Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tak Sekadar Menjual Cepat

PPA ingin penjualan Bank Permata langsung menghasilkan dana segar. Bulan madu dengan presiden baru.

10 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARU Oktober tahun silam diguncang pembobolan fantastis Rp 1,7 triliun, kini PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BNI) sudah merasa percaya diri membuat lompatan. Manajemen bank yang 99,12 persen sahamnya dikuasai pemerintah itu tengah menyiapkan energi, karena pekan-pekan ini usul mereka menggabungkan PT Bank Permata Tbk. ke dalam BNI akan diputuskan.

Sinyal kuat ke arah itu diberikan juragan BNI, yakni Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Laksamana Sukardi. Sesaat sebelum pertemuan dengan Menteri Keuangan Boediono, Kamis pekan lalu, Laksamana mengatakan kajian yang sampai padanya mengisyaratkan divestasi akan memberikan nilai lebih jika dilakukan setelah merger.

Sumber TEMPO di Kementerian Negara BUMN bahkan berani memastikan, keputusan Laksamana tak akan bergeser dari yang sudah direkomendasikan deputinya di bidang privatisasi, Mahmuddin Yasin. Mereka akan menerima usul Direktur Utama BNI, Sigit Pramono, dan wakilnya, Arwin Rasyid, pada 22 April lalu. Dalam proposalnya Sigit menyampaikan, BNI telah melakukan serangkaian kajian akan kemungkinan merger tersebut.

BNI menilai proses merger ini sebagai satu alternatif untuk mengembangkan bank nasional, seperti rancangan yang dibuat Bank Indonesia melalui arsitektur perbankan Indonesia, yang diluncurkan awal tahun ini. Sebagai sesama bank pemerintah, BNI mengajukan pola pertukaran saham (share swap) sebagai cara pembayaran dalam proses tersebut.

Di sinilah persoalan muncul. Cara pembayaran model begini rupanya kurang "berkenan" bagi Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Mohammad Syahrial. Padahal, di bawah kendali Boediono, perusahaan inilah yang kini mewakili pemerintah sebagai pemegang 97,66 persen saham Permata, setelah mewarisinya dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang tutup 27 Februari lalu.

Syahrial lebih suka langkah penggabungan dua bank itu dilakukan lewat proses akuisisi oleh BNI. Dengan demikian berlaku transaksi jual-beli yang melibatkan uang tunai sebagai pembayaran yang akan diterima pemegang saham Permata. Bila usul Sigit yang diikuti, pemerintah tak akan segera merasakan manfaatnya, dan harus menunggu keuntungan yang didapat dari hasil merger.

Proses penggabungan kultur dua perusahaan, sampai bisa diharapkan mampu meningkatkan kinerja, juga pasti memakan waktu cukup lama. "Pertukaran saham merupakan langkah mundur," kata Syahrial. Pertimbangan lain yang diajukan Syahrial, siapa pun yang berniat meminang Bank Permata semestinya tetap dilakukan melalui mekanisme divestasi.

"Jadi, siapa pun yang mau merger dengan Bank Permata harus membayar dulu ke pemerintah," katanya. Apalagi, terkait dengan rencana divestasi itu, sejak pekan lalu PPA sudah bersiap mengundang penasihat keuangan dan penasihat hukum, untuk selanjutnya melakukan tender untuk memilih para penasihat tersebut.

Ada beberapa pilihan model penjualan yang bisa ditempuh proses divestasi ini. Pertama, menggunakan pola yang sudah disetujui secara prinsip oleh DPR, yakni 51 persen saham dijual ke investor strategis dan 20 persen lagi dilepas melalui pasar modal ke investor terpilih (market placement). Kedua, 71 persen saham Bank Permata dijual secara langsung kepada investor strategis dengan harga premium. Ketiga, pemerintah melepaskan seluruh saham yang dimilikinya sebesar 97,66 persen kepada investor dengan harga superpremium.

Harapan mantan deputi ketua di BPPN ini, hasil penjualan saham pemerintah itu nantinya bisa dipakai membeli kembali obligasi rekap di Permata, yang nilainya mencapai Rp 10 triliun. Dengan bunga rata-rata 12 persen, paling tidak anggaran negara bisa lebih ringan Rp 1,2 triliun tiap tahun jika harapan itu terwujud. Lumayan: separuh dari jumlah ini saja sudah cukup untuk menutup kekurangan dana pembangunan jalan lintas selatan Jawa sepanjang 209 kilometer, yang kini sedang dibangun pemerintah.

Tapi benarkah usul BNI untuk bertukar saham tak membawa untung bagi pemerintah? Sigit mengatakan, yang dibutuhkannya pada saat ini hanyalah waktu untuk duduk bersama Syahrial dan memberikan penjelasan. Ia yakin Syahrial akan berubah pikiran, karena pemerintah justru akan mendapat manfaat jauh lebih besar dengan menggabungkan Permata ke BNI terlebih dahulu, sebelum menjualnya. "Rencana divestasi 30 persen saham BNI tetap jalan. Tapi nantinya merupakan saham dari bank gabungan itu," katanya.

Sigit tak mengelak bahwa penggabungan dua bank seperti ini juga mengandung risiko. Ia mengaku memahami kekhawatiran atas kemungkinan terjadinya benturan budaya dari kedua perusahaan, larinya nasabah, atau keluarnya karyawan yang merasa tak nyaman dengan lingkungan baru. "Risiko begini selalu ada, tapi bukan tidak mungkin diatasi."

Sebaliknya, Sigit menambahkan, dari sisi bisnis penggabungan ini akan membuat kedua bank saling melengkapi. BNI yang lebih pada pemberian kredit korporasi bisa dilengkapi dengan Bank Permata, yang terfokus pada pemberian kredit konsumer dan menengah. "Bank yang bergerak di kredit menengah memiliki price to book value yang lebih baik," katanya.

Perhitungan lain diberikan oleh Dradjad H. Wibowo, ekonom mantan komisaris BNI yang kini menjadi calon legislator. Menurut Dradjad, dengan modal per Desember 2003 sebesar Rp 10 triliun dan aset senilai Rp 133 triliun, BNI merupakan bank pemerintah terbesar kedua setelah Bank Mandiri. Jika merger dengan Permata, yang memiliki modal Rp 1,7 triliun dan aset Rp 28,9 triliun, jelas nilai BNI akan jauh lebih besar.

Pemerintah juga tak terlalu perlu menerima uang tunai, kalau kepentingannya untuk membeli kembali obligasi rekap di Permata. Sebab, obligasi itu tetap akan berkurang melalui pola pertukaran saham yang ditawarkan BNI. "Sama saja itu buy back, hanya caranya dengan menukar saham milik pemerintah. Pemerintah tetap akan menghemat beban bunga," Dradjad menjelaskan.

Sikap PPA yang selalu ingin mendapat uang tunai dalam waktu cepat itu dinilai mirip dengan BPPN. "Maunya menjual cepat, meskipun dengan harga murah," kata Dradjad. Ia menduga, hal ini lebih didorong oleh kepentingan jangka pendek Departemen Keuangan untuk mendapatkan uang guna menutup anggaran negara. "Mereka mengejar uang tunai lewat cara ini, di tengah keraguan Departemen Keuangan untuk mendapatkan dana segar melalui penerbitan surat utang jangka pendek (T-bills)," katanya.

Lalu apa kata DPR, yang nanti akan dimintai restu dalam soal ini? Wakil Komisi Keuangan dan Perbankan, Paskah Suzetta, agaknya sependapat dengan Dradjad. Wakil Fraksi Partai Golkar ini mengharapkan pemerintah tidak melihat jumlah uang yang mungkin diterimanya sekarang, tapi lebih mempertimbangkan peluang pertambahan nilai melalui makin kuatnya struktur modal BNI. "Ada waktunya untuk mendapat dana segar, tidak harus sekarang," katanya.

Waktu yang tepat untuk menuai hasil itu, dalam perkiraan Dradjad, adalah sekitar Oktober mendatang. Jika September nanti Indonesia sudah memiliki presiden baru, Oktober akan merupakan masa bulan madu yang biasanya menumbuhkan sentimen positif para investor. Sentimen menguntungkan ini akan menjadi dobel kalau proses merger berjalan mulus. "Itulah masa paling tepat untuk menjual BNI."

Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus