Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Abu Ghuraib

10 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada yang ganjil sebenarnya yang terjadi di Penjara Abu Ghuraib, Bagdad: di bui tempat prajurit Irak yang kalah perang disekap, yang menang dan yang kuat merayakan kekuasaannya, dengan riang, dengan brutal, di atas tubuh yang tak lagi berdaya.

Mari kita simak foto yang kini tersebar di seluruh dunia itu. Foto pertama: seorang tawanan perang Irak telanjang bulat melata di tanah, dengan leher yang diikat seutas kendali. Seorang prajurit perempuan Amerika dari Kompi 372 Polisi Militer memegang ujung kendali itu, seakan-akan sedang menyeret binatang aneh. Foto kedua: beberapa tawanan, dicopot seluruh pakaiannya, disusun bertimbun seperti ban mobil bekas, dan dipotret. Laporan tertulis menyatakan bahkan ada tahanan yang dipaksa masturbasi di depan para tahanan lain….

Apa boleh buat. Perang telah terjadi di Irak, dan perang pada akhirnya memang kebrutalan yang dihalalkan, yang melahirkan si kalah dan si menang. Perang adalah sebuah pertaruhan di mana, dalam bentuknya yang ekstrem, si menang berarti hidup dan si kalah mati. Para tahanan Irak di Penjara Abu Ghuraib itu adalah makhluk yang bisa dianggap sebagai ban bekas atau hewan jeratan. Sebagaimana manusia "mati", mereka bisa berbuat apa?

Pertanyaan itu bisa juga diarahkan ke luar Abu Ghuraib. Perang Irak seluruhnya adalah sebuah statemen bahwa berjuta-juta manusia di dunia telah dipergoki dengan pertanyaan: mereka bisa berbuat apa? Tatkala negeri dengan persenjataan paling dahsyat di muka bumi itu berniat menaklukkan Bagdad, kehendaknya pun jadi, meskipun jutaan manusia menentangnya. Amerika tak perlu menjelaskan alasannya. Ia tak perlu minta maaf ketika alasannya ternyata keliru. Ia tak perlu mempertanggungjawabkan gempuran senjatanya ke Irak, dan kerusakan dan kematian yang terjadi, kepada siapa pun, kecuali kepada dirinya sendiri.

Ia tak perlu takut. Sebab, siapa diri sendiri itu? Sebuah wajah yang hampir sepenuhnya demam oleh patriotisme. Sering demam itu tak jelas lagi batasnya dengan "jingoisme", ketika rakyat tampak menghargai prestasi perang (war records) dan bukan prestasi perdamaian (peace records) para pemimpin. Mereka bertepuk tangan melihat Presiden Bush muncul dalam baju pilot pesawat tempur….

Patriotisme, apalagi "jingoisme", adalah langkah pertama menyisihkan orang lain. Dari sini juga datang "kekecualianisme". Kata American exceptionalism memang diperkenalkan oleh Alexis de Tocqueville pada pertengahan abad ke-19, tapi kini ia menemukan ekspresinya yang lain: apa yang dianggap pantas dan tak pantas, yang berlaku untuk masyarakat internasional, tak harus diakui oleh Amerika Serikat. Di Abu Ghuraib seorang prajurit yang terlibat dalam penyiksaan tahanan mengaku tak pernah diajari aturan Konvensi Jenewa.

Tapi bukan cuma itu yang diabaikan. Sebelum di Abu Ghuraib, Amerika telah menampik ikut bergabung dalam Mahkamah Pidana Internasional. Ia juga menolak menandatangani perjanjian larangan pemakaian ranjau darat yang diikuti oleh 137 negeri; ia tak mau ikut dalam kesepakatan internasional mengenai senjata biologis yang diratifikasi oleh 413 negeri.

Negeri ini ingin, dan memang bisa, menentukan bahwa dirinya adalah sebuah kecuali. Makin lama ia makin membenarkan kata-kata Carl Schmidt, pemikir Nazi itu: "Yang berdaulat adalah ia yang menentukan kekecualian."

Kekecualian berarti kebebasan penuh. Tapi kebebasan itu untuk diri sendiri—bukan untuk yang lain.

Betapa aneh, sebenarnya, jika itulah yang terjadi. Sebab, Amerika Serikat, sebuah negeri yang berdiri dengan sebuah ide yang justru tak menghendaki ada "kecuali"—sebuah ide dengan semangat universalis, yakni menjunjung hak untuk merdeka bagi semua orang, bagi semua bangsa. Saya ingat pada tahun 1955. Ketika ia membuka Konferensi Asia-Afrika, Bung Karno mengutip sebuah sajak Longfellow tentang Paul Revere—seorang pejuang yang naik kuda tengah malam untuk membangunkan bangsanya agar siap berperang untuk kemerdekaan. Sejarah Amerika Serikat seakan-akan sejarah kita semua.

Kini betapa jauh, betapa ganjil. Semangat universalis yang ingin membuat Amerika Serikat bagian dari sebuah dunia yang merdeka sekarang justru bertaut dengan semangat yang ingin membuat negeri itu berada di luar—bahkan bila perlu dengan mengorbankan kemerdekaan yang universal, sebab kini pun, atas nama patriotisme, ada niat menghalalkan sensor dan tak mematuhi asas peradilan yang bebas.

Tapi memang begitulah agaknya nasib ketiga revolusi besar dalam sejarah. Revolusi Prancis akhirnya melahirkan kediktatoran, dan setelah itu: supremasi Prancis. Revolusi Rusia pada gilirannya melahirkan Stalin, dan dengan Stalin, "internasionalisme" akhirnya hanya wadah pengaruh Rusia. Revolusi Amerika juga tak berbeda jauh dari nasib pola tragis itu: ia yang ingin menjangkau dunia akhirnya mendekam di diri sendiri.

Mungkin karena pada mulanya adalah niat. Ketika sejarawan Hobswan mengatakan bahwa, bagi orang Prancis, pembebasan negeri mereka "hanyalah cicilan pertama dari kemenangan universal kebebasan", ia sebenarnya menunjukkan paradoks ketiga revolusi besar dalam sejarah. Ketiga-tiganya bertolak dari niat mengubah dunia. Ketiga-tiganya mengandung satu subyek yang berniat, dan ada niat yang berhasil. Dari sini, ada sebuah model awal.

Berangsur-angsur, sang subyek pun identik dengan pusat dan tauladan. Dalam sejarah Amerika, persepsi diri sebagai tauladan ini bergelimang dengan apa yang mutlak, yang luhur, dan yang sukses. "Agama Kristen, demokrasi, Amerikanisme, bahasa dan budaya Inggris, pertumbuhan industri dan ilmu, institusi-institusi Amerika—semua ini campur-aduk dan kacau-balau," tulis H. Richard Niebuhr dalam The Kingdom of God in America. Dalam campur-aduk itu, Amerika Serikat tetap ingin sebagai sebuah kecuali. Terkadang ia mengagumkan, terkadang menggeikan, terkadang menakutkan.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus