LAMPU kuning dinyalakan Departemen Perdagangan dan Koperasi
untuk para pengusaha pakaian jadi (garment). Peringatan itu
diberikan karena realisasi ekspor pakaian jadi ke-10 negara
anggota Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) sampai Juli baru mencapai
sekitar 40% dari kuota tahun ini. Situasi itu, tentu saja,
memprihatinkan pemerintah yang telah menyediakan berbagai
kemudahan untuk mendorong ekspor komoditi nonminyak.
Dalam upaya mengajak pengusana pakaian jadi memenuhi kuota itu,
Dirjen Perdagangan Lua. Negeri Suhadi Mangkusuwondo akhir Juli
mengungkapkan kenyataan kurang menggembirakan itu. Realisasi
ekspor untuk celana (kategori 6), misalnya, baru 791 ribu potong
(23%) dari kuota 3,4 juta. Sedang untuk blus wanita (kategori 7)
ekspornya baru 1,6 juta (5 5%) dari kuota 2,9 juta potong, dan
untuk kemeja pria (kategori 8) ekspornya baru 1,9 juta (41,5%)
dari kuota 4,7 juta potong.
Belum jelas langkah apa yang akan dilakukan pengusaha sesudah
bertemu Dirjen Suhadi. "Kami sudah berjanji akan memenuhi kuota
MEE yang diberikan pemerintah," kata Imam Soedarwo, Dirut PT
Korwell Indonesia. Perusahaan PMDN ini, yang punya pabrik di
Bonded Warehouse Indonesia (BWI), Tanjungpriok, baru mengekspor
40 ribu potong blus wanita dari kuota 51 ribu. Sedang kemeja
prianya baru dilaksanakan 11 ribu potong lebih dari kuota hampir
62 ribu.
Kenapa? "Kami lebih menitik beratkan untuk memenuhi ekspor ke
Amerika belakangan ini," kata Imam kepada wartawan TEMPO, Marah
Sakti. Upaya itu terpaksa dilakukannya karena dia mendengar,
Washington juga akan memberlakukan sistem kuota (sekitar 22
Agustus ini) sesudah negeri itu kebanjiran pakaian jadi eks
Taiwan RRC, dan Indonesia. Kecenderungan memprioritaskan pasar
ke AS itu, menurut dia juga dilakukan 14 perusahaan pakaian jadi
di BWI untuk memperoleh kuota tertinggi. Dia juga menyebut,
harga penawaran yang diajukan importir AS jauh lebih menarik
daripada importir MEE.
Toh Direktur Perdagangan Hubungan Luar Negeri Darry Salim
optimistis pengusaha pakaian jadi akan mampu memenuhi kuota
tahun ini yang berakhir Desember mendatang. Kalau toh kuota itu
sulit dicapai, menurut Darry, pengusaha Indonesia tak akan
menanggung risiko apa pun. "Cuma kerugiannya ada di pihak
pengusaha, karena kesempatan yang ada tak dipergunakan
sepenuhnya," tambah sebuah sumber di Asosiasi Perdagangan
Produkproduk Tekstil Indonesia (AP31).
Kenapa realisasi ekspor itu kecil? Sumber di AP31 menduga para
importir di MEE (Inggris, Belgia, Belanda, Luxemberg, Prancis,
Italia, Irlandia, Jerman Barat, Denmark, dan Yunani) masih
kelebihan stok.
Faktor resesi, terutama merosotnya nilai tukar mata uang Franc
(Prancis) dan DM (Jerman Barat) terhadap dollar AS, menurut
Darry Salim, juga menjadi salah satu penyebab belum terpenuhinya
kuota ekspor itu. Karena nilai tukar mata uang importir merosot,
mereka, tentu saja, jadi harus mengeluarkan dana lebih banyak
untuk membayar harga pakaian jadi yang transaksinya dilakukan
dalam satuan dollar AS. Merasa tak mau dirugikan, sejumlah
importir, konon, menuntut pembayaran dilakukan dengan mata uang
setempat yang jika dikurs ke dollar AS nilainya lebih rendah.
Perundingan yang berlarut antara MEE dengan Indonesia mengenai
kuota tahun ini, demikian Darry Salim, juga menyebabkan
Depdagkop sulit secepatnya membagikan jatah yang harus diekspor
setiap pengusaha. Baru pada Juli lalu, katanya, MEE menyetujui
kuota yang harus dipenuhi Jakarta. Kini sesudah kuotanya yang
pasti diketahui "pemerintah juga dengan pasti bisa
mendistribusikan jatah itu disertai jenis pakaian kepada para
eksportir," katanya kepada Iskandarsyah dari TEMPO.
SEMENTARA itu Menteri Perindustrian A.R. Soehoed kepada Kompas
menyatakan seharusnya ekspor pakaian jadi itu dibebankan saja
kepada eksportir besar terutama yang berlokasi di Export
Processing Zone (EPZ), Cakung. Pengusaha besar dengan kapasitas
besar dan keunggulan teknologi yang dimilikinya, tentu saja,
akan cepat memenuhi kuota itu. Soehoed juga lebih cenderung agar
pasar pakaian jadi dalam negeri diberikan kepada pengusaha
kecil.
Dalam hubungan itu, Darry Salim menyayangkn eksportir yang hanya
menghasilkan jenis pakaian tertentu saja -- celana panjang, atau
kemeja. Padahal pakaian anak-anak dan dalam (under wear),
menurut dia, punya prospek lumayan di Eropa dan Timur Tengah.
Sebagai pendatang baru di bidang ekspor pakaian jadi dan tekstil
(baru dimulai tahun 1979), saham Indonesia di kedua komoditi itu
tahun lalu baru mencapai 0,23% dari pasaran dunia. Menurut
Dirjen Aneka Industri Kusudiarso Hadinoto, industri pakaian jadi
yang berorientasi ke ekspor baru 85 perusahaan dengan kapasitas
produksi seratus juta potong. Angka itu diungkapkan Hadinoto
bulan lalu ketika menerima delegasi IAF (International Apparel
Federation) yang beranggotakan produsen pakaian jadi negara
industri -- seperti Jepang, AS, Kanada, dan Australia.
Tahun lalu ekspor pakaian jadi Indonesia ke MEE mencapai US$
31,7 juta (dalam jumlah 5,5 ton), sedang tahun 1980 sebesar US$
43,5 juta (5,8 ton). Ekspor ke negara anggota ASEAN, dan pasar
lain juga menunjukkan kecenderungan baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini