Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dugaan aliran dana kampanye dari tambang ilegal menjadi isu yang ramai dibicarakan belakangan ini. Namun Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut hal itu merupakan modus lawas yang kerap digunakan saat menjelang pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pertambangan ilegal dianggap sumber pendanaan politik yang paling efisien, memanfaatkan lemahnya pengawasan, terutama di berbagai titik perbatasan dengan negara tetangga," kata Bhima ketika dihubungi pada Senin, 18 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, kata Bhima, hasil pendanaan dari tambang ilegal sulit dilacak. Sebab, pembayarannya bisa secara tunai hingga melibatkan transfer yang kompleks dengan perusahaan cangkang di negara suaka pajak.
"Biasanya, satu-dua tahun sebelum Pemilu mulai banyak konsensi tambang ilegal yang dibuka," ujar Bhima. "Kalau dulu tambang ilegalnya batu bara dan emas, sekarang banyak di mineral kritis seperti nikel karena permintaan global sedang naik."
Menurut Bhima, perkara tambang ilegal dan aliran dananya ke partai politik atau politikus mestinya bisa dicegah. Pertama, pengawasan tambang harus diperketat dengan mencocokkan HS Code ekspor dengan data di negara tujuan produk tambang.
Jika ada perbedaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa dilibatkan untuk menelusuri dana hasil tambang ilegal tersebut.
"Pihak yang terlibat harus dihukum pidana maksimum," kata Bhima.
Pencegahan kedua, dengan reformasi pendanaan parpol dan peserta pemilu yang lebih transparan. "Dari mana uangnya, berapa banyak, digunakan untuk apa, harus transparan. Selama belum ada transparansi, karena biaya politik yang mahal, maka celah dana gelap tambang ilegal masih tetap ada," katanya.
Sebelumnya, PPATK mengungkap adanya kejanggalan aliran dana kampanye. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyatakan ada aliran dana kampanye yang bersumber dari tambang ilegal.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah pun mendesak Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu menindaklanjuti laporan PPATK. Ia berujar, laporan itu mengungkap adanya indikasi tindak pidana pencucian uang pada dana kampanye Pemilu 2024.
Herdiansyah mengatakan, pendanaan kampanye dari tambang ilegal merupakan kejahatan sumber daya alam atau green financial crime. "Insting Bawaslu harus kuat, tidak boleh lembek apalagi jika berhadapan dengan kekuasaan dan para pemodal," ucapnya saat dihubungi, Ahad, 17 Desember 2023.
Aturan hukum perihal ini, menurut Herdiansyah, sudah jelas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemilu. Dia mengatakan undang-undang itu mengatur secara eksplisit penggunaan dana kampanye yang bersumber dari kejahatan, merupakan tindak pidana. "Jadi, ini hanya soal komitmen dan keseriusan Bawaslu," ujarnya.
Lebih lanjut, kata Herdiansyah, ketentuan Pasal 339 menyebut peserta pemilu, pelaksana kampanye, dan tim kampanye dilarang menerima dana dari hasil kejahatan, pihak asing, penyumbang yang tidak jelas identitasnya, termasuk dana yang berasal dari pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, pemerintah desa, dan BUMDes.
RIRI RAHAYU | HAN REVANDA PUTRA