BARANGKALI belum banyak yang mengenal nama Timsco, se buah perusahaan yang berdiri 12 tahun berselang dan kini membawahkan tak kurang dari 20 perusahaan. Timsco berkantor di gedung berlantai tiga, di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Dari sinilah, pemiliknya, Sujatim (Timmy) Abdurachman Habibie, membangun perusahaan baru: PT Citra Telekomunikasi Indonesia (PT CTI), yang ternyata bisa "mempersunting" perusahaan raksasa dari Amerika, AT&T. PT CTI dan AT&T, 31 Januari silam, menandatangani kerja sama untuk mendirikan pabrik perlengkapan switching telepon di Bandung. Tahap pertama akan menelan modal US$ 15 juta, 25% ditanggung CTI, selebihnya AT&T. "Meskipun saham kami kecil, kesepakatan kami adalah equal business," ujar Timmy kepada Siti Nurbaiti dari TEMPO. Menurut Timmy, pihak AT&T bersedia menjadikan perusahaan patungan ini sebagai product engineering control centre. Jika terlaksana, Indonesia akan menjadi pusat produksi telekomunikasi AT&T yang ke-3, selain yang ada di AS dan Belanda. Seperti diketahui, AT&T baru saja ditunjuk Pemerintah sebagai pelaksana STDI II yang berkapasitas 350.000 satuan sambungan telepon (SST). Bagi AT&T, ini bukanlah kemenangan yang mudah. Mengapa? Sebuah tulisan di majalah Far Eastern Economic Review menyebutkan, proyek itu dimenangkannya seharga US$ 103 juta. Namun, pada saat yang sama, AT&T harus menyediakan pinjaman lunak US$ 193 juta. NEC, perusahaan Jepang yang juga memenangkan proyek STDI II, -- dengan nilai lebih murah (US$ 97 juta) -- kabarnya juga harus menyediakan pinjaman lunak US$ 174 juta. Total pinjaman yang diperoleh dari kedua proyek itu adalah US$ 167 (US$ 90 juta dari AT&T dan US$ 77 juta dari NEC), tetapi hanya belum jelas untuk apa. Tentang ini juga belum ada keterangan baik dari Perumtel maupun Departemen Keuangan. Selain itu, AT&T dan NEC juga wajib melakukan alih teknologi -- jelas, ini peluang yang baik untuk CTI. 'Perusahaan CTI ini, meskipun baru lahir Agustus 1990, para pendirinya bukan orang-orang baru," tutur Timmy. "Tak perlu diragukan bahwa jaringan dari Ibu Tutut (maksudnya Siti Hardiyanti Rukmana) kan besar. Saya, ya kecil, tapi saya juga mau belajar untuk jadi profesional," tambahnya. Timmy sendiri sudah cukup berpengalaman dalam urusan bisnis. Ia adalah adik Menteri Ristek B.J. Habibie dan Dirjen Perla J.E. (Fanny) Habibie. Lahir pada tahun 1950, Timmy, insinyur sipil lulusan ITB itu, memilih jalan hidup sebagai pengusaha swasta, sementara abang-abangnya jadi pegawai negeri. "Timsco means Timmy's Corporation," ujar Timmy ketika bicara tentang perusahaannya. Mulai bergerak di sektor konstruksi dengan hanya 10-11 karyawan, setahun kemudian, Timsco bekerja sama dengan Sinar Mas Group -- membuat tangki-tangki minyak goreng. "Saat itulah saya mulai mengenai kompetisi. Dari sana, ya ... panjang ceritanya. Kemudian masuk ke bidang telekomunikasi lima tahun lalu. Banyak jatuhnya daripada bangunnya, sudahlah. Sekarang ada kesempatan," kata Timmy terus terang. Menurut sumber di lingkungan Timsco, 19 perusahaan yang berkantor di gedung Timsco adalah milik Timmy. Di situ tercantum banyak nama, di antaranya PT Bahtera Yasa Cakrawala, Baruna Adiwisesa, Wahana Citra Permana, Timsco Indonesia, Timsco Pacific Manunggal, Aerogeohydro Info System, Makuta Jaya Sakti, Cinta Nusa Indah, dan Griya Nusa Indah. Kesemuanya mempekerjakan sekitar 300 orang. Di luar itu, Timmy masih memiliki saham yang menurut majalah Far Eastern Economic Review, tertanam di PT Herwido Rintis (Pulau Batam) dan PT Sinar Culindo Perkasa, yang mengelola peternakan babi (Pulau Bulan). Tentang ini, Timmy belum memberikan konfirmasinya. Hanya diakuinya, ia bergerak di berbagai bidang usaha. Asetnya? Timmy tak bersedia mengungkapkan. "Ya, belajarlah. Kalau ada orang maju, potensial, kita dukung supaya maju. Kalau saya maju, tetangga saya kan juga maju. Kalau saya pesta, tetangga kan juga datang," ujar Timmy. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini