KENDATI banyak pakar ekonomi mengkhawatirkan ancaman ledakan tenaga kerja, percayalah, tak ada penganggur di Indonesia. Dan betapa hebatnya kalau itu juga bisa diartikan bahwa setiap orang yang tergolong dalam angkaan kerja benar-benar tertampung. "Walaupun pengangguran ada, jumlahnya sangat kecil, dan bisa diabaikan," ujar Mey Ling Oey, ahli ekonomi kependudukan yang menjadi staf pengajar pada Fakultas Ekonomi UI. Sebab, kata doktor yang menjadi staf peneliti pada CPIS (Center of Policy and Implernentation Study) itu, di negeri ini tak ada aminan bagi pengangguran - seperti di Australia. Dengan begitu, setiap orang "terpaksa" mengada-adakan pekerjaan bagi dirinya. Maka, lulusan universitas seperti Wawan (bukan narna sebenarnya) boleh jadi pekerjaan utamanya justru "mencari pekerjaan" itu. Lebih dari dua tahun ia berkelana, memasuki kantor-kantor swasta dan pemerintah, tanpa hasil. Untuk berwiraswasta ia tak berani, dengan alasan: tak punya pengalaman, tak punya modal. Akhirnya terpaksa mungkin sementara - ia menjadi pengajar pada sebuah bimbingan tes, yang hanya mengandalkan kematangan mengotak-atik pelajaran SMA-nya. Wawan, memang, tidak menganggur. Tapi dialah contoh orang muda yang tak kesampaian hasratnya menjadi pegawai setelah lebih dari 100 lamaran kerjanya tak bersambut. "Kita bisa melihat, semakin besar angkatan kerja yang tidak terserap lapangan pekerjaan sektor formal," begitu tutur Mey Ling Oey kepada Rustam Mandayun dari TEMPO. Memang, jumlah lowongan kerja terbatas. Pada 1986/87 saja, seperti tercantum pada Nota Keuangan RAPBN 1988/89, hanya terdapat lowongan untuk sekitar 146 ribu orang. Dari pencari kerja yang jumlahnya sekitar 775 ribu orang, cuma 119 ribu mendapat tempat. Berarti masih sekitar 27 ribu lowongan tak bisa diisi persis cerita Cosmas Batubara, yang baru beberapa pekan ini dilantik meniadi menteri tenaga kerja. "Artinya, kualitas tenaga kerja itu masih perlu ditingkatkan," katanya prihatin. Bukan berarti beban kualitas itu hanya di pundak Cosmas tanggung jawabnya. Semua departemen pemenntah, menurut sang menteri, tentu membicarakannya--terutama Departemen P dan K. Lebih-lebih lagi membahas nasib pencari kerja, yang sebagian besar berada pada lapisan bagian bawah piramida penduduk Indonesia. Maklum, jumlah angkatan kerja yang di atas 10 tahun usianya - seperti dilaporkan BPS dalam buletin bulanan "Indikator Ekonomi" 1988 - mencapai lebih dari 70 juta jiwa. Ini berarti hampir separuh penduduk Indonesia berusia muda. Dan dua juta di antaranya, atau sekitar 2,7%, tidak bekerja. Sejajar dengan itu, penyebaran tenaga kerja pun tak merata. Ternyata, sekitar 63% dari angkatan kerja itu berada di Jawa. Padahal, wilayah Jawa cuma 7% dari luas Indonesia. Data statistik bersumber dari Supas (Survei Penduduk Antar-Sensus), 1985, yang diangkat BPS juga memperlihatkan bahwa hampir 66 juta jiwa, yang berumur antara 10 dan 30 tahun, membentuk semacam fondasi kuat bagi sebuah gapura - yakni 164 juta penduduk Indonesia. Dan sebenarnya, penduduk yang menjadi sumber daya manusia itu bisa, "Menjadi kunci keberhasilan pengembangan negara ini," seperti dikatakan H.Kinoshita, Presiden Direktur PT National Gobel, tatkala seminar sehari di Jakarta, yang diselenggarakan JETRO belum lama ini. Dengan potensi penduduk itu, memang, seharusnya ekonomi Indonesia bisa lebih maju. Tapi itu hanya mungkin, "Jika sumber daya manusia dimanfaatkan secara efisien, dibina, dibangkitkan semangat kerja dan potensinya," tambah Kinoshita. Orientasinya tentu pada ekspor nonmigas, yang sudah sering didengungkan tiga tahun terakhir ini - setelah migas sulit diandalkan. Kalau pendapatan terangkat naik, akibatnya jumlah konsumsi pun meningkat. Ini berarti menambah kesempatan kerja, karena ada perluasan produksi. Sementara itu, soal buruh di Indonesia menjadi daya tarik tersendiri bagi penanam modal asing karena murahnya. Meskipun tingkat kemurahan ini bisa diperdebatkan, apalagi bila diukur dengan keterampilan tenaga kerja atau dari biaya per unit produksi yang harus dikeluarkan untuk buruh itu maksudnya, justru bisa jadi mahal. Yang jelas, buruh Indonesia yang mau dibayar lebih murah - ketimbang di Korea misalnya - tak menjadi satu-satunya daya pikat bagi investasi asing. Dalam 20 tahun ini, 1967--1987, total investasi asing, yang mencapai 17,8 milyar dolar AS, ternyata tak mampu menyedot habis angkatan kerja. Investasi itu sebagian besar di sektor industri, 13.451 juta dolar AS, sektor pertambangan 1.594 juta dolar, dan sektor pertanian (termasuk perikanan dan kehutanan) 787 juta dolar. Kita pun tahu, porsi industri yang terbesar itu justru padat modal dan teknologi, tapi tidak padat karya. Tidak terlalu pagi kiranya jika Sumarna F. Abdurahman, Ketua III Inkopkar (Induk Koperasi Karyawan), sudah menghitung bahwa pada awal Pelita V, sekitar 5 juta orang tenaga kerja baru tak memperoleh lapangan kerja. Kalaupun tingkat pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5% rata-rata per tahun, katanya, tenaga kerja yang bisa diserap hanya sampai 60%. Padahal, fakta menunjukkan rata-rata pertumbuhan pada Pelita IV cuma 3%. "Situasi itu jadi lebih buruk, mengingat pendapatan sekitar 60% tenaga kerja di Indonesia di bawah tingkat kebutuhan fisik minimum," tuturnya. Itu terjadi terutama di sektor informal - 76% angkatan kerja berkutat di sektor ini - yang menghidupi tukang becak, kaki lima, buruh bangunan. Sementara itu, keberhasilan menekan tingkat mortalitas dalam laju pertumbuhan penduduk 2,1% per tahun menyebabkan lonjakan pertumbuhan angkatan kerja sampai 4% per tahun, pada periode 1980-1985. Ditambah lagi situasi ekonomi yang suram, manakala penerimaan migas menurun dan kewajiban membayar cicilan utang luar negeri meningkat. Sementara itu, perkembangan anggaran, ternyata, memberi dampak bersih (selisih antara pengeluaran di luar pembayaran utang luar negen maupun pengeluaran luar negeri lainnya, dan penerimaan di luar migas maupun bantuan luar negeri) yang menurun - dari tahun anggaran 1984/85 sampai dengan 1988/89, dari Rp 11 trilyun menjadi Rp 5,1 trilyun. Dana bantuan untuk proyek-proyek Inpres, pada kurun waktu itu, pun cenderung meluncur turun. Tahun anggaran berjalan ini, dana itu sekitar Rp 1,1 trilyun, turun dari Rp 1,4 trilyun pada 1984/85. Padahal, dana ini cukup potensial untuk menggerakkan tenaga kerja, misalnya untuk membangun SD, pasar, jalan-jalan, penghijauan, dan reboisasi hutan. Ribuan buruh mendapat bagian mereka di situ. Hal ini setidaknya menambal kurangnya pekerjaan di kota-kota, seperti sektor konstruksi, perumahan. Menurut Enggartiasto Lukito, Presiden Direktur PT Bangun Tjipta Pratama, sebuah rumah kelas menengah membutuhkan setidaknya 8 tenaga kasar. Perusahaan yang sedang membangun kompleks perumahan Kemang Pratama di Bekasi, dalam areal sekitar 60 ha itu, bisa menampung 500-an tenaga. Itu belum termasuk lebih dari 100 bidang kerja lain, yang terkait. Misalnya tenaga kerja pada perusahaan genting, semen, kayu gergajian, pencari pasir, sampai dengan warung makan untuk para buruh kasar itu. "Tapi pembangunan rumah itu kemudian dibatasi oleh daya beli masyarakat juga," ujarnya. Apalagi harga bahan bangunan melejit naik. Sumber penghasilan masyarakat yang terbatas, akibatnya, mempengaruhi jumlah tenaga kerja yang terserap. Akan halnya Dana Inpres untuk memobilisasi tenaga kerja itu, seperti yang tercantum pada RAPBN 1988/89, tetap masih mengundang tanda tanya: cukupkah? Diperkirakan masih diperlukan tambahan kira-kira Rp 1,3 trilyun lagi, supaya efek mobilisasi tenaga kerjanya sama dengan 1983/84, ketika dampak bersih anggaran dalam negeri mencapai Rp 11,2 trilyun. Hal itu, sudah barang tentu, baru bisa dipenuhi bila restrukturisasi utang Indonesia pada Jepang berhasil. Begitu rumit tantangan yang mesti dihadapi Cosmas Batubara - departemennya pada tahun anggaran berjalan ini dibatasi dengan dana Rp 52 milyar yang hampir 55% merupakan bantuan luar negeri. Sementara itu, mobilisasi tenaga kerja tampaknya sulit, bila tanpa kerja sama antardepartemen. Menurut Sumama, pemecahan masalah ketenagakerjaanini, khususnya pada sektor informal, perlu digarap dari hulunya (desa) dan hilirnya (kota). "Selama ini. meman. ada ut)ava ke arah itu, tapi masih bersifat parsial," ujarnya. Misalnya, penyediaan fasilitas "Pujasera", atau Balai Latihan Kerja (BLK). Sebagai alternatifnya, katanya, bisa diterapkan pendekatan terpadu model TCC (Iraining Credit Consultation). Tenaga kerja yang dijaring dengan model ini tidak haya diberi keterampilan. Ada mekanisme selanjutnya, seusai mendapat latihan untuk bekerja dalam kelompok. Mereka didukung dana murah, mungkin mengambil porsi kredit untuk golongan ekonomi lemah seperti KIK (Kredit Investasi Kecil), Kupedes (Kredit Usaha Pedesaan), KCK (Kredit Candak Kulak) - yang alokasinya cuma 7% dari total kredit perbankan itu. Atau mengembangkan usaha dengan cara "joint capital". "Ide seperti itu bisa dikembangkan," kata Cosmas. Anak-anak muda yang belum mendapat tempat yang layak, tentunya, akan belajar mandiri. Apalagi, ujar Cosmas, bila program seperti itu dikaitkan dengan produk suatu perusahaan yang lebih besar. Menjadi anak angkat misalnya, seperti banyak terjadi pada produk pakaian jadi. Menurut Darmin Nasution, ekonom lulusan Universitas Sorbonne yang menjadi Wakil Direktur Lembaga Pendidikan Ekonomi Masyarakat UI, pemerintah tentunya akan mengukuhkan strategi yang lebih berorientasi pada ekspor nonmigas. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk menjawab kesulitan devisa dan pertumbuhan ekonomi. "Asalkan pengembangan ekspor itu mengikuti prinsip keunggulan komparatif," katanya. Di situ muncul pilihan usaha yang banyak menyerap tenaga kerja, yang tidak berisiko ekonomi biaya tinggi. Sektor industri, terutama industri kecil, cukup potensial sebenamya menyerap tenaga ker1a im. Sebab, industri ini memang punya misi pemerataan, dengan teknologi sederhna sampai madya, dan padat karya. Peranannya sangat strategis, karena pada pertengahan tahun lalu saja, seperti pernah dikatakan Menteri Perindustrian Hartarto telah menumbuhkan wiraswasta sekitar 1,6 juta. Sedangkan tenaga kerja yang terlibat di situ lebih kurang 5,5 juta orang. Sebagian lainnya terdapat pada kelompok Aneka Industri, dilaksanakan oleh M. Amid, Presiden Direktur PT Asia Pemmai Electronics, perakit televisi merk Grundig di Indonesia. Amid tidak hanya membesarkan omset penjualan elektroniknya. Ia juga melakukan diversifikasi usaha pada rotan dan karet alam. Di situ diterapkan sistem PIR (Perusahaan Inti Rakyat), yang menggaet banyak perajin rotan dan petani karet. Daya serap seperti itu memang menakjubkan. Tapi persoalan ketenagakerjaan pun meliputi aspek kualitasnya - ini hubungannya dengan produktivitas. "Produktivitas itu memang masih perlu kita tingkatkan, sehingga biayanya per unit output Jadi sedikit," tutur Cosmas Batubara. Caranya, antara lain, mengajak swasta lebih banyak berperan dalam bursa tenaga kerja. Misalnya, mengumpulkan para sarjana yang belum mendapat tempat layak, lalu diberi keterampilan tambahan. Setelah itu disalurkan ke perusahaan yang membutuhkannya. BLK di bawah naungan Depnaker pun boleh dimanfaatkan untuk alih keterampilan. "Itu 'kan milik nasional, jadi bagusnya memang dimanfaatkan secara optimal," kata Cosmas. Namun, terpulang juga kepada angkatan kerja yang akan menjalaninya. Kalau orientasinya "pokoknya dapat pekerjaan", maka tambahan keterampilan boleh jadi tak berarti. Dan bidang yang tak pas dengan profesi bisa menimbulkan dampak negatif pada produktivitas kerja. Hal itu erat kaitannya dengan pengangguran tak kentara (under employment) seperti dalam periode 1980-1985 - ini menurut Ketua Bappenas Saleh Afiff. "Tapi, mereka hidup," katanya, tanpa mau mengakui bahwa dengan bertahan hidup, bukan berarti masalah ketenagakerjaan dan pengangguran sudah teratasi. Suhardjo Hs., Budiono Darsono (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini