Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Armstrong

19 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tuhan telah diambil alih agamaagama- dan agaknya itulah masalah paling gawat harihari ini.

Kini agama jadi sejenis sekte, kelompok tertutup, dengan kecenderungan tak mengakui "orang luar". Para agamawan merasa diri jadi juru bicara Tuhan dan umat, para pemeluk melihat diri palingsucipalinglurus. Agamaagama, kata Karen Armstrong dalam The Battle for God, "mendefinisikan doktrin, membangun rintangan, menegakkan tapal batas, dan memisahkan mereka yang beriman dalam sebuah tempat terpisah yang suci di mana hukum dengan keras diberlakukan."

Suara Karen Armstrong sangat menyejukkan dalam percakapan tentang Tuhan dan iman di masa ketika orang (muslim, tapi tak hanya muslim) mudah merasa agamanya dihina, takut diremehkan, dan cepat membalas, membinasakan. Dalam situasi yang bengis itu Armstrong justru berbicara dengan penuh simpati kepada mereka yang beriman- meskipun dengan suara murung menyebut keterbatasan agama dan kekerasannya.

Ia bukan atheis. Ia mengkritik keras mereka yang, seperti Richard Dawkins, ia sebut "atheis baru". Baginya, mereka gagal berbicara tentang keadilan dan rasa belas (compassion) kepada sesama yang menderita- yang dicoba diberi penghiburan oleh agama, dengan segala keterbatasannya.

Armstrong bukan atheis dalam arti itu.

Tapi ia berada di luar agama apa pun.

Lahir 14 November 1944 di wilayah Worcestershire, di Inggris Tengah Bagian Barat, pada usia 18 tahun ia bergabung dengan sebuah kongregasi untuk jadi biarawati. Di sana ia belajar kesusastraan. Biara memberinya keheningan, tempat ia merasukkan puisi, mengheningkan cipta. Tapi untuk itu ia juga harus mengalami tubuh yang disakiti. Ia bertahan selama tujuh tahun. Di tahun 1969, ia keluar dari biara.

Pernah, katanya, ia coba mengundang Tuhan untuk jadi kehadiran yang hidup dalam dirinya. "Tapi Ia tak di sana.... Ia pergi."

Tapi sebenarnya apa yang terjadi? Saya kira bukan Tuhan pergi, melainkan Tuhan diganti.

Kini manusia memproyeksikan Tuhan hanya sebagai cermin dirinya: "Tuhan" yang (dalam katakata Armstrong) "menyukai yang kita sukai, membenci yang kita benci". Dengan kata lain, Tuhan yang merupakan perpanjangan identitas kita, rasa waswas kita, curiga kita, narsisisme kita. Ia sesungguhnya berhala (l’idole, kata JeanLuc Marion), yang tak mengubah, tak memperbaiki. Ia "Tuhanselfi".

"Tuhanselfi" ini yang merisaukan Armstrong: Tuhan yang dihadirkan sebagaimana aku mau hadir.

Di situlah orang tersesat. Sebab, tulis Armstrong dalam A ­History of God, "Satusatunya cara menunjukkan rasa hormat kepada Tuhan ialah dengan berbuat baik secara moral tanpa mempedulikan apakah Dia ada"- tanpa menggandengNya dalam potret bersama.

Rasa hormat juga akan tampak bila kita tak mendesakdesakkanNya, tak membuatNya bagian dari berisik. Dalam The Case of God, Armstrong mengutip satu cerita dari India abad ke10 tentang "kompetisi Brahmodya". Yang ikut bertanding harus merumuskan dengan katakata apa itu "Brahman". Tapi pemenangnya, tulis Armstrong, tak membuat uraian verbal. Iaseorang peserta pertandingan yang membuat orang lain hening. Di keheningan itu Brahman hadir- dalam ketakmampuan bahasa melukiskan dan merumuskanNya.

Tapi agamaagama cemas: hening adalah hampa. Tuhan adalah sang pembimbing dan pengawas, sumber segala nilai moral. Jika kau tak menegaskan Tuhan ada, kau akan tersesat.

Saya kira Armstrong akan menjawab: Tuhan bukan sebuah wujud superinstrumental. Tuhan bukan ada untuk menjalankan peran yang kita tentukan, meskipun itu peran agung mengatur perilaku manusia dan menata semesta. Tuhan bukan sebuah fungsi- apalagi fungsi yang bermasalah. Sebab sampai hari ini pun perilaku buruk manusia tak lenyap. Manusia dan alam semesta tetap makhluk yang rumit, ruwet, rentan....

Dunia adalah saksi bahwa Tuhan yang superinstrumental adalah Tuhan yang gagal.

Juga Tuhan yang tak lagi keramat, tak lagi sakral. Ia bukan lagi Tuhan yang "ilahiat" , yang "göttliche", untuk memakai kata Heidegger.

Pernah dikatakan, zaman ini ditandai "terbang menjauhnya dewadewa". Yang suci pergi. Yang menggerakkan kehidupan hanya "Tuhanselfi". Egotisme pun menguat pada manusia- dan merusak manusia.

"Agama yang memusatkan diri pada egotisme," kata Armstrong dalam sebuah wawancara di tahun 2002, "memusatkan energinya dalam keberingasan, bukan dalam belas kasih." Agama pun jadi ideologi kemarahan.

Di masa ini, Islam yang tampaknya berangkat dari ideologi itu, dirundung egotisme yang sengit. Takfirisme- sikap menganggap yanglain "kafir" dan harus disingkirkan- kini lebih menonjol ketimbang "fundamentalisme". Dan ini menarik, sebab seperti dikatakan Armstrong, Islam sebenarnya agama yang pluralis: mengakui para nabi di samping Muhammad, pernah tak ragu menempatkan Yerusalem sebagai kota suci, "alQuds".

Apa yang terjadi?

Armstrong mencoba mencari sebabnya pada dunia modern yang tak memenuhi janji kebahagiaan, malah mengecewakan sebagian manusia. Saya berpendapat lain. Bagi saya, hidup di masa yang ditandai keberlebihan dan sekaligus kelangkaan ini, manusia makin melihat persaingan- dalam harta, martabat, kekuasaan, kebenaran- sebagai perebutan.

…. Dan Tuhan jadi instrumen, dan kita jadi benteng beku di pantai, dan "orang asing" datang dan ramairamai kita bidik, kita curigai.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus