TIDAK ada kabaret untuk FFI 1982, seperti yang tahun lalu
dipersiapkan Acub Zaenal di Surabaya. Kirk Douglas dan Farrah
Fawcett pun tidak datang. Padahal Widodo Sukarno sudah telanjur
mereklamekan kehadiran mereka di Jakarta. Tak mengapa. Masih ada
2 aktor hitam, Jim Brown dan Richard Roundtree, yang akan jadi
bintang tamu di samping Trini Lopez, Barbara McNair serta
beberapa nama lain yang agak kurang dikenal di sini. Patut
dicaut pula kesediaan Wapres Adam Malik untuk membuka FFI di
Balai Sidang Senayan, Senin malam pekan ini di samping adanya
beberapa hal baru yang sebaiknya tidak diabaikan.
Pertama-tama, yang benar-benar baru dan ramai dibicarakan adalah
sistem penjurian bertahap (lihat Munculnya KPU dan Notaris).
Dalam penjurian model ini diskusi antara para juri ditiadakan.
Angka-angka rupanya lebih menentukan. Mungkin karena itu
kehadiran seorang notaris dianggap mutlak untuk mengamankan
angka-angka tersebut, yang terkumpul pada tahap praseleksi.
Menjelang penjurian tahap akhir, para sutradara yang karyanya
diunggulkan sebagai film terbaik wajib membuat satu pernyataan
tertulis. Ini pun satu ketentuan baru. Dalam pernyataan itu
sutradara tersebut menegaskan, film mereka bukanlah jiplakan
dari karya orang lain. Nah! Tak salah lagi, ketentuan ini tentu
ada kaitannya dengan 2 unggulan film terbaik yang diduga keras
menjiplak film asing.
Masih ada lagi yang baru: terbentuknya Yayasan FFI yang
berfungsi sebagai panitia tetap FFI. Yayasan ini merupakan satu
aparat Dewan Film, khusus bertanggungjawab mensukseskan tiap FFI
sejak tahun ini. Penanganannya segera bisa disaksikan --
misalnya pada sistem penjurian yang diusahakan disempurnakan
atau kegiatan pesta yang agak dibatasi.
Di samping itu pengenalan film Indonesia ke masyarakat
ditingkatkan. Antara lain lewat pameran, pekan apresiasi dan
pemutaran unggulan film terbaik di 3 bioskop terkemuka di
Jakarta: Plaza Theatre, New Garden Hall dan Djakarta Theatre.
Dengan kombinasi kegiatan serupa itu, siapa tahu FFI bisa tampil
sebagai sebuah peristiwa budaya dan tidak sekedar pesta meriah
yang penuh glamur.
Sejak FFI diselenggarakan pertama kali, 1955 di gedung Metropole
(sekarang Megaria) Jakarta, kegiatan pesta memang selalu lebih
menonjol. Sedang khalayak selalu mengulang keluhan mereka: "Film
Indonesia kok tidak maju-maju." Tidak maju-maju?
Dari segi jumlah, sesudah terpukul oleh SK Menpen No. 224, (yang
intinya menghapuskan kewajiban importir untuk memproduksi film),
produksi film Indonesia memang merosot -- meski kemudian punya
kecenderungan naik lagi. Produksi yang 134 judul (tahun 1977),
turun berturut-turut menjadi 60 (1978), 38 (1979), lantas
kembali naik jadi 54 (1981) dan 70 (1982). Benarkah dalam 5
tahun, SK No. 224 punya pengaruh dalam menaikkan mutu seperti
yang secara tidak langsung menjadi ambisinya? Jawabnya ya, namun
tidak seperti yang diharap.
PADA 1980, saat pukulan SK 224 masih membekas ada film berani
tapi murah biayanya seperti Perawan Desa (karya sutradara Franky
Rorimpandey, pemenang Citra untuk film terbaik). Juga
Harmonikaku dan Yuyun, di samping Kabut Sutra Ungu yang manis
tapi rada mahal. Tahun 1981 pilihan tema cukup beraneka. Mulai
dari Gadis Penakluk, Usia 18, Perempuan Dalam Pasungan (karya
Ismail Subardjo, pemenang Citra film terbaik). Bukan Sandiwara,
Gadis dan Para Perintis Kemerdekaan.
Dan keragaman tema itu nampak berlanjut tahun ini, walaupun
seorang pengamat berkata tidak melihat hal itu. Meski tidak
banyak, beberapa judul patut disebut. Serangan Fajar (karya
Arifin C. Noer produksi PPFN) yang kolosal, yang merekam sebuah
episode Perang Kemerdekaan. Lalu Sang Guru dan Bukan Istri
Pilihannya (karya Edward Pesta Sirait), Gadis Marathon (karya
Chaerul Umam), Tangan-Tangan Mungil (karya Yazman Yazid) dan
Bercanda Dalam Duka. (karya Ismail Soebardjo).
Sopan, dalam pengertian tidak melayani naluri rendah penonton,
film-film tersebut mengandung sikap moral yang teguh, orientasi
sosial yang cukup kuat, telaah perwatakan yang lumayan, dan di
atas semua itu mengesankan usaha pencarian ke bidang-bidang yang
jarang atau belum dirambah. Bagaimanapun ini satu upaya terpuji
-- bukti bahwa para insan film tidak selalu berputar-putar pada
tema ringan di permukaan, seperti yang selalu dituduhkan.
Sejak Perawan Desa, Usia 18, Rembulan dan Matahari, kehendak
membuat film baik yang berpijak di bumi dan masyarakat Indonesia
nampak terus diperjuangkan, kendati tidak terlepas dari
macam-macam kompromi. Besar kemungkinan, untuk mencari-cari
contoh kompromi, peran guru dalam Sang Guru sengaja dipercayakan
kepada S. Bagio karena nama pelawak itu sudah merupakan jaminan
bagi penonton. Dengan alasan yang sama duet Yenny Rachman dan
Roy Marten masih diteruskan dalam Gadis Maratbon. Syukur
keduanya menghayati peran dengan baik, hingga kasting yang
disodorkan pada Umam, sutradara Gadis Marathon, tidak meleset.
Tapi sesudah memahami kompromi semacam ini, dan "konsekuensi
lois" entah apalagi yang harus dihadapi para seniman film,
tidak ada salahnya bila kita membubuhkan sekedar catatan
tambahan.
Kecuali Serangan Fajar, lima film lainnya adalah film cerita
biasa, yang menampilkan wajah realisme dalam pendekatan yang
berbeda. Sang Guru misalnya, dalam penokohan cenderung
karikatural, tapi ceritanya melontarkan isu yang amat realistis:
pencarian integritas dan kejujuran yang, seperti sering
dikatakan, sulit ditemukan dalam tata-nilai masyarakat yang
sedang berubah. Dari materi cerita mestinya bisa lahir sebuah
film drama, tapi sutradara Edward Sirait berangkat dari konsepsi
berbeda -- yang terbukti kurang pas untuk pengarahan akting
auupun cerita.
Dalam Gadis Marathon, cerita sejak awal dibangun rapi. Kamera
lincah dan editing mengesankan. Namun ketika sampai pada konflik
yang menentulcan -- saat KONI Ja-Bar memecat pelatih Anton
Sudirgo -- cerita menjadi agak samar. Perdebatan seru dalam
adegan ini kurang kuat mencerminkan motivasi pemecatan, satu hal
yang menjadi kunci penutup kisah.
Tangan-Tangan Mungil, yang berhasil menyelam ke lubuk jiwa
anak-anak, nampak diolah rapi seraya menawarkan keharuan di
sana-sini. Namun penggarapan tokoh kurang seimbang, hingga ada
yang terabaikan.
Tampil dengan sendi-sendi fakta yang lebih kokoh, Bukan Istri
Pilihannya cermat menggambarkan kehidupan pedasaan yang kemudian
dipertautkan dengan kehidupan kota besar. Tapi ada juga beberapa
cacat kecil yang mengganggu seperti dalam credit title yang
berkepanjangan, hingga merusak konsentrasi penonton.
Terakhir Bercanda Dalam Duka. Film ini menampilkan seting desa
terpencil di Jawa Timur, dan amat menarik karena permasalahan
yang khas, penokohan yang khas, penataan artistik dan penataan
suara yang hampir sempurna. Pengolahan yang dilakukan Ismail
Soebardjo setingkat lebih baik dari karyanya, Perempuan Dalam
Pasungan. Namun kericuhan penggambaran dalam dimensi jarak,
serta terlalu gelapnya bagian tertentu, lagi-lagi meninggalkan
cacat kecil.
Memang, kelemahan-kelemahan di atas tergolong kerikil-kerikil
kecil yang bisa saja menyebabkan orang tergelincir. Kalau kini
ada yang dituntut dari seniman film, maka itu tampaknya tidak
lain dari ketekunan, khususnya dalam penulisan skenario dan
penyutradaraan.
Dan bila TEMPO kali ini kembali menurunkan film-film pilihannya,
tak lain dimaksud sebagai ekspresi penghargaan kepada
jerih-payah para seniman dan pekerja film kita, tanpa ingin
mempengaruhi para juri FFI yang baru akan menyiarkan hasil
penilaian mereka 14 Agustus pekan ini.
GADIS MARATHON
Pemain: Yenny Fachman, Roy Marten Rachmat Hidayat, Pong
Harjatmo
Skenario: Sjuman Djaya,
Sutradara: Chaerul Umam.
Film ini segera memikat karena menyorot sisi buruk dunia
olahraga di tanahair. Konteksnya: nasib pelatih yang
terombang-ambing, bibit unggul yang kurang tersalurkan karena
ketiadaan dana, serta salah-urus yang seakan tiada
habis-habisnya. Lewat skenarionya, Sjuman Djaya menampilkan
kebuntuan dunia atletik khususnya dan penyakit-penyakit
masyarakat yang menggerogoti olahraga pada umumnya. Berusaha
menjangkau permasalahan yang lebih luas, film ini tidak berhenti
pada pribadi-pribadi.
Sebuah tema yang tidak biasa dalam perfilman Indonesia. Toh
sutradara trampil sekali menjalin dan mengakrabkan 'kisah
olahraga' itu kepada penonton. Ada misi yang dititipkannya.
Bahwa para juara adalah manusia biasa. Mereka tidak bisa hidup
hanya dari sanjungan. Seperti yang lain, mereka butuh pengertian
dan perlindungan. Meski tidak istimewa, Gadis Marathon boleh
dipujikan untuk penyutradaraan terbaik (Chaerul Umam) dan
pemain utama wanita terbaik (Yenny Rachman).
TANGAN-TANGAN MUNGIL
Pemain: Kiki Amelia, Dina Mariana, Kak Seto, Kusno Sudjarwadi,
Skenario: Parakitri & Th. A. Budi Susilo
Sutradara: Yazman Yazid.
Bertolak dari kasus seorang anak perempuan yang salah asuhan,
film ini berusaha memberi tempat yang layak bagi Jiwa anak-anak
yang sedang tumbuh -- lewat cita-cita seorang pendidik, Kak
Seto. Mengetengahkan suka-duka tiga bersaudara perempuan: Lala
(Kiki Amelia), Mita, dan Dina (Dina Mariana). Plus ibu mereka
yang penuh pengertian serta ayah yang senantiasa merindukan
seorang anak lelaki. Akibat keinginan yang tak sampai ini, ayah
membesarkan si bungsu Lala seakan bocah itu anak lelaki.
Banyak konflik terjadi, banyak tokoh terlibat, tapi semuanya
ditata dalam irama yang terpelihara. Permainan Kiki Amelia wajar
dan mengesankan, satu prestasi yang perlu diperhitungkan. Di
samping itu skenario yang diolah bersama oleh Parakitri dan Th.
A Budi Susilo pantas terpilih sebagai skenario terbaik tahun
ini.
SANG GURU
Pemain: S. Bagio. Maruli Sitompul, Rahayu Effendi, Bambang
Hermanto,
Skenario: Parakitri,
Sutradara: Edward Pesta Sirait
Seorang guru yang lugu bernama Topaz (S. Bagio) tampil sebagai
pahlawan kejujuran. Ia gagal berhadapan dengan kepala sekolah,
nyonya penggede dan pejabat tinggi. Kebetulan sekali ketiganya
bermental korup. Terus terang ini sebuah pilihan tema yang
berani, apalagi dialognya melabrak ke sana-ke mari -- dengan
konsekuensi tidak lolos sensur.
Terlepas dari penokohannya yang karikatural, plus gaya akting
Maruli dan Rahayu Effendi yang menurut konsep sutradara harus
distilisasikan hingga terlihat teatral, film ini menumbuhkan
optimisme di lubuk penonton. Diam-diam kita berkata, "Harapan
itu ada. Badan Sensortoh masih peka."
Satu hal lain yang tidak kurang'penting ialah bagaimana film ini
memberi porsi terbesar untuk dialog.
Dalam hal ini permainan Bagio (dan Bambang Hermanto) telah
menyelamatkannya. Memang, Bagio layak dipilih sebagai pemain
utama pria terbaik tahun ini.
SERANGAN FAJAR
Pemain: Antonius Yacobus, Dani Marsuni, Amoroso Katamsi,
Suwastinah, Suparmi, Nunuk, Chaerul Umam,
Skenario & Sutradara: Arifin C. Noor.
Film ini memberi kesan lain dari kebanyakan film Indonesia,
terutama dari segi sinefotografinya. Sebagian besar adegan
terpampang dalam warna tunggal kehijauan atau kecokelatan --
seakan kita membalik kembali album lama. Ini memang kisah masa
lalu -- masa perang kemerdekaan -- dan dalam hal itu ide dan
emosi berpaut bagus dengan teknik.
Agak sayang film ini mengalami kesulitan bercerita. Kisahnya
terdiri dari tiga lapis. Lapis pertama kisah bocah Temon, saksi
dalam masa yang bergolak hebat. Lapis kedua kisah keluarga
(Amoroso Katamsi), para ningrat yang kena angin perubahan di
masa republik ditempa. Lapis ketiga sebuah kisah resmi:
bagaimana pelbagai angkatan bersenjata tumbuh dan bergerak,
dengan tokoh sentral pemuda yang kini jadi Presiden Soeharto.
KETIKA lapis itu dicoba dipertautkan oleh Arifin, tapi tidak
luluh benar. Keberaniannya bereksperimen memang bisa menyebabkan
kita berdecakk-ck-ck, tapi sebuah "propaganda patriotisme,"
seperti dikatakan sendiri oleh sutradaranya tentang film ini,
akan lebih menggugah jika penonton tidak disibukkan menyesuaikan
diri dengan eksperimen itu. Termasuk eksperimen untuk berkisah
dengan cara wayang: ada gunungan, ada goro-goro, bahkan ada
semacam suluk.
Toh Arifin tetap menunjukkan keunggulannya sebagai sutradara
yang lama berpengalaman dengan para pemain pentas: dia bisa
membikin seorang yang hampir nol menjadi tujuh angkanya dalam
memainkan peran. Terbukti dari permainan Dani Marsuni sebagai
Temon, yang baru pertama kali itu berhadapan dengan kamera. Dani
berperan dengan mantap, mengimbangi Suparmi yang melakonkan
tokoh Mbah, seorang pemain dari dunia ketoprak. Dan Amoroso
Katamsi yang berperan amat meyakinkan sebagai tokoh ningrat.
Keduanya, Suparmi dan Amoroso Katamsi, tepat dipilih sebagai
pemeran pembantu pria dan wanita terbaik tahun ini. Ada pun
gelar juru kamera terbaik tak pelak lagi diberikan kepada M.
Soleh Ruslani, juru kamera kawakan yang tahun ini telah
mempersembahkan kepada kita "gambar-gambar yang mengagumkan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini