Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Hati-hati, menulis berita

Pemred koran mingguan inti jaya, ny. nuria deliana, diskors dari keanggotaan pwi karena dianggap melalaikan hak jawab terhadap dr. ekmal mahidin yang diberitakan menantang tim pembersihan lingkungan. (md)

10 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULA-MULA persoalannya kelihatan sepele. Dalam rubrik "Gema Nusantara" di koran mingguan dari Jakarta Inti Jaya terbitan minggu kedua Agustus 1985, termuat sebuah laporan dari Riau, judulnya "Tim Pembersihan Lingkungan Di tantang?" Isi berita itu: "salah seorang oknum dokter RSU Tembilahan", dr Ekmal Mahidin, menantang para petugas tim pembersihan lingkungan yang datang ke rumah sakit tersebut, hingga "sempat hampir terjadi perkelahian ". Berita itu ditutup dengan "Kita nantikan, apa kira-kira tindakan bagi seorang dokter yang menantang pembersihan lingkungan, mohon perhatian dari Menteri Kesehatan RI, dan Persatuan Dokter Indonesia, terhadap dokter yang satu ini demikian keluhan aparat yang ditugaskan Pemda itu". Tulisan itu ternyata berbuntut panjang. Ekmal Mahidin mengirimkan surat ke redaksi Inti Jaya, dan melampirkan satu lembar tanggapan, membantah berita itu. Karena tidak mendapat tanggapan, ia lalu menulis surat ke PWI Pusat. Ketua Dewan Kehormatan (DK) PWI, Rosihan Anwar, 13 November lalu mengirimkan surat ke pemimpin redaksi Inti Jaya, mengingatkan bahwa melalaikan hak jawab seseorang merupakan pelanggaran kode etik jurnalistik. Inti Jaya diminta memuat tanggapan Ekmal, dan juga memberi penjelasan mengenai kelalaian pemuatan hak jawab itu. Pemimpin redaksi Inti Jaya Ny. Nuria Deliana menjawab: ia tidak pernah menerima tembusan surat dr. Ekmal yang ditujukan ke PWI Pusat. Surat Ekmal memang pernah diterimanya, tapi tidak dianggap penjelasan atau bantahan karena sifatnya therapeutic dan diagnose. Tindakan Ekmal memberikan terapi dan diagnosa pada Inti Jaya dianggap tidak pada tempatnya "karena Ekmal bukan dokter ahli persuratkabaran, melainkan dokter medis". DK PWI ternyata berbeda pendapat. Dalam suratnya tanggal 19 Desember 1985, Rosihan mengingatkan pimpinan Inti Jaya, tidak diterimanya tembusan surat pengaduan Ekmal pada PWI tidak bisa dijadikan alasan menunda memuat tanggapannya. Alasan bahwa surat Ekmal merupakan terapi dan diagnosa juga ditolak. Tiga bulan berlalu, tapi Inti Jaya tak juga memuat tanggapan Ekmal. Pertengahan Maret lalu, DK PWI menelepon Inti Jaya menanyakan reaksinya atas peringatannya. Jawaban yang diterima "masih dicek lagi . . .". Rupanya, hal ini membuat DK PWI tidak sabar. Maka, pada 5 April lalu jatuhlah keputusan: menjatuhkan hukuman pemecatan sementara selama dua tahun dari keanggotaan PWI kepada pemimpin redaksi Inti Jaya, dan meminta PWI Pusat dan PWI Jaya melaksanakannya. Alasannya: tindakan pembangkangan pimpinan Inti Jaya dinilai telah melampaui batas toleransi yang dapat diberikan DK PWI. Menurut Ketua Umum PWI Pusat, Zulharmans, keputusan DK PWI itu mutlak dan pelanggarnya tidak punya kesempatan membela diri. "Jika mereka memutuskan menskors keanggotaan seseorang, kami akan melakukannya". Akibatnya, "Secara otomatis PWI akan mencabut rekomendasinya pada Inti Jaya". Dan ini bisa berbuntut panjang, karena seseorang yang diskors keanggotaannya dari PWI tak bisa memimpin media massa. "SIUPP yang dikeluarkan Deppen bersifat legalisasi untuk seseorang menjadi pemred. Dan ini harus ada rekomendasi PWI. Tanpa rekomendasi itu, Deppen tidak akan mengeluarkan SIUPP," kata Zulharmans Ny. Nuria Deliana, 55, yang memimpin Inti Jaya sejak 1971, tampaknya tidak mau begitu saja menerima skorsing terhadap dirinya. Keputusan itu dianggapnya memihak dan tidak sesuai dengan prosedur peraturan rumah tangga PWI. Ia kini menyerahkan masalahnya pada Deppen. "Kami diam dulu. Kami akan meneruskan ke pengadilan bila Deppen mengizinkan," ujar pemimpin redaksi koran yang, menurut pengakuannya, oplahnya sekitar 90 ribu. Dirjen PPG Deppen, Sukarno, belum mau mengungkapkan apa yang bakal dilakukan instansinya. "Kami akan membahasnya lebih lanjut. Setelah kami pelajari, baru ada tindakan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus