Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tipis Peluang Pasar Bioavtur

Bahan bakar campuran minyak nabati untuk pesawat terbang, bioavtur, dinyatakan layak digunakan. Mengapa bakal sulit dipasarkan?

31 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mobil tangki bahan bakar minyak (BBM) avtur Pertamina untuk mengisi bahan bakar pesawat Garuda Indonesia di Bandara Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, 2017. TEMPO/Rully Kesuma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bioavtur diperkirakan tak langsung diminati maskapai penerbangan karena harganya mahal.

  • Hasil uji coba bioavtur menunjukkan bahan bakar ini layak digunakan dalam penerbangan.

  • Kilang Pertamina bersiap menggenjot produksi bioavtur.

JAKARTA – Adopsi bahan bakar campuran minyak nabati untuk pesawat terbang, bioavtur, dalam industri penerbangan domestik tak semudah membalik telapak tangan. Sekretaris Perusahaan Subholding Commercial and Trading PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan masih banyak tantangan pasar yang harus diantisipasi agar bahan bakar tersebut bisa diminati maskapai penerbangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Dari segi harga saja tidak bisa langsung disamakan dengan avtur konvensional," ujarnya kepada Tempo, kemarin. Meski belum dijual secara komersial, harga bioavtur yang dinamai Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF) J2.4 itu diperkirakan jauh melebihi harga avtur tanpa campuran minyak sawit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Irto, harga bioavtur buatan perusahaannya akan ditentukan oleh ketersediaan bahan baku (feedstock). Dengan mahalnya ongkos rantai pasok logistik di Indonesia, SAF J2.4 belum bisa diproduksi sebanyak avtur konvensional. Distribusinya pun dipastikan terbatas di tahap awal. "Masih sangat dini sehingga perlu dukungan regulasi agar bioavtur ini bisa dipasarkan secara berkelanjutan," kata Irto.

Bioavtur merupakan salah satu produk bahan bakar untuk merespons Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Dalam skala laboratorium, pada 2012, manajemen Pertamina menggandeng tim Pusat Rekayasa Katalisis Institut Teknologi Bandung (ITB) dan beberapa mitra lainnya.

Sejumlah lembaga tersebut meneliti penggunaan minyak inti sawit atau refined bleached degummed palm kernel oil (RBDPKO) sebagai campuran bahan bakar pesawat terbang. Minyak inti sawit tersebut harus melalui penyulingan khusus untuk menghilangkan asam lemak, disusul penjernihan untuk menghilangkan warna dan baunya. 

Mobil tangki avtur Pertamina di landasan Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan. Dok. TEMPO/STR/Fahmi Ali

Para peneliti kemudian mengembangkan pengujian ke skala industri secara bertahap selama beberapa tahun berikutnya. Purwarupa avtur nabati itu kemudian diproduksi di fasilitas Refinery Unit (RU) IV Cilacap milik PT Kilang Pertamina Internasional di Jawa Tengah. Belum puas akan pembuatan purwarupa J2.0 pada 2020, Pertamina menambah kandungan inti sawit dalam avtur hingga 2,4 persen—belakangan menjadi SAF J2.4. 

Bahan bakar alternatif itu diluluskan Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi atau Lemigas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2021. Persetujuan itu menandai dimulainya uji statis—pengujian mesin yang dilepas dari bodi pesawat—secara bertahap. Ketika sejumlah indikator seperti panas mesin, vibrasi, dan beberapa aspek vital mendekati indikator avtur konvensional, J2.4 dinyatakan layak untuk digunakan dalam penerbangan.

Pada Jumat, 27 Oktober 2023, Garuda Indonesia menjadi maskapai niaga berjadwal pertama di Indonesia yang terbang memakai SAF J2.4. Maskapai pelat merah itu memakai bioavtur untuk penerbangan bolak-balik rute Jakarta-Solo dengan Boeing 737-800NG. Namun kegiatan itu sebatas untuk promosi produk baru Pertamina, belum untuk penerbangan reguler.

Meski menghadapi tantangan seperti harga yang relatif lebih mahal dibanding harga avtur konvensional, Pertamina Patra Niaga tetap mencoba memasarkan produk bioavtur secara luas. Perseroan berencana membangun depot pengisian pesawat udara (DPPU) bioavtur di dua lokasi, yaitu Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang dan Bandara Adi Soemarmo di Solo.

Masuk Peta Jalan Emisi Bersih

Sementara itu, Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo optimistis mengenai peluang penjualan bioavtur kepada operator penerbangan lokal. Meski belum bisa merincikan, dia menyebutkan lembaganya akan menyertakan pemakaian SAF dalam peta jalan target emisi bersih 2060. "Karena produknya sudah ada, tentu akan mereka (maskapai) pakai dalam rangka penggunaan bahan bakar hijau," kata Putu, kemarin.

Tak hanya di kalangan maskapai penerbangan lokal, promosi SAF J2.4 pun sampai ke pelaku aviasi asing. Menurut Putu, pemerintah ingin mengenalkan bioavtur buatan Indonesia yang sesuai dengan Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (Corsia)—standar pengurangan emisi yang diakui dunia penerbangan global. Salah satu upaya promosi itu, saat uji coba bioavtur, Kementerian Energi dan Pertamina mengundang direktur manufaktur pesawat dari Grup Boeing.

Edi juga membuka peluang pelebaran produksi bioavtur di Pertamina RU III Plaju, Sumatera Selatan. Sejauh ini produksinya masih terbatas di Kilang Cilacap dengan kapasitas 9.000 barel per hari. "Untuk tantangan mengenai harga, akan dievaluasi kembali jika pabrik standalone SAF bisa dioperasikan dan produksinya (berjalan) secara berkelanjutan," katanya.

Sekretaris Perusahaan Kilang Pertamina Internasional Hermansyah Y. Nasroen mengatakan Kilang IV Cilacap kini memproduksi J2.4 untuk kebutuhan pengujian dan promosi. Perusahaan menunggu tahap pemasaran agar bisa meningkatkan kapasitas produksi SAF J2.4. "Sementara ini masih menanti demand."

Petugas mengisi bahan bakar avtur ke pesawat Boeing 777 di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, Aceh, 2019. ANTARA/Irwansyah Putra

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan entitasnya masih mengkaji pemakaian SAF J2.4 untuk penerbangan reguler. "Yang penting kami menunjukkan komitmen untuk masa depan pemakaian bioavtur di Indonesia," tutur dia, kemarin.

Adapun Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia Alvin Lie menyebutkan penggunaan bioavtur belum menguntungkan operator secara bisnis. Namun, kata dia, Garuda Indonesia mengemban kewajiban sebagai pelopor penggunaan bioavtur di Indonesia. "Mereka punya tanggung jawab pelayanan publik sebagai badan usaha milik negara." 

Dalam hal kualitas, ucap Alvin, SAF J2.4 layak dipakai dalam penerbangan niaga berjadwal. Bioavtur terbukti tidak membeku ketika dipakai terbang di ketinggian di atas 20-30 ribu kaki—ketinggian saat suhu anjlok hingga minus 20 derajat. Produk baru ini pun tidak mengendap saat disimpan di DPPU bandara. 

"Yang jadi tantangan adalah harganya yang jauh di atas avtur normal," ucap Alvin. Dengan rumitnya produksi bioavtur, perbandingan harga itu sulit diubah, walau harga avtur konvensional pun sedang menanjak selama beberapa bulan terakhir. 

Alvin mengimbuhkan, pengembang avtur nabati juga harus bersaing dengan pesawat hibrida listrik. Menurut dia, produsen mesin terbang berbasis listrik akan berupaya menyalip produsen bioavtur dan mengawali era elektrifikasi pesawat. "Perlombaan dimulai. Kita belum tahu mana yang duluan diminati pasar."

YOHANES PASKALIS
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus