Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Target Tinggi Produsen Burung Besi

BUMN strategis belum mampu bangkit dari kerugian. Akan mengandalkan N219 pada tahun mendatang.

19 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGKA merah keuangan perusahaan membuat Elfien Guntoro kecut. Diangkat sebagai Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (Persero) pada Agustus lalu, Elfien diminta menghijaukan angka keuangan perusahaan penerbangan nasional itu. "Tiga bulan pertama saya itu bukan waktu yang signifikan," kata Elfien, Kamis pekan lalu.

Elfien kecut karena, sejak memimpin PT Dirgantara Indonesia, kerugian perusahaan malah semakin tinggi. Hingga September lalu, Dirgantara Indonesia tekor US$ 30,08 juta atau Rp 380,7 miliar dengan kurs saat itu. Jumlah tersebut melonjak dari kerugian perseroan pada semester pertama sebesar US$ 23,28 juta. Dengan sisa tahun 2017 tinggal satu bulan, Elfien mengakui upaya mengembalikan kesehatan perusahaan cukup sulit. "Target saya ruginya kecil," ucapnya. "Yang jelas akan ada perbaikan."

Dirgantara Indonesia merupakan satu dari 23 badan usaha milik negara yang masih tekor hingga kuartal ketiga tahun ini. Nilai kerugian mereka ada di peringkat ketiga. Dirgantara hanya kalah oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dengan kerugian Rp 2,958 triliun dan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk yang minus Rp 1,048 triliun.

Seorang petinggi Dirgantara Indonesia mengatakan pencapaian perusahaan sampai kuartal ketiga tahun ini memang mengkhawatirkan di semua lini. Semua prognosis perusahaan di awal tahun meleset. "Target laba bersih tidak akan tercapai," ujar petinggi itu. Pada awal tahun, perusahaan mencanangkan untung 2017 bisa sampai Rp 2,672 triliun. "Prognosisnya tinggi-tinggi."

Sampai kuartal ketiga, kontrak baru yang diperoleh Dirgantara Indonesia baru US$ 179,80 juta. Padahal targetnya US$ 470,21 juta. Pemicunya, beberapa kontrak baru yang ditargetkan diperoleh pada awal 2017 nyatanya mundur. Dengan capaian kuartal III ini, proyeksi sampai akhir tahun terdapat kontrak baru US$ 638,88 juta diyakini tak tercapai.

Bukan hanya perolehan kontrak baru, kinerja penjualan meleset dari taksiran. Sampai kuartal ketiga, angka penjualan perusahaan baru US$ 165,08 juta. Padahal target sampai akhir tahun sebesar US$ 415,30 juta. "Aset saja yang naik karena adanya N219," kata petinggi itu. N219 merupakan pesawat mungil bikinan Dirgantara yang baru saja sukses terbang perdana pada pertengahan Agustus lalu.

"Kondisi merah" perusahaan itu selanjutnya memicu mereka mengkaji sejumlah risiko. Hasil kajian keluar pada November lalu. Tim menemukan lima risiko yang sampai kuartal ketiga masih merah. "Merah ya bahaya," ujar sumber tadi. Kelima risiko itu adalah perolehan kontrak di bawah harapan, penjualan di bawah taksiran, potensi rugi tinggi, harus menombok karena perbedaan nilai kurs dolar Amerika Serikat, dan risiko tuntutan hukum dari pelanggan.

Di samping perkara kontrak baru dan penjualan, beban masih jadi problem buat Dirgantara Indonesia. Salah satunya beban denda keterlambatan pengiriman kontrak. Sampai kuartal ketiga tahun ini, perusahaan harus menanggung denda hingga US$ 1,002 juta.

Persoalan denda keterlambatan memang menjadi masalah klasik perusahaan ini. Badan Pemeriksa Keuangan saat mengaudit kinerja perusahaan pada 2014-2016 pernah menemukan Dirgantara berpotensi terkena denda keterlambatan hingga US$ 1,33 juta. Itu adalah potensi denda dari kontrak pengadaan helikopter untuk Kementerian Pertahanan, masing-masing senilai Rp 178,08 miliar dan Rp 170,12 miliar.

Keterlambatan dipicu oleh terhambatnya perusahaan mendapat pasokan komponen helikopter. Kebetulan sejumlah komponen itu sudah tidak diproduksi lagi. Total kerugian Dirgantara Indonesia dari keterlambatan itu, termasuk denda pengiriman, mencapai US$ 3,26 juta. Pangkal masalahnya, menurut temuan BPK, adalah Direktorat Produksi Dirgantara tidak mengidentifikasi material komponen yang sudah berhenti produksi. Elfien Guntoro tidak bisa mengelak soal kelemahan Dirgantara yang kerap terlambat mengirim pesanan pelanggan. "Akan kami perbaiki semua," ucapnya.

SATU bulan menjelang tutup tahun, PT Dirgantara Indonesia kini sedang merampungkan satu pesanan helikopter dari Kementerian Pertahanan. Sejumlah pesanan dari kementerian itu masih menjadi oksigen utama perusahaan agar bisa bernapas. Ketergantungan inilah yang menyebabkan keuangan perseroan begitu rentan.

"Yang bisa bikin kami hidup itu Undang-Undang tentang Industri Pertahanan. Akhirnya kita hanya jago kandang," kata salah satu petinggi Dirgantara. Sementara itu, lisensi perakitan sejumlah pesawat yang dipegang dari perusahaan besar, seperti CASA dan Airbus, tidak terlalu menguntungkan. "Kita hanya jadi tukang assembly."

Elfien Guntoro mengakui salah satu yang dia perbaiki adalah klausul lisensi perakitan pesawat dengan perusahaan asing, seperti Airbus. Semua perjanjian dikaji ulang, baik untuk lisensi pembuatan helikopter dan pesawat komersial maupun militer. "Saya sudah ketemu dengan petinggi Airbus," ujar Elfien. "Semoga kontrak lisensi bisa memperbaiki bisnis kami."

Harapan Dirgantara tidak jago kandang sebetulnya muncul sejak Agustus lalu setelah perusahaan berhasil menerbangkan N219--yang bekerja sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Masalahnya, butuh waktu panjang dan biaya besar agar N219 bisa jadi andalan perusahaan. Sampai saat ini, jam terbang pesawat kecil itu belum sampai 20 jam. Padahal standar internasional meminta pesawat baru mesti sudah test flight minimal 300 jam sebelum dijual komersial.

Elfien menargetkan, sampai tutup tahun 2017, N219 bisa terbang 40 jam. Untuk mengejar syarat 300 jam terbang, perusahaan pada awal tahun depan akan merilis satu prototipe N219 lagi. Total bakal ada empat prototipe. "Biasanya dua prototipe cukup mengejar 300 jam," ucap Elfien.

Kendati belum mengantongi sertifikat, N219 sudah kebanjiran peminat. Pada pertengahan November lalu, dalam pertemuan antara pemerintah Indonesia dan Meksiko di Kota Meksiko, negara itu sepakat akan membeli pesawat N219. Kesepakatan itu senilai jutaan dolar. Pembelian akan terealisasi bertahap dalam lima tahun. Selain Meksiko, sejumlah negara Afrika dan Asia Tenggara yang wilayahnya sulit dijangkau transportasi darat sedang mengincar N219. Pesawat ini dinilai pas untuk wilayah pegunungan atau kepulauan kecil seperti Nusantara.

Agar pemasaran N219 makin mulus, Kementerian Keuangan telah menyiapkan penyokong buat Dirgantara dalam wujud Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Sebab, lembaga pembiayaan adalah salah satu kelemahan Indonesia ketika hendak menjual produknya ke luar negeri. "Cina dan negara besar itu kalau jual produk sudah lengkap dengan lembaga pembiayaannya," kata Direktur Kekayaan Negara Dipisahkan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Dedi Syarif Usman di kantornya di Jakarta, Rabu pekan lalu. Lembaga pembiayaan inilah yang nantinya berperan menyediakan opsi pembayaran bagi calon pembeli serta modal kerja lewat skema national interest account.

Cerita sukses keterlibatan LPEI, menurut Dedi, ada pada penjualan gerbong kereta produksi PT Inka ke Bangladesh. Tahun lalu Inka mengekspor 150 kereta penumpang senilai US$ 72 juta. "Itu bidding kereta ke Bangladesh, saingannya Cina," ujar Dedi. "Tapi, karena mendapat bantuan LPEI, Inka bisa menang." Kementerian Keuangan, kata Dedi, akan memprioritaskan bantuan LPEI untuk ekspor produk ke negara-negara berkembang di Afrika dan Asia.

Elfien Guntoro mengakui dukungan pembiayaan dari LPEI penting buat Dirgantara bersaing di pasar internasional. "Tapi selain itu memang kami perlu perbaikan di lingkup internal," ujarnya.

Petinggi perusahaan tadi mengatakan peluang Dirgantara bersaing di pasar pesawat kapasitas di bawah 50 penumpang masih terbuka. "Kalau untuk kapasitas di atas itu, sudah bagiannya bos-bos seperti Boeing dan Airbus," katanya. Tidak aneh bila N219 digadang-gadang menjadi andalan untuk mendulang pundi-pundi rupiah Dirgantara.

Khairul Anam, Putri Adityowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus