MEMBANTU pengusaha kecil tampaknya sudah bagian dari tekad Pemerintah. Salah satu cara adalah dengan mengharuskan setiap bank menyalurkan 20% dari total kreditnya untuk KUK (Kredit Usaha Kecil). Inilah aturan yang kemudian dikeluarkan Pemerintah, 28 Januari tahun lalu. Bagi para bank, melaksanakan ketentuan yang disertai sanksi itu -- bank yang tidak mampu memenuhi ketentuan tersebut akan dinilai sebagai bank yang kurang atau tidak sehat -- bukanlah perkara gampang. Mereka, ketika itu, tidak hanya bingung karena angka yang 20%. Tapi juga lantaran Pemerintah memberikan batas waktu melaksanakan KUK hingga 28 Januari 1991 laIu. Kemudian, bagaimana setelah saat tenggat (deadline) itu kini terlewati? Hampir sebagian besar bank swasta yang dihubungi TEMPO menyatakan bahwa KUK yang disalurkannya telah melampaui target. Antara lain Bank Internasional Indonesia, yang kini memiliki 80 cabang. "Di cabang-cabang daerahlah kami berhasil menyebar KUK," kata Indra Widjaja, Presdir BII. Dengan nilai KUK Rp 450 milyar, Lippobank juga mengaku telah menyalurkan kredit untuk "pegel" (pengusaha golongan ekonomi lemah) sebesar 30% dari total kredit. Bank Danamon, yang banyak bergerak di kalangan pedagang, grosir, dan produsen eksportir kecil, menyalurkan kredit untuk pengusaha yang menurut ketentuan harus bermodal maksimal Rp 600 juta itu sebanyak 21%. Begitu juga dengan Panin Bank. Per 31 Desember lalu, bank yang memelopori terjun ke bursa saham ini telah menyalurkan KUK Rp 222 milyar, atau 23% dari total kredit. Dalam melaksanakan ketentuan KUK, yang setiap bantuan kredit besarnya maksimal Rp 200 juta itu, "Kami tidak menghadapi kendala yang berarti karena dari dulu kami sudah terjun ke sektor eceran," kata Prijatna Atmadja, Presdir Panin. Keberhasilan serupa juga dicapai oleh bank-bank pemerintah. Bank BNI, misalnya, boleh dikatakan berhasil karena nilai KUK-nya sudah mencapai 21,07% (Rp 1,7 trilyun). "Ini tidak gampang, lo. Apalagi batas waktu pelaksanaannya sangat pendek (setahun)," kata Widigdo Soekarman, Direktur Operasi BNI. Hanya saja, tidak semua bank pemerintah sukses menyalurkan KUK. Bapindo, contohnya. Bank yang lebih banyak bergerak di sektor kredit investasi ini -- nilainya milyaran -- hingga akhir bulan lalu baru mampu menyalurkan KUK 13%. "Kalau nantinya harus kena penalti, ya, kami pasrah. Sebab, kemampuan kami memang terbatas," kata Soebekti Ismaun, Dirut Bapindo. Kalau mau, kata Soebekti, sebenarnya Bapindo bisa saja mencapai target KUK yang 20%. Salah satu jurusnya adalah dengan membeli kredit. Atau, dengan kata lain, mengambil alih kelebihan KUK yang telah disalurkan oleh bank-bank lain. Namun, tampaknya, Bapindo tak mau mengambil langkah ini. Alasannya, cara seperti itu tidak menambah volume kredit untuk "pegel" secara nasional. Padahal, "Tujuan KUK ini kan untuk mendorong pengusaha lemah," katanya. Program KUK terhitung berhasil. Data di Bank Indonesia menunjukkan, per 30 September 1990, sekitar 21,6% -- dari total kredit yang disalurkan di seluruh Indonesia -- sudah berupa KUK. Atau sekitar Rp 20 trilyun. "Prestasi ini sudah cukup bagus," kata Dahlan Sutalaksana, Direktur Muda BI. Apalagi, dengan ketentuan ini, tidak sedikit bank besar yang harus dengan susah payah mengubah struktur kreditnya. Hanya saja, apakah kredit bank itu telah disebar merata. Jawabnya, belum tentu. Sebab, terbukti tidak sedikit bank yang memasukkan kredit pemilikan rumah (KPR) dan program kartu kredit ke dalam KUK. "Ini jelas tidak benar," kata Menteri Keuangan Sumarlin, yang berjanji melakukan penelitian. Sebab, pada dasarnya, KUK dibuat agar pengusaha kecil lebih produktif. Artinya, kredit yang bersifat konsumtif sudah pasti tidak masuk ke dalam golongan ini. Budi Kusumah, Moebanoe Moera, Iwan Qodar, Sugrahetty Dyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini