Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Tanri Abeng, menyoroti berbagai klausul dalam Undang-undang BUMN yang harus kembali dikaji. Salah satunya ihwal perhitungan kerugian BUMN sebagai kerugian negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanri menganggap ketentuan tersebut akan membatasi kelincahan BUMN untuk berdaya saing dengan perusahaan berskala global. Musababnya, ruang gerak direksi dan manajemen akan dibayangi risiko ancaman pidana bila perusahaan mengalami kerugian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kerugian BUMN yang dianggap kerugian negara yang mengancam pidana bagi direksi BUMN sangat membatasi kemampuan BUMN untuk bersaing dan terus berkembang,” ujar Tanri dalam webinar, Rabu, 6 Oktober 2021.
Tanri menyebut, seharusnya status kekayaan negara dipisahkan dengan BUMN. Sebab, BUMN adalah pelaku yang bermain di arena bisnis dengan berbagai tantangan dan risiko. Bila dibatasi ruang geraknya karena regulasi yang ada, BUMN tidak akan berani mengambil risiko tersebut.
Padahal, kata Tanri, tidak mengambil risiko sama artinya dengan sebuah kerugian besar lantaran perusahaan tidak bisa mengambil peluang. Bila pengawasan BUMN sudah cukup ketat, semestinya negara tidak perlu khawatir terhadap kerugian di perusahaan pelat merah.
“Karena selain auditor publik, BUMN juga diaudit BPK. Seharusnya dengan pengawasan komisaris yang kompeten, BUMN bisa melaksanakan tugasnya,” kata Tanri.
Namun terkadang, Tanri mengatakan fungsi pengawasan perusahaan BUMN oleh dewan komisaris tidak maksimal. Komisaris acap hanya menjadi stempel karena penunjukkannya yang sarat kepentingan politik.
Tanri berharap dalam RUU BUMN yang baru, pemerintah memasukkan klausul penguatan fungsi dewan komisaris serta pengaturan kekayaan negara di perusahaan BUMN. “Penting klausul ini disepakati dan dimasukkan dalam UU BUMN yang baru,” ujarnya.