HARGA gas alam cair (LNG) sedang dirongrong. Jepang, sebagai pembeli terbesar, sudah mendesak Pertamina agar menyesuaikan harganya mengikuti pasang surut harga minyak mentah di pasar tunai. Mereka beranggapan, harga gas alam cair yang dikaitkan dengan harga resmi minyak OPEC sekarang sudah tidak sesuai lagi, terutama sesudah harga paduan OPEC US$ 28 per barel rontok hingga tinggal separuhnya. Pertamina sudah berusaha meladeni keinginan pelanggan utamanya dengan merundingkan kembali tingkat harga LNG, April lalu, sekalipun belum mencapai kesepakatan. Suasana perundingan di Tokyo sendiri sedikit banyak dipengaruhi sidang OPEC terakhir yang tak menghasilkan keputusan kouta produksi baru. "Persetujuan belum bisa dicapai sekalipun kedua pihak merasa perlu secepatnya menghasilkan keputusan," kata pejabat Jilco (Japan Indonesia LNG Company) kepada Seiichi Okawa dari TEMPO. Keinginan Jilco tentu tidak bisa dianggap remeh: perusahaan patungan ini setiap tahun mengimpor 10 juta ton dari 15 juta ton (hampir 70%) kebutuhan gas alam cair Jepang dari Pertamina. Saingan dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei, yang juga sudah memasok LNG ke Jepang, perlu diperhitungkan kalau tidak ingin pasar Pertamina digerogotin. Dua tahun terakhir ini saja, gas alam cair Malaysia dari Bintulu sudah ikut menerangi rumah tangga di Jepang dalam volumenya yang makin membesar (lihat grafik). Menurut sebuah sumber, tingkat harga LNG setiap kali pengapalan (125 ribu meter kubik) dari Pertamina yang US$ 14 juta itu sesungguhnya sudah cukup murah. Bayangkan, di zaman harga minyak masih US$ 34 per barel, mereka harus membeli LNG setiap pengapalan itu US$ 25 juta. Sekarang, dengan yen makin menguat lebih dari 30% terhadap dolar, tingkat harga itu makin terasa murah. Enam bulan lalu, mereka harus mengeluarkan 240 yen untuk setiap dolar pembayaran, sekarang hanya perlu 165 yen. Tetapi para pembeli gas alam cair, tampaknya, tetap ingin membuat pukulan besar - dengan memaksa penjual duduk di meja perundingan, kalau tidak ingin volume transaksinya dikurangi. Dalam situasi seperti itu, Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Subroto juga harus menghadapi todongan dari Korea Electric Power Corp. (Kepco) Korea Selatan dan Taiwan, yang mengajukan tuntutan serupa. Padahal, pengiriman pertama gas alam cair dari Arun, Aceh, ke Korea untuk kontrak penjualan dua juta ton setahun, sudah akan dilakukan Juni mendatang. Bagaimana hasil perundingan? Menteri Subroto ketika dihubungi, pekan lalu, menolak memberikan komentar. "Sekarang jangan bicara LNG - minyak saja dulu," katanya. Gas alam cair, tentu, tidak berarti dianggap remeh kendati sumbangannya terhadap penerimaan migas tahun 1986-1987 ini kurang dari 20%. Harus disebut, jika dibandingkan dengan minyak, usaha menetapkan harga jual LNG tampaknya cukup diputuskan dua pihak. Tapi tidak dengan minyak. Banyak kekuatan ikut bermain di sana, bukan hanya kepentingan ekonomi, tapi juga politik. Sebagai eksportir dan produsen LNG terbesar di dunia, posisi Pertamina tampaknya masih di atas angin. Volume pembelian gas alam cair Jepang dari sini, agaknya, akan tetap 15 juta ton seperti tahun lalu. Kalaupun pembangkit tenaga listrik di Jepang ingin memperbesar pemakalan gas alam sebagai sumber pembangkit energi, mereka akan berusaha memenuhinya dari Malaysia, Brunei, Persatuan Emirat Arab, atau Amerika. Tapi gas alam cair dari Indonesia, yang tahun lalu memenuhi hampir 55% dari seluruh kebutuhan Jepang, tetap menduduki posisi penting. Tentu bukan Jepang kalau tidak ulet dalam mendesakkan keinginannya. Pertengahan bulan ini akan berlangsung perundingan ulangan untuk meninjau tawaran pihak Pertamina yang telah mengajukan penurunan harga 20% awal April, tapi belum diterima pembeli. Pihak konsumen kabarnya menuntut agar LNG diturunkan sampai 50% dari tingkat harganya kini. Banyak hal tentu harus dipertimbangkan Pertamina dalam menghadapi pelanggannya itu. Satu hal yang sudah diketahui, agaknya, Petronas Malaysia masih menjual gas alam cairnya ke Jepang dengan harga seperti tahun 1983 - ketika pengapalan gas alam 1,14 juta ton mulai dilakukan dari Bintulu di Serawak. "Jepang tidak minta pada kami agar menyesuaikan harga gas alam dengan harga minyak di pasar tunai," ujar seorang pejabat Petronas. Seperti juga dilakukan Pertamina, Petronas membangun kilang-kilang LNG dengan menyertakan calon pembeli di situ ikut memikul pembiayaan, yang menelan Mal. $ 7.200 milyar (sekitar US$ 2,8 milyar). Pemegang saham terbesar di perusahaan itu, sekitar 60%, tentu Petronas. Tahun lalu pengapalan gas alam cair dari Bintulu ke Jepang baru 4,33 juta ton, sedangkan tahun ini direncanakan akan mencapai sekitar 6 juta ton. Korea Selatan kini sedang didekatinya untuk mau membeli gas alam cairnya. Ada alasan mengapa Petronas harus agresif. Mcnurut sebuah perkiraan, di tahun 1987 nanti, Malaysia akan mempunyai surplus LNG satu juta ton, sementara Indonesia sekitar dua juta ton. Di saat itulah, kedua produsen LNG terpenting di kawasan ASEAN itu akan bertemu muka dalam suasana tak enak di pasar yang sama - Jepang. Gas alam cair dari Indonesia mungkin lebih bersaing karena ongkos produksinya sudah tidak dibebani depresiasi dan pengembalian bunga pinjaman. Beda dengan Malaysia yang pabriknya masih baru dan sebagian besar dibiayai dana mahal. Dalam kondisi seperti itu posisi pembeli tentu cukup tangguh. Tapi tidak banyak orang bisa memastikan, apakah skenario seperti itu akan benar-benar terjadi, mengingat ramalan mengenai harga minyak misalnya sudah sering meleset dan sulit ditebak lagi. Taiwan, sebagai calon pembeli 1,5 juta ton LNG dari lapangan Badak di Kalimantan Timur, agaknya, ingin cepat menandatangani kontrak pembelian itu tanpa harus terlalu pusing memikirkan perkiraan yang belum pasti. Ada kabar kontrak pembelian LNG oleh Taiwan itu akan ditandatangani bulan ini juga. Pengapalan pertama diharapkan bisa dilakukan tahun 1990 - saat dunia diduga tidak lagi kaget-kagetan menghadapi penurunan harga minyak. Keadaan moneter dunia mungkin juga sudah lebih dingin. Paling tidak, ketika pengapalan pertama gas alam dilakukan, kedua belah pihak sudah menyetujui tingkat harganya - tidak seperti yang terjadi kini terhadap pengapalan LNG ke Jepang yang tetap diselimuti teka-teki. Eddy Herwanto Laporan Budi K. (Jakarta) & Ekram A. (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini