Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KECINTAAN Adinda Yuanita, 35 tahun, pada olahraga berkuda terancam dikubur. Jangankan menunggang Zandor, kuda kesayangan yang dibeli lima tahun lalu, untuk berdiri dan berjalan saja dia belum stabil. "Masih mudah lelah. Jarang ke luar rumah," kata Susy Tan, kuasa hukum Adinda, Ahad pekan lalu.
Berkuda sejak usia 8 tahun, Adinda punya mimpi bisa mengibarkan Merah Putih di aneka laga internasional. Tapi undangan berlaga di Piala Dunia Berkuda Rolex, Swedia, 24-28 April lalu, terpaksa tak diambil. Fisiknya belum stabil. Peraih medali emas dan perunggu di SEA Games dua tahun lalu ini harus menunggu empat tahun lagi. Itu juga kalau undangan ikut kualifikasi Piala Dunia Berkuda kembali mampir.
Adinda mulai sadar perubahan drastis tubuhnya pada pertengahan Desember tahun lalu. Dalam tiga pekan, bobotnya naik 15 kilogram. Ini masih ditambah punuk di bagian tengkuk dan pipi yang membengkak (moon face).
Semakin memburuk, ia pingsan beberapa hari sebelum Natal. Pertolongan pertama, keluarga membawanya ke sebuah klinik 24 jam di dekat rumahnya di Cipete, Jakarta Selatan. Dokter jaga hanya menulis "Cushing?" dalam catatan medis. Adinda dirujuk ke ahli endokrin (kelenjar) di Rumah Sakit Pondok Indah. Tak ada obat yang diberikan di klinik itu.
Di rumah sakit, ahli endokrin yang ditemuinya juga tak banyak membantu. Sang dokter menanyakan apakah Adinda mengkonsumsi steroid—zat yang biasa diketahui sebagai doping.
Dokter ahli endokrin itu tak percaya obat yang masuk ke tubuh Adinda sebelumnya hanya Tramal, obat antibengkak, dan Aclasta, suplemen tulang. "Coba kembali ke dokter sebelumnya. Tanya baik-baik, apa benar tidak ada steroid yang diberikan," kata dokter tersebut kepada Adinda.
Dua kali, pada 22 dan 28 Desember, Adinda mendatangi dokter Guntur Eric Luis Adiwati, spesialis tulang Rumah Sakit Sahid Sahirman, Jakarta. Inilah dokter pertama yang ditemui Adinda satu bulan sebelumnya. Ceritanya, ia pernah jatuh pada kejuaraan berkuda, 6 November 2012. Tubuhnya lebam dan lemas serta kepalanya pusing-pusing. Sepekan setelah peristiwa itu, Adinda mendatangi dokter Guntur dan diberi obat.
Namun Guntur tetap mengatakan kepada Adinda dan kedua orang tuanya bahwa obat yang diberikan hanya Tramal dan Aclasta. "Kalaupun ada yang mengandung steroid, hanya sedikit, tidak mungkin sampai menyebabkan ini," ujarnya sembari menatap Adinda, yang berkursi roda.
DUNIA Adinda seakan-akan runtuh pada 14 Januari lalu. Ia kesulitan mencerna kata-kata dokter Sukendro, Direktur Rumah Sakit Sahid Sahirman. Membacakan hasil analisis foto roentgen dari spesialis radiologi dr Rina Safrina, Sukendro menyebut tidak tampak fraktur (retak) apa pun pada tulangnya.
Adinda langsung sadar, analisis dokter Guntur pada kunjungan pertama, 13 November 2012, tidak benar. Analisis Guntur saat itu adalah ada tiga tulang rusuk Adinda yang retak dan tulang ekor yang putus. Analisis dibuat tanpa menunggu analisis dokter radiologi.
Tubuh Adinda mendapat 15 suntikan dan satu botol infus, yang sekarang dipertanyakan kandungannya. Ia disuntik tepat di sekitar tulang yang dianggap bermasalah. Suntikan bertahap diberikan pada 13, 17, dan 20 November 2012, setelah Guntur menyebutkan nyawa Adinda terancam karena rusuk yang patah bisa menusuk paru-paru.
Setelah itu, Adinda ke Singapura. Hingga 18 Januari, ia menyambangi tiga dokter berbeda di klinik dan rumah sakit yang berbeda. Menurut hasil tes Synacthen dan serum ACTH, ketiga klinik menyimpulkan hal sama. Adinda terkena Iatrogenic cushing syndrome—penyakit akibat pemberian steroid dosis tinggi yang menghentikan fungsi kelenjar kortisol dan mengganggu fungsi seluruh hormon.
Delapan hari setelah pulang dari Singapura, Adinda meminta film hasil CT scan, sinar-X, dan salinan rekam medis untuk analisis dokter di Singapura. Tapi Sukendro menolak memberikan dengan alasan seluruh berkas ditahan salah satu Direktur RS Sahid Sahirman.
Mengendus ada yang tidak beres, pada Februari Adinda melaporkan dugaan malpraktek ke Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya. Ia merasa dibohongi karena diberi obat yang salah diagnosis. Adinda tak curiga pada suntikan Tramal. Sebagai atlet, ia mengenal obat itu umum diberikan kepada orang setelah jatuh. Yang jadi persoalan Aclasta. Suplemen tulang itu tidak dijual di rumah sakit dan dokter Guntur memesannya dari Singapura.
Belakangan, dari Badan Pengawas Obat dan Makanan, Adinda tahu bahwa obat yang diinfuskan ke tubuhnya adalah untuk wanita yang sudah menopause guna mengatasi tulang keropos. Obat itu tidak tepat untuk wanita seusianya dan juga bukan penyebab penyakitnya.
Maret 2013, dari kopi kuitansi tagihan rumah sakit kepada PT Asuransi Kesehatan, Adinda tahu penyebab penyakitnya semakin terang. Guntur menagih Askes tidak hanya Tramal, tapi juga Flamicort dan Lidocain. Kopi tagihan langsung dikonsultasikan kembali ke ahli kelenjar di Singapura.
Dari sang ahli, Adinda tahu Flamicort penyebab penyakitnya. Obat yang dibanderol Rp 100-300 ribu ini mengandung triamcinolone acetonide—steroid dalam golongan corticosteroid. Dalam situsnya, produsen obat untuk alergi, rematik, dan penyakit kulit ini sudah memperingatkan pemberian obat secara berlebihan bisa menyebabkan cushingoid. Sedangkan dosis yang diberikan Guntur dua kali lipat melebihi dosis yang diperbolehkan.
Bak tersambar petir, Adinda kembali merasa dibohongi Guntur. "Kalau tahu obat yang diberikan bukan satu, tapi tiga, dan ada efek samping seperti itu, pasti saya tidak mau," ujarnya.
Kadung mangkel, Adinda resmi melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 27 Mei lalu. Ia menganggap RS Sahid Sahirman tak punya iktikad baik selama proses mediasi. Tak pernah ada kata maaf meluncur baik dari mulut dokter Guntur, manajemen, maupun dokter Sukendro. RS Sahid Sahirman memang pernah menawarkan sejumlah uang sebagai jalan damai.
Adinda menggugat dokter Guntur Eric Luis Adiwati sebagai tergugat I, PT Sahid Sahirman Memorial Hospital sebagai tergugat II, dan Direktur RS Sahid Sahirman dokter Sukendro sebagai tergugat III.
Ketiganya digugat mengganti kerugian material Rp 3,95 miliar dan kerugian imaterial Rp 10,25 miliar. Guntur dianggap melanggar Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 yang menyatakan dokter wajib memberikan penjelasan lengkap dan menyeluruh kepada pasien dan mendapat persetujuan pasien sebelum melakukan tindakan medis. Sedangkan Sukendro dan manajemen rumah sakit dianggap lalai dalam pengawasan sehingga menimbulkan perbuatan melawan hukum, seperti tercantum dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sebagai pembuka rangkaian sidang, bulan lalu ketua majelis hakim Iim Nurohim serta dua hakim anggota, Purwono Edi Santosa dan Amin Ismanto, meminta kedua pihak melakukan mediasi. Tak ada kata sepakat seusai tiga kali mediasi dalam persidangan. Rabu pekan lalu, sidang dilanjutkan ke tahap pembacaan gugatan.
Seusai persidangan, kuasa hukum para tergugat, Caesar Aidil Fitri, hanya menyebutkan bahwa tindakan sudah dilakukan sesuai dengan standar operasi. Ia enggan memberi komentar lebih lanjut saat dihubungi Tempo pada Senin pekan lalu. "Nanti saja jawabannya di persidangan selanjutnya," katanya.
Manajemen Rumah Sakit Sahid Sahirman sendiri menyerahkan gugatan Adinda kepada proses hukum. Para anggota staf manajemen dan direksi tidak mau mengungkapkan apakah langkah dokter Guntur sudah sesuai dengan standar operasi. "Permasalahan itu menyangkut rahasia medis pasien yang tidak boleh diungkap sesuai dengan undang-undang," ujar salah satu anggota staf manajemen yang enggan menyebutkan namanya.
Toh, Rumah Sakit Sahid Sahirman tetap memberikan sanksi kepada dokter Guntur. Sejak kasus mencuat, ia tidak lagi diizinkan berpraktek di rumah sakit yang berada di Jalan Jenderal Sudirman ini. Walau bukan dokter tetap, dokter lulusan Negeri Singa ini sebelumnya memiliki jam praktek tetap setiap sore hingga malam hari, mulai Senin hingga Sabtu.
Adinda pun tetap mencari keadilan. Tak hanya menggugat secara perdata dan pidana, ia juga melaporkan dugaan malpraktek yang dialaminya ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Mencari keadilan dan rutin berobat, itu saja rutinitas kegiatan ibu dua anak ini sekarang. Jangankan bekerja atau melatih kuda, bermain dengan anak bungsunya yang masih duduk di taman kanak-kanak pun menjadi kesempatan langka. Tapi Adinda masih memendam asa: berharap kembali ke laga olahraga berkuda.
Aryani Kristanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo