PEMEGANG Hak Pengusaha Hutan (HPH) kini tidak bisa dibilang
"kebal" tindakan penertiban seperti dulu lagi. Pemerintah,
pertengahan bulan lalu mengancam akan mencabut 127 HPH --
tindakan besar-besaran pertama kali yang pernah diumumkan.
Pasalnya: mereka tidak mempunyai perencanaan produksi, tidak
melakukan peremajaan hutan, tidak punya tapal batas, dan
dianggap tidak mampu membangun industri pengolahan kayu.
Sebelum menerima vonis pencabutan, pemegang HPH mendapat
peringatan 3 kali, masing-masing berjarak 30 hari. "Bila sampai
Oktober nanti pemegang HPH itu tidak melakukan perubahan, tetap
akan dicabut," kata Dirjen Kehutanan Soedjarwo seusai
pembicaraan dengan Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI) 4
Agustus. Kecuali itu, pemerintah kini juga tengah meneliti 257
HPH yang dianggap "punya masalah". Dari 500 HPH, hanya 130 buah
yang dinilai "lulus" dan bisa terus berproduksi.
Gebrakan pemerintah ini membuat pemegang HPH yang sebelumnya
jarang mendapat teguran -- terutama ketika mereka menikmati
zaman emas ekspor kayu gelondongan -- menjadi waswas. Sebuah
delegasi MPI dipimpin ketuanya, Sukamdani S. Gitosardjono,
menemui Dirjen Kehutanan Soedjarwo. Organisasi yang membawahkan
pemegang HPH itu berpendapat, jangka waktu peringatan selama 3
bulan terlalu sempit untuk membenahi 127 HPH yang diancam
pencabutan massal itu. Dalih utama pemegang HPH ialah resesi
dunia yang tidak memungkinkan mereka mengusahakan hutan.
Di tengah kecemasan pemegang HPH yang terancam gulung tikar,
angka devisa dari ekspor kayu akan kelihatan agak melegakan.
"Volume dan nilai ekspor kayu olahan yaitu kayu lapis sampai
kuartal pertama 1982 cukup menggembirakan," kata Menteri
Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro seusai Sidang Kabinet
Ekuin di Bina Graha Rabu lalu. Dibandingkan periode yang sama
pada 1981, volume ekspor naik 59,2% atau dari 179,9 ribu ton
menjadi 286,4 ribu ton. Devisa yang didapat meningkat 73,6% dari
US$ 47,8 juta menjadi US$ 83 juta.
Sebaliknya ekspor kayu gelondongan menurun dalam 2 tahun
belakangan. Kayu gelondongan yang diekspor pada kuartal pertama
sebesar 2.723 ribu ton (IS$ 337,5 juta) merosot menjadi 1.
027,5 ribu ton (US$ 126,5 juta). Penurunan nilai dan volume
ekspor kayu gelondongan sekitar 62% itu, kata Radius, "sejalan
dengan kebijaksanaan pemerintah dalarn mendorong industri kayu
dalam negeri dan penurunan ekspor kayu gelondongan."
Agaknya, kebijaksanaan yang dimaksud Radius adalah Surat
Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri (Pertanian, Perindustrian
dan Perdagangan) 8 Mei 1980. Dalam keputusan itu, pemerintah
membatasi izin ekspor kayu gelondongan dengan mewajibkan
penyisihan untuk kebutuhan dalam negeri. Keran ekspor kayu
gelondongan disempitkan lagi dengan SKB empat Dirjen: Kehutanan,
Aneka Industri, Perdagangan Dalam Negeri, dan Perdagangan Luar
Negeri 22 April 1981. Hanya pemegang HPH yang sudah punya
industri kayu dengan inti kayu lapis -- yang berhak mendapat
insentif mengekspor kayu gelondongan. Pemerintah memberi
ancar-ancar, ekspor kayu gelondongan ini akan berakhir 1985.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini