi perjanjian kerja sama yang sangat merugikan PAM Jaya, menurut Luky, itu menjadi risiko bisnis. Sebab, saat perjanjian itu diteken pada 1997, kedua belah pihak sama-sama sepakat. "Yang penting sekarang mencari pihak yang mampu bekerja profesional dalam mengawal renegosiasi," katanya.
Menurut Luky, seperti isi surat yang disampaikan Mestrallet, GDF Suez siap menggelar renegosiasi kontrak. "Tapi, sebelum mengubah perjanjian, mereka minta PAM Jaya menyelesaikan kewajiban lebih dulu, seperti mencairkan rekening tagihan tunggakan."
Sengkarut kontrak antara PAM Jaya dan Palyja mengundang Badan Pemeriksa Keuangan ikut turun tangan. Mereka sudah mulai mengaudit Palyja dan hasilnya diperkirakan bisa dibuka dalam waktu dekat. "Kami optimistis Palyja akan melunak dan kerugian rakyat bisa diminimalkan," ujar sumber Tempo di lembaga audit negara itu.
Bobby Chandra, Amandra Mustika Megarani, Eka Utami Aprilia
Mampatnya Perundingan Air Ledeng
Upaya renegosiasi kontrak pengelolaan air mengalir lancar antara PT PAM Jaya dan PT Aetra Air Jakarta. Sebaliknya, proses perundingan ulang dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) menemui jalan buntu.
30 April 1977
Pemerintah Jakarta membentuk Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya) di akhir masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin.
6 Juni 1997
Pemerintah memprivatisasi perusahaan air minum dengan mengundang PT Thames PAM Jaya, sayap bisnis perusahaan air asal Inggris, RWE Thames; dan Suez Lyonnaise des Eaux, juragan air asal Prancis. Perjanjian kerja sama berlangsung selama 25 tahun hingga 2022. Berlaku efektif sejak 1 Februari 1998.
17 Juli 1998
PT Garuda Dipta berubah menjadi PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dengan 100 persen saham dimiliki Suez Lyonnaise, yang bersalin menjadi Suez Environment. Palyja kemudian menjual 49 persen saham kepada PT Astratel Nusantara, anak usaha PT Astra International Tbk.
22 Oktober 2001
Perjanjian kerja sama direvisi. Salah satu perubahan adalah pembentukan badan pengatur. Badan independen ini antara lain berfungsi mengawasi kesesuaian antara kenaikan tarif dan layanan operator.
24 Desember 2004
PAM Jaya menyerahkan mandat pengelolaan air di wilayah sebelah barat Kali Ciliwung kepada PT Palyja sebagai kelanjutan revisi kerja sama pada 2001. Pada 7 Oktober 2005, PAM Jaya juga sepakat menyerahkan pengelolaan wilayah timur Kali Ciliwung kepada PT Thames Jaya.
28 September 2006
Konsorsium Acuatico Pte Ltd, yang terdiri atas Recapital Advisors (perusahaan milik Sandiaga Uno) dan Glendale Partner Indonesia, memboyong 95 persen saham PT Thames Jaya. Sisanya dikuasai PT Alberta Utilities, anak usaha PT Bakrieland Development Tbk milik keluarga Bakrie. Pada April 2008, PT Thames Jaya berubah menjadi PT Aetra Air Jakarta.
23 Januari 2009
Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Jakarta merekomendasikan PAM Jaya merevisi perjanjian kerja sama dengan Palyja sehingga harga air menjadi wajar. Harga air swasta pada 2008 sebesar Rp 7.020 dianggap memberatkan warga.
11 Juni 2009
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Jakarta meminta Badan Regulator Pelayanan Air Minum Jaya, PAM Jaya, dan PT Palyja mengoreksi asumsi yang digunakan sehingga harga air swasta untuk periode 2008-2012 menjadi Rp 4.662,16 per meter kubik.
7 Mei 2010
Bekas Kepala Dinas Perindustrian dan Energi Jakarta, Maurits Napitupulu, diangkat menjadi Direktur Utama PAM Jaya menggantikan Hariyadi Priyohutomo di tengah kekecewaan sebagian warga Jakarta yang mengalami krisis air berhari-hari.
18 Agustus 2010
Palyja mau renegosiasi asalkan tarif naik rata-rata 8 persen tiap tahun dan pembayaran pinjaman ke Bank Dunia sekitar Rp 1 triliun harus ditanggung PAM Jaya.
13 Mei 2011
Palyja mengusulkan renegosiasi hal teknis, seperti pertumbuhan pelanggan, penurunan kebocoran, dan meminta audit dari konsultan internasional. Namun PAM Jaya meminta perubahan hal mendasar, seperti perombakan hak dan kewajiban masing-masing pihak, keseluruhan pendanaan, serta peran pengawas penyedia air minum. Negosiasi menemui jalan buntu.
5 Agustus 2011
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengundang Direktur Utama Maurits Napitupulu untuk menyampaikan persoalan yang dihadapi PAM Jaya sebagai akibat pelaksanaan kerja sama.
26 Agustus 2011
BKPM melakukan mediasi antara PAM Jaya dan PT Palyja. Mediasi mengundang perwakilan dan direksi dari kedua belah pihak. Namun tidak muncul hasil penting.
15 September 2011
PAM Jaya mengancam mengajukan gugatan perdata terhadap PT Palyja dengan bantuan Kejaksaan Agung selaku pengacara negara. Gugatan ini terkait dengan perjanjian kerja sama yang dinilai tidak adil sehingga PAM Jaya berpotensi memiliki utang hingga Rp 18,2 triliun pada 2022.
23 Desember 2011
Bekas Direktur Teknik PAM Jaya Sri Widayanto Kaderi diangkat menjadi Direktur Utama PAM Jaya menggantikan Maurits Napitupulu.
Naskah: Bobby Chandra
Sumber: Berbagai Sumber
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo