Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Reboisasi Dengan Pedang

Petani menentang program reboisasi kebun karet. Di Riau jarak tanam pinus pun ternyata menyalahi ketentuan, hingga lebih mempercepat matinya tanaman yang sudah ada.

5 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAJA Rahid naik pitam. Dan menghunus parang. "Coba berani tanam pinus di kebun karet, saya bacok," hardiknya. Ia adalah kepala Rukun Kampung Petapahan Timur. Kecamatan Lubuk Jambi, Inderagiri Hulu, Riau. Bulan lalu si Raja memimpin penduduk menentang usaha para petugas Dinas Kehutanan melakukan reboisasi. Walhasil program penghijauan kebun karet di Kenegerian Toar, Gunung dan Petapahan, macet. Semula rencana penghijauan di ketiga kenegerian itu meliputi 2.300 ha milik 211 petani. "Yang terlaksana, sampai akhir bulan lalu. Cuma 110 ha," kata Supangar Rahadi. Koordinator Pelaksana Lapangan Reboisasi (PLR) untuk daerah Inderagiri Hulu. Raja memang pantang mundur memang tidak masuk akal bahwa perkebunan karet yang masih remaja, dimasukan dalam peta reboisasi". Hidup mati saya di kebun karet. Jika kebun ditanami pinus, lambat-laun tanaman karet akan mati," katanya. Raja punya 27 ha kebun karet dengan tanaman yang masih berumur antara 10-15 tahun. Untuk peremajaan kebunnya itu, dulu ia menerima bibit unggul 10.000 batang dari Dinas Pertanian. Dalam Peta M. Rasyid, petani karet lainnya dilubuk Jambi, geleng-geleng kepala. Kebun karet rakyat banyak kena reboisasi. "Ini kan aneh. Dulu penduduk disuruh tanam karet, sekarang karetnya mau dibunuh dengan pinus. Padahal orang Inderagiri Hulu sejak zaman Belanda dulu hidup dari karet dan meremajakan sendiri kebunnya," katanya. Karena protes datang cukup deras akhirnya para petani dipanggil bermusawarah. Hasilnya pohon karet yang batangnya berdiameter 35 cm, ridak terkena penghijauan. Sedang yang di bawah ukuran itu dan tidak terawat, tetap terkena reboisasi. Usul itu menurut Supangat Rahadi sudah diajukan ke tingkat provinsi, tinggal menunggu jawaban resmi. "Pokoknya sudah ada lampu hijau," katanya. Tapi di kampung lain, Bukit Letabuh misalnya, lain lagi keadaannya. Di kawasan berbukit-bukit ini -- 5 km dari l-asar Lubuk Jambi arah ke Padang-karet rakyat juga tumbuh subur dan menghijau. Tapi petani karet di sana tak kuasa menghunus parang melawan usaha reboisasi. Begitu pula petani karet di Kenegerian Kasang dan Koto, tinggal pasrah. "Saya takut dipanggil camat. Soalnya bisa berlarur-larut," kata seorang petani. Di Bukit Betabuh tak kurang dari 45 ha kebun karet, cengkih dan kopi sudah selesai ditanami pinus. Sebagian besar tanaman karet malah sudah berproduksi, karena berumur lebih dari 20 ahun. "Tadinya saya ragu-ragu juga menanam pinus di situ. Karena selain pohon karet itu besar-besar, juga sedang disadap," kata Supangat terus-terang. Umumnya garis keliling tanaman itu lebih dari 35 cm. "Tapi karena perkebunan itu ada dalam peta reboisan ya saya laksanakan juga," tambah Supangat. Seseorang haji dengan hati berat melepas kebun karetnya ditanami pinus. "Saya sebenarnya tidak rela. Saya cuma menyetujui penanaman pinus sampai batas tertentu. Bukan seperti sekarang, sudah meliputi seluruh kebun sekitar 10 ha," katanya terbata-bata. Celakanya pula, penanaman pinus itu dilakukan ketika ia sedang berlibur di Jakarta, bulan April lalu. Sebelum berangkat ke Jakarta, ia diminta menanda-tangani surat pernyaaan di hadapan canlat--tanpa disaksikan keluarganya. "Ini saya sesalkan sekali," ucapnya. Tapi ia tidak berdaya. Maklum, haji ini sudah berumur 80 tahun dan agak pikun. Matanya pun sudah rabun. Namun ia masih sempat mengkritik jarak tanam anak pinus di kebunnya. Di papan pengumuman yang terpancang di kebun itu dinyatakan jarak tanam 3 x 1,25 meter 3 x 2 meter dan 3 x 4 merer. Nyatanya, jarak tanam itu lebih rapat lagi. Bahkan ada yang kurang dari 1 meter. Dengan begitu tanaman karet akan lebih cepat mampus. Tak kurang dari Jamu Said Dt Paduko, Wali Negeri Kasang di satu bertabuh risau karena nasib kebun karetnya serupa. "Tak tahulah, apa yang akan saya wariskan kepada anak cucu kelak," keluhnya. Akan halnya jarak tanam yang terlalu rapat itu, juga merisaukan Ir. Rafiuddin sambil, Kepala Sub Direktorat Bina Hutan Direktorat Reboisasi dan Rehabilitai. Ditjen Kehutanan. "Secara teknis standar jarak tanam dalam reboisasi adalah 3 x 2 meter," kata Rafiuddin sambil geleng-geleng kepala, "prinsip yang dipakai di daerah, jarak tanam itu tetap 3 X 2 meter." Ia juga mengungkapkan bahwa kini banyak kasus reboisasi muncul. Misalnya di Lampung, Kabupaten Kerinci (Jambi) dan Jawa Barat. Tapi di Kerinci Pemda setempat lantas memindahkan pelaksanaan reboisasi ke kawasan lain agar tidak merugikan petani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus