Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian besar produsen game lokal yang kini mapan tak pernah mengenyam pendidikan formal. Mengandalkan mesin pencari di jalur maya.
Rokimas Suharyo masih ingat permintaan ibunya ketika ia merintis perusahaan game Touchten, enam tahun lalu. Sang ibu tak percaya bisnis permainan itu mampu memberinya jaminan masa depan, sehingga mendesak Roki tetap mencari kerja kantoran selain menggeluti hobinya. "Padahal waktu itu saya dan kakak saya, Anton Suharyo, sudah mulai serius menggarap Touchten," kata Roki, yang kini mengepalai operasi perusahaan itu, ketika ditemui di kantornya di gedung Thamrin City, Jakarta, Kamis pekan lalu.
Bersama Anton dan sepupu mereka Dede Indrapurna, Roki tak patah semangat. Mereka serius meluncurkan aplikasi permainan berbasis iOS, Sushi Chain. Produk itu mereka bangun dengan modal hadiah uang saku US$ 2.000 dari ayah mereka plus tambahan modal dari Dede, yang saat itu sudah bekerja di IBM. Mereka belajar membangun program permainan berbasis komputer ini secara mandiri melalui berbagai forum di Internet.
Sushi Chain pun meroket menjadi salah satu permainan populer di iOS pada 2009. Game itu diunduh hingga 2 juta kali oleh pengguna iPhone dan iPad melalui iTunes. Popularitasnya menjangkau jauh hingga Amerika Serikat, Eropa, dan Asia. Melihat hal ini, si ibu berbalik menjadi orang yang paling antusias mendukung Touchten. "Dia paling sering bertanya berapa jumlah unduhan yang kami capai," kata pemuda 27 tahun ini.
Touchten merupakan salah satu contoh perusahaan game lokal yang kini sukses menghimpun investasi asing jutaan dolar. Ada juga Agate Studio, Toge Production, Altermyth, dan puluhan nama lain. Pada 2013, mereka membentuk Asosiasi Game Indonesia (AGI) sebagai wadah komunikasi dan pengembangan industri game di Tanah Air.
Seperti halnya Roki dan saudaranya, para pengembang lokal yang kini mapan itu tak pernah mengenyam pendidikan formal soal game. "Bisa dibilang kami belajar di 'Google University'," kata Andrew Pratomo Budianto dari Agate Studio, merujuk pada mesin pencari online terpopuler itu. Mereka praktis mengandalkan guru yang bertebaran di dunia maya melalui berbagai forum dan blog.
Agate pun berhasil membuat Football Saga, permainan sepak bola berbasis jaringan, menjadi kegemaran banyak remaja. Mengusung konsep freemium alias gratis bermain tapi dengan pembayaran untuk mendapatkan item tertentu dalam permainan, perusahaan game asal Bandung ini sukses mendulang ratusan juta rupiah. "Pendapatan terbesar kami justru dari pembelian voucher untuk permainan," kata Andrew, Kepala Bagian Pemasaran Agate.
Kris Antoni dari Toge Production bisa dibilang lebih beruntung dibanding pengembang game lain. Saat memasuki tahun kedua kuliah di Binus International, Kris mengikuti program gelar ganda ke Australia. Kebetulan Murdoch University menawarkan studi games technology. "Saya dan Sudarmin, yang kini menjadi co-founder Toge Production, mengambil kuliah itu," ujar Kris, Ketua Grup Game Developer AGI.
Universitas Bina Nusantara (Binus) memang membuka program aplikasi game dan teknologi. Pada masa studi yang dimulai tahun lalu, Institut Teknologi Bandung, Universitas Multimedia Nusantara, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, dan Politeknik Elektro Negeri Surabaya juga tercatat sebagai perguruan tinggi yang berani membuka jurusan game.
Meski begitu, Andrew Pratomo menganggap kuliah formal di jurusan itu saja tak menjamin seseorang akan mumpuni di bidang ini. Kris Antoni berpendapat sama. Menurut dia, kualitas lulusan jurusan game di sini rata-rata masih tertinggal dibanding alumnus dari jurusan serupa di luar negeri.
Tapi mereka optimistis pada prospek industri game Indonesia, yang menurut catatan AGI sekarang baru bernilai Rp 4 triliun. "Melihat pertumbuhannya, saya yakin Indonesia akan menjadi salah satu penghasil game terbesar di Asia Tenggara lima tahun mendatang," ujar Kris.
Subkhan J. Hakim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo