MENCARI nama untuk suatu penerbitan ternyata lebih sulit daripada buat bayi. Itu dialami oleh Willy Risakotta dan kawan-kawan. Arkian, setelah harus melepaskan majalah Kartini kepada pimpinannya semula, Lukman Umar, Willy yang oleh Mahkamah Agung dinyatakan kalah berperkara merencanakan menerbitkan majalah baru: Pratiwi. Iklan pun dibikin. Promosi digalakkan, untuk majalah baru itu. Waktu itu, awal April lalu, memang sudah muncul pertanyaan: mengapa dipilih nama Pratiwi, bukan Pertiwi yang lebih lazim? Lagi pula, Pratiwi 'kan nama calon astronaut wanita Indonesia pertama yang beken itu. Tapi Willy membantah. "Itu hanya. kebetulan," katanya bulan lalu. Diakuinya, kata Pratiwi berasal dari Pertiwi, yang artinya tanah air. Departemen Penerangan, katanya, sudah menyetujui nama Pratiwi. Tahu-tahu, yang terbit 5 Mei lalu majalah Pertiwi. Lho, kok berubah? Menurut Dirjen PPG Dcppen Sukarno, nama suatu penerbitan bisa saja tak disukai masyarakat karena suatu sebab tertentu. "Kalau nama itu dapat menimbulkan heboh di kemudian hari, karena pengaduan, kita anjurkan tidak dipakai," katanya. Ternyata, memang ada yang keberatan. Kabarnya, Deppen menerima surat dari Sekretaris Menteri Negara Riset & Teknologi, Imam Soeripto, yang menyatakan keberatan atas pemakaian nama Pratiwi. Alasannya: ada kesepakatan dengan NASA, nama calon astronaut tidak boleh dikomersialhan. "Begitu kami menerima pemberitahuan itu, nama Pratiwi langsung kami ganti dengan Pertiwi," kata Willy. Pemilik nama yang dihebohkan itu, Pratiwi Pujilestari Soedarmono, ternyata tak tahu namanya dipersoalkan. "Saya tak pernah ditanya mereka," kata calon antariksawati ini lewat telepon dari Houston, AS. Ia menduga, penamaan itu ada kaitannya dengan ungkapan "Habis Kartini muncul Pertiwi". Tapi, katanya, "Saya tidak bisa mcmbuktikan itu. Lagi pula, yang namanya Pratiwi 'kan banyak."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini