Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI negeri ini, fungsi lender of the last resort ternyata bukan hanya monopoli bank sentral. Peran bandar penalang dana terakhir juga dipegang perusahaan pelat merah. Pemainnya? Siapa lagi kalau bukan PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Sebagai pengelola jaminan sosial untuk para pekerja swasta, Jamsostek ibarat celengan superpadat. Pada akhir tahun lalu, dana kelolaannya mencapai Rp 26 triliun.
Selama ini, peran sebagai lumbung dana taktis itu hanya tersiar di kalangan keuangan. Dua tahun lalu, misalnya, lembaga ini disebut-sebut membantu menyelamatkan program divestasi PT Indosat Tbk. Kala itu, yang berminat membeli saham Indosat jauh di bawah target, sehingga Jamsostek diminta Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) "memborong" agar program divestasi berjalan lancar.
Direktur Utama Jamsostek, Achmad Djunaidi, tak secara tegas membantah soal ini. "Enggak ada permintaan dari Kementerian BUMN. Itu murni investasi dan sudah kami jual lagi," katanya pada suatu kesempatan. Memang sulit membedakan program penyelamatan atau bukan, jika sudah dikemas dalam bentuk "investasi". Tapi, dari segepok data yang diterima TEMPO pekan lalu, ada aksi penyelamatan yang dilakukan dengan gamblang.
Data itu menunjukkan, Jamsostek mengguyurkan uang lebih dari Rp 20 miliar untuk melonggarkan napas Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD) pada pertengahan tahun lalu. Kementerian BUMN juga mengakuinya. "Kami melakukan incorporated. Kalau orang susah, harus dibantu, dong," ucap Ferdinand Nainggolan, Deputi Menteri Negara BUMN, yang menginduki PPD, ketika dimintai konfirmasi.
Kerja sama antarperusahaan pelat merah tentu patut dipuji. Tetapi, jika mencermati setumpuk korespondensi selama Maret 2003 hingga Oktober 2003 yang menyangkut "sinergi" kedua perusahaan, kesan pengelolaan uang Jamsostek yang berantakan semakin jelas.
Sedikit menoleh ke belakang, setahun silam, kantong perusahaan pemilik bus berlogo Monas itu sedemikian kering, hingga gaji karyawan selama Januari sampai April pun ditunggak. Maka ribuan karyawan ramai-ramai mogok kerja untuk berunjuk rasa di depan Kantor Departemen Perhubungan.
Selama bertahun-tahun, PPD beroperasi dalam situasi hidup segan mati tak mau. Jumlah armada menyusut dari rata-rata 700 menjadi 400 bus yang dapat digunakan per harinya. Di sisi lain, dengan jumlah karyawan 5.280 orang, PPD dibebani biaya gaji Rp 5,8 miliar. Jumlah ini menyedot hampir 80 persen pendapatan PPD, yang hanya Rp 7 miliar per bulan. Setelah dikurangi biaya lain, kerugian operasional yang harus ditanggung setiap bulan sekitar Rp 4 miliar.
Untuk menyehatkan PPD, manajemen berupaya mencapai rasio operasi bus yang ideal, yaitu 1:5. Maksudnya, hasil operasi satu bus menanggung biaya gaji lima karyawan. Rasio ideal ini jauh di atas situasi PPD yang teramat sesak, yaitu 1:11. Ada dua jalan yang ditempuh untuk mencapai rasio ideal. Pertama, pemangkasan jumlah karyawan. Jumlahnya dipatok paling banyak 3.000 orang. Kedua, penambahan armada secara bertahap hingga 500 bus.
Namun, hitung-hitungan tetap tinggal di atas kertas. PPD kesulitan menjalankan kedua agenda ituhingga hari ini. "Bagaimanapun, tidak ada restrukturisasi yang tidak membutuhkan dana," ujar Safrudin Dahlan, Kepala Divisi Hukum dan Hubungan Masyarakat PPD. Untuk merampungkan agenda rasionalisasi saja, dibutuhkan uang minimal Rp 116 miliar.
Program penyehatan itu telah disetujui DPR dan sejumlah departemen pada Maret tahun lalu. Namun, belum lagi modal restrukturisasi terkumpul, PPD sudah kehabisan likuiditas untuk melunasi gaji karyawan. Dalam rapat yang digelar pertengahan April tahun lalu di Departemen Tenaga Kerja, Menteri Perhubungan, Menteri Negara BUMN, dan Serikat Pekerja PPD sepakat menyelesaikan kemelut keuangan dengan meminjam dana talangan dari Jamsostek. Secara bersamaan juga akan dilakukan penjualan aset untuk menyehatkan keuangan.
Dana talangan dikucurkan dengan cara: PPD menjual surat utang berjangka menengah atau lazim disebut MTN (medium term notes), ke Jamsostek. Niat ini tertuang dalam surat direksi ke Jamsostek pada 10 April 2003. MTN yang akan dijual Rp 198 miliar, kemudian dinaikkan menjadi Rp 200 miliar.
Permohonan utang dari perusahaan yang tak mampu membayar gaji pegawainya itu langsung direspons oleh Jamsostek. Dalam waktu satu pekan saja, divisi riset investasi Jamsostek mengeluarkan rekomendasi ke direktur utama untuk pembelian MTN senilai Rp 200 miliar. MTN itu dijamin oleh aset berupa tanah di Kalideres dan Ciracas, serta empat depo yang tersebar di Cakung, Kedaung, dan Cililitan. Nilai jual obyek pajak tanah 377.676 meter persegi plus bangunan 21.682 meter persegi itu Rp 261,9 miliar.
Belakangan, rencana penerbitan MTN terganjal kelengkapan dokumen hukumsertifikat tanah dan izin mendirikan bangunanaset yang dijaminkan. Apalagi Badan Pemeriksa Keuangan dan DPR selama dua tahun telah menjewer Jamsostek karena melakukan investasi pada beberapa MTN.
Rencana penyelamatan pun diubah. Aset berupa tanah dan bangunanyang semula dijadikan jaminan pelunasan MTNditawarkan untuk dibeli langsung oleh Jamsostek. Kali ini kebutuhan tunai yang diajukan Rp 35,7 miliar. Aset yang dijajakan adalah tanah dan bangunan yang merupakan Kantor Pusat PPD di kawasan Halim, Jakarta Timur, yang memiliki nilai jual obyek pajak (NJOP) Rp 32,2 miliar.
Skema jual-beli ini juga tak berjalan mulus. Dalam memo intern kepada Direktur Utama Jamsostek tertanggal 21 Mei 2003, kepala tim pembelian, Henriarso, menyebut beberapa hal yang masih perlu dibereskan, seperti izin dari dewan komisaris. Izin ini penting karena menyangkut penambahan anggaran investasi di sektor properti. Anggaran investasi properti Jamsostek tahun lalu, Rp 49 miliar, telah tersedot untuk pembelian tanah di Jalan Gatot Subroto.
Ketika PPD semakin gonjang-ganjing, persetujuan akhirnya turun dari Dewan Komisaris Jamsostek. Namun mereka mengajukan syarat: tanah dan bangunan yang dibeli dilengkapi sertifikat. Payung untuk transaksi kian tebal setelah Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi memberikan persetujuan pada 2 Juni tahun lalu.
Nilai transaksi disepakati Rp 34,2 miliar, dilunasi dalam tiga tahap. Tahap pertama berupa uang muka Rp 20,3 miliar, yang telah dibayar Jamsostek pertengahan tahun lalu. Uang inilah yang digunakan melunasi tunggakan gaji para pegawai. Cicilan berikutnya, Rp 7 miliar, dibayar pada saat akta jual beli ditandatangani. Sisanya dilunasi setelah sertifikat tanah atas nama Jamsostek muncul.
Belakangan terungkap, bangunan dan tanah Kantor Pusat PPD di Halim, yang disebut sebagai obyek jual-beli, tak memiliki dokumen lengkap. Maka dicantumkanlah klausul tambahan: seandainya sertifikasi tanah di Halim gagal, aset yang dilepas adalah tanah (67.875 meter persegi) berikut bangunan di Ciputat.
Cacat lain transaksi ini adalah aset PPD tak pernah dinilai oleh pihak ketiga. Harga jual-beli akhirnya disepakati berdasarkan NJOP aset yang bersangkutan. Itukah yang menyebabkan transaksi jual-beli tak kunjung kelar hingga kini, setahun setelah nota kesepahaman jual-beli ditandatangani? "Transaksi itu sama saja seperti investasi properti lainnya," kata Direktur Investasi Jamsostek, Samuel Tobing. "Yang belum selesai hanya masalah teknis."
Mudah-mudahan Samuel benar: ini hanya investasi biasa dan menguntungkan. Sebab, jika tidak, nasibnya bisa seperti investasi Jamsostek lain yang akhirnya justru merugikan, seperti MTN yang diterbitkan Sapta Prana Jaya, Volgren, Surya Indo, dan Hati Prima Persada (TEMPO, 26 April-2 Mei 2004).
Lagi pula, masih ada yang lebih penting dan tak boleh dilupakan. Meski Jamsostek perusahaan milik pemerintah, "Uang yang dikelolanya itu milik buruh," kata Atika Karwa, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronika dan Mesin, sekaligus Ketua Harian Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.
Thomas Hadiwinata, Adek (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo