Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelopak dia yang melihat untuk sejuta mata tertutup sudah. Sorot matanya yang tajam takkan lagi melahirkan karya-karya foto yang jeli dalam mengupas kejenakaan hidup.
Mat Kodak—demikian julukan populer bagi fotografer kawakan Ed ZoelÂverdi—kembali ke Sang Khalik pada Rabu pukul 02.00, 4 Januari lalu, setelah menderita sakit berkepanjangan. Ed meninggal dua bulan delapan hari sebelum ulang tahunnya yang ke-69.
Dengan kepergiannya, seolah-olah berakhir sudah sebuah bab penting (tapi sering terlewatkan) dalam perjalanan jurnalistik Indonesia. Bersama sejawat sekaligus pesaingnya, Kartono Riyadi (almarhum) dari Kompas, Ed adalah tokoh utama yang telah mengubah bagaimana kita melihat, mengabadikan, serta menyampaikan berbagai peristiwa di sekitar kita—bahkan hingga hari ini.
Si jangkung Ed, yang belajar fotografi secara otodidaktik pada akhir 1960-an, memulai kariernya sebagai wartawan foto di Harian KAMI, kemudian di majalah Ekspres.
Pada 1971, ia bergabung dengan majalah Tempo, bertepatan dengan suatu perubahan zaman paling menarik dalam perjalanan bangsa ini: Sukarno digantikan rezim Orde Baru.
Pada zaman inilah majalah dan koran mulai melepaskan diri dari peran mereka yang sebelumnya sebagai corong politik partai; zaman ketika redaksi media tak lagi hanya diawaki oleh wartawan-pejuang yang mengalami secara langsung pedihnya penjajahan dan gemuruhnya kemerdekaan macam Mochtar Loebis, B.M. Diah, atau Rosihan Anwar.
Penggantinya adalah para penyair, pelukis, seniman teater, dan mahasiswa aktivis yang lebih akrab dengan persoalan pergolakan jiwa dan kebebasan berekspresi.
Pembaruan yang sama terjadi di redaksi fotografi Tempo. Sebelum Ed, para fotografer dari Indonesia Press Photo Service, Antara, dan Berita Film Indonesia telah berjasa merebut fotografi dari pengaruh kolonialisme. Di tangan mereka, manusia Indonesia bukan lagi sosok tak bernama dan beraut muka kosong yang berjongkok di kaki tuan-tuan kulit putih. Untuk pertama kalinya mereka tampil tegap, bersemangat, gembira, bahkan berdesak-desakan di samping para pemimpinnya.
Mereka boleh jadi mengubah cara bangsa ini memandang dirinya. Namun, sebagai kantor berita, mereka cuma memproduksi gambar; mereka tak kuasa menentukan bagaimana karya-karyanya muncul di koran atau majalah.
Ed—yang pernah berguru kepada pelukis Nashar dan Oesman Effendi, dan pernah bekerja sebagai petugas tata letak, bekerja erat dengan pemimpin redaksi Goenawan Mohamad serta tim artistik Tempo—mengubah bagaimana pencitraan itu kemudian disampaikan. Pendekatannya ini kemudian dirangkum dengan sangat baik dalam bukunya, Mat Kodak, Melihat untuk Sejuta Mata (Grafiti Pers, 1985)
Maka, sementara para fotografer zaman revolusi berjuang di front, medan tempur para fotografer, wartawan tulis, dan tim artistik zaman Ed adalah halaman cetak. Gambar, garis, tipografi, tata letak, kata-kata, dan kadang kala warna adalah senjata mereka. Penggabungannya menjadi bagian dari cara bertutur yang luwes, tak sekadar menyampaikan fakta atau kritik, tapi terutama untuk menciptakan kesan mendalam.
Kerusuhan Malapetaka Lima Belas Januari, misalnya, dituangkan dalam sebuah esai foto. Esai berjudul "Huru-hara di Jakarta" (26 Januari 1974) itu tak cuma menampilkan kebrutalan tentara dan perusuh, tapi juga momen-momen jenaka, seperti foto mahasiswa yang berselonjor kecapekan di antara selangkangan tentara. Sebuah berita panjang tentang masa depan musik pop Indonesia ("Bangkitnya Industri di Atas Prestasi", 2 Februari 1974) mempersembahkan setengah halaman foto close-up bibir seksi seorang penyanyi.
Bagi kami, para fotografer muda yang bergabung dengan Tempo pada akhir 1980-an, pencapaian artistik Ed Zoelverdi menjadi sebuah aspirasi tersendiri. Meski saat itu kebijakan majalah Tempo yang berkaitan dengan fotografi dan tata artistik seperti sudah berubah 180 derajat. Pak Ed sendiri telah menjadi sosok yang berjarak dan tak banyak bicara.
Namun itulah ironi hidup. Pak Ed telah telanjur membuka sejuta mata kami—mata-mata yang kemudian terus haus mencari, merekam, dan berupaya membuka sejuta mata lainnya, walau mata sang guru sendiri kini sudah tertutup selamanya.
Yudhi Soerjoatmodjo, mantan wartawan dan redaktur foto majalah Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo