Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Protes di jepara

Industri ukir jepara, jawa tengah banyak dimiliki oleh warga negara asing. mereka mengaku pedagang atau usaha istrinya yang wanita pribumi. pengusaha lokal protes kepada gubernur karena merebut pangsa pasar.

9 Februari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERUSAHAAN Ali Baba, dalam tiga tahun terakhir ini, bermunculan di pelosok-pelosok sentra industri ukir Jepara, Jawa Tengah. Para Baba itu ternyata warga negara asing: Amerika, Belanda, Australia, Belgia, Jepang, dan Malaysia. Merekalah yang mengendalikan dari belakang meja, sementara ujung tombaknya adalah para Ali yang asli Jepara. Semestinya, mereka bisa mendirikan usaha patungan, katakanlah sebuah PMA (penanaman modal asing). Tapi hal itu dihindarkan, dan sebaliknya memilih usaha "gelap". Contohnya CV Satin Abadi, yang mempekerjakan 250 karyawan. Menurut penduduk di Jepara, pemiliknya adalah Otto Schuch, 38 tahun, seorang warga Australia. Tapi hitam di atas putih pemiliknya adalah Said, 25 tahun, asli Jepara. "Saya hanya pedagang, datang ke Jepara membeli dagangan. Dan saya pesan barang dari Said," ujar Schuch pada TEMPO. Di telinga penduduk, pengakuan Otto Schuch itu omong kosong belaka. Mereka tahu benar, Schuch-lah yang mengendalikan kegiatan bisnis yang beromset Rp 500 juta itu. Apalagi Said, yang direktur tidak mendapat meja sebagaimana layaknya. Schuch, sebaliknya, punya ruangan khusus lengkap dengan lima stafnya. "Setiap kali transaksi, Schuch-lah yang memutuskan," ujar sebuah sumber di CV Satin Abadi. Lalu apa tugas Said? Ia tidak lebih dari seorang sopir, yang tiap hari bertugas mengantar dan menjemput pengusaha bule ini. Selain Otto Schuch, sedikitnya ada 25 warga negara asing yang buka praktek mebel di Jepara saat ini, dengan modal visa turis. Cara kerja mereka mirip cara Schuch. Ada yang menikah dengan wanita pribumi, seperti dilakukan Leukenvans, seorang warga Belanda. Perusahaannya, CV Eastern Trading Co., berdiri sejak dua tahun lalu atas nama Ismiati, istrinya yang berasal dari Surabaya. "Yang membuka usaha ini bukan saya, tapi istri saya," ujarnya polos. Para Baba menguasai 30% dari 2.000 perusahaan mebel Jepara. Tapi mereka hanya menguasai 10% dari 26 ribu perajin yang ada. Jeleknya, tenaga terampil milik perusahaan lokal mereka bajak. Para perajin itu diberi upah Rp 500 hingga Rp 1.000 Iebih tinggi dari perusahaan pribumi, yang upahnya Rp 2.000 sampai Rp 4.000 per hari. Tak heran bila pengusaha lokal gelisah. "Perdagangan yang dilakukan terselubung itu sampai pada titik yang sangat merugikan dan meresahkan pengusaha lokal," keluh H. Arifin Mubaroq, seorang pengusaha dari CV Bumi Jepara. Mereka lalu melancarkan protes. Pada 15 Januari silam, dengan sepucuk surat, 20 pengusaha ukir Jepara menyampaikan keluh-kesahnya kepada Gubernur Jawa Tengah. Pengusaha mebel Sinar Jaya, Basir, menjelaskan bahwa kerugian pengusaha lokal meliputi berbagai aspek. Para Baba itu, misalnya, tidak cuma mengekspor, tapi juga merebut pangsa pasar di Indonesia. Caranya? Menurut Basir, para Baba tiap malam beroperasi di hotel-hotel, mencegat calon pembeli, terutama pembeli asing. Selain itu, mereka juga merusak pasar luar negeri, di Australia, misalnya. Manakala mebel ukir Jepara di sana membanjir, mereka pasang tarif 30% di bawah harga umum. "Importir kami di Austra- lia mengeluh," ucap Arifin, seorang dari 14 eksportir asli Jepara. Syukurlah, protes tersebut ditampung oleh H. Ismail, Gubernur Jawa Tengah. Gubernur lalu membentuk tim peneliti. "Kalau laporan para pengusaha itu benar, orang asing yang menggunakan visa turis tidak dibenarkan membuka usaha bisnis di sini," kata Drs. Slamet Rahayu, kepala Biro Pengembangan Sarana Perekonomian Daerah Jawa Tengah. Tapi, lain halnya Kuroto, Ketua Koperasi Mebel Jepara. "Kedatangan orang asing tidak merugikan," ujar Kuroto, yang merangkap sebagai pemasok Leuken. Alasannya, perusahaan Baba itu hanya mengerjakan finishing, dan tenaga kerja yang direkrut tidak banyak. Lagi pula, ia pribadi tidak risau, malah bupati setempat -- menurut Kuroto -- melihat kehadiran pengusaha asing itu positif. Syahril Chili dan Bandelan Amarudin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus